Apakah Indonesia Bakal Sulit Masuk OECD Usai Bermitra dengan BRICS?

Jakarta, Purna Warta –  Indonesia telah bergabung sebagai mitra blok ekonomi BRICS, yang mencakup Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, serta menyumbang seperlima perdagangan global. Kemitraan ini diharapkan membuka peluang kerja sama di berbagai bidang, termasuk perdagangan dan memperkuat pengaruh Indonesia di kancah politik global. Bermitra dengan BRICS tampaknya bisa berpengaruh pada usaha Indonesia untuk bergabung dengan OECD.

Baca juga: 9000 Unit iPhone 16 Sudah Masuk Indonesia, Tapi Tak Boleh Dijualbelikan

Namun, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai Indonesia harus tetap menjaga “jarak aman” dalam bermitra dengan BRICS. Hal ini penting mengingat Indonesia juga sedang dalam persiapan untuk bergabung dengan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yang memiliki hubungan berlawanan dengan BRICS karena mayoritas anggotanya berasal dari negara-negara Barat.

“Kita tahu bahwa OECD dan BRICS ini agak berhadapan. OECD diisi Amerika dan negara-negara Eropa, sementara BRICS melibatkan Rusia, China, India, dan Brazil,” ujar Hikmahanto kepada detikcom, Jumat (25/10/2024). “Tapi jika Presiden Prabowo menyatakan ingin menjaga jarak yang sama dan non-blok, Indonesia dapat bergabung dengan BRICS sekaligus,” tambahnya.

Hikmahanto menekankan perlunya pemerintah mengkaji lebih lanjut keterlibatan Indonesia dengan BRICS, yang disebut sebagai kelompok “anti-Barat” yang dipimpin Rusia dan China, agar tidak mengganggu hubungan bilateral atau perdagangan dengan negara-negara lain, termasuk blok ekonomi OECD.

“Pertanyaannya, apakah jika kita bergabung dengan OECD, kita tidak boleh masuk BRICS? Atau sebaliknya? Karena Indonesia sekarang sudah bersiap untuk menjadi anggota OECD,” kata Hikmahanto. “Jika memungkinkan bergabung dengan keduanya, mengapa tidak demi kepentingan nasional kita?” lanjutnya.

Menurut Hikmahanto, Indonesia perlu mempertahankan kebijakan luar negeri yang bebas aktif. Dengan begitu, Indonesia bisa memetik manfaat dari kemitraan dengan BRICS dan OECD tanpa memihak salah satu pihak secara berlebihan. “Bagus bagi Indonesia bergabung dengan BRICS agar tidak didominasi negara OECD, serta menjaga keseimbangan hubungan dengan kedua blok,” jelas Hikmahanto. “Yang terpenting adalah kepentingan nasional kita diuntungkan,” ujarnya, sambil menambahkan bahwa kekuatan pasar BRICS bisa menjadi penyeimbang bagi OECD.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, berpandangan bahwa keterlibatan Indonesia sebagai mitra BRICS tidak akan berdampak signifikan pada rencana bergabung dengan OECD. “Selama Indonesia hanya sebagai mitra, tidak ada minusnya. Namun, jika menjadi anggota penuh BRICS, ini dapat memicu opini negatif dari negara-negara Barat, khususnya anggota OECD,” katanya.

Baca juga: Prabowo Akan Lanjutkan IKN 

Meski demikian, Piter menilai bahwa Indonesia harus berhati-hati dalam menjalankan kemitraan dengan BRICS agar tidak mendapat tanggapan negatif dari negara anggota OECD. Hal ini penting karena Indonesia dinilai belum memiliki posisi atau ketahanan yang cukup kuat jika menghadapi sanksi atau embargo dari negara Barat.

“Jika kita menjadi penggerak atau anggota penuh BRICS, negara Barat, terutama melihat hubungan kita dengan Rusia, mungkin akan memperlakukan Indonesia secara berbeda. Kita belum cukup kuat menghadapi dampak negatif seperti itu,” ujar Piter.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *