Purna Warta – Ketika membicarakan kemajuan ekonomi sebuah bangsa, kita sering lupa menyebut pihak yang paling vital dalam siklus produksi: para pekerja dan buruh. Padahal, merekalah tulang punggung ekonomi produktif. Dari tangan mereka, mesin-mesin berputar, barang diproduksi, dan layanan berjalan. Tanpa kontribusi mereka, angka pertumbuhan ekonomi hanyalah ilusi di atas kertas.
Potret Buram Kesejahteraan Buruh Indonesia
Di Indonesia, buruh pabrik dan garmen di berbagai wilayah masih terjebak dalam lingkar eksploitasi yang memprihatinkan. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS, 2025) menunjukkan bahwa Kebutuhan Hidup Layak (KHL) telah mencapai Rp 4,5 juta per bulan. Angka ini mencakup kebutuhan pangan (Rp 2,1 juta), perumahan (Rp 1,2 juta), pendidikan (Rp 600 ribu), kesehatan (Rp 400 ribu), dan transportasi (Rp 200 ribu). Ironisnya, jumlah ini jauh di atas upah minimum yang diterima kebanyakan pekerja.
Lebih memprihatinkan lagi, berdasarkan laporan terkini Bank Dunia (World Bank, 2025), 62% buruh garmen di Indonesia hidup dalam kemiskinan. Kondisi ini terutama disebabkan oleh upah yang tidak mencukupi, jam kerja berlebih tanpa perlindungan hukum memadai, dan lingkungan kerja yang tidak manusiawi. Mereka yang menggerakkan roda ekonomi ini kerap diperlakukan sekadar sebagai angka statistik ketenagakerjaan, bukan sebagai manusia utuh dengan martabat dan hak.
Kesejahteraan Pekerja: Investasi Ekonomi Nasional
Jika ingin membangun ekonomi yang berdaulat dan mandiri, kita harus memulai dari produksi nasional, yang berarti memulai dari kelas pekerja. Pekerja yang dihargai, dipenuhi hak-haknya, diberi upah layak, dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan adalah pekerja yang mampu mendorong kemajuan bangsa.
Studi komprehensif Bappenas (2024) membuktikan bahwa kenaikan upah pekerja dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 0,8%. Riset ini menunjukkan korelasi positif antara peningkatan upah dengan daya beli masyarakat, yang kemudian mendorong pertumbuhan sektor riil dan industri manufaktur domestik. Data ini menegaskan bahwa kesejahteraan pekerja bukan hanya persoalan kemanusiaan, tetapi juga investasi strategis bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Mereka harus merasakan bahwa kerja mereka tidak hanya bernilai secara ekonomi, tetapi juga dihargai secara sosial.
Dehumanisasi di Balik Target Produksi
Sayangnya, dalam realitas hari ini, nilai kerja sering tereduksi menjadi sekadar target produksi. Budaya kerja tidak lagi diiringi dengan budaya penghargaan. Ada yang membutuhkan pekerjaan namun tak mendapatkannya, sementara yang bekerja seolah tidak berhak menuntut kondisi kerja yang layak. Di tengah ketimpangan ini, kita perlu membangun ulang persepsi kolektif bahwa kerja adalah bentuk kontribusi mulia, dan para pekerja adalah pilar masyarakat yang sehat dan adil.
Pekerja sebagai Subjek Politik
Lebih dari itu, para pekerja bukan hanya objek ekonomi, tetapi juga subjek politik. Dalam banyak sejarah bangsa, mereka adalah bagian penting dari gerakan perubahan. Di Indonesia, buruh pernah menjadi kekuatan politik progresif yang menuntut distribusi kekayaan yang lebih adil. Peran itu harus dikembalikan, bukan dengan agitasi kosong, melainkan dengan memperjuangkan regulasi, hak, dan perlindungan nyata bagi mereka.
Kegagalan Kebijakan dan Urgensi Reformasi
Siapa pun yang memegang tampuk kekuasaan, baik di sektor pemerintahan maupun ekonomi, harus menjadikan isu ketenagakerjaan sebagai prioritas. Kesenjangan yang terjadi saat ini—di mana 62% buruh garmen hidup dalam kemiskinan sementara KHL mencapai Rp 4,5 juta (BPS, 2025; World Bank, 2025)—adalah bukti nyata kegagalan kebijakan dalam melindungi hak-hak pekerja.
Jika lapangan kerja tersedia secara adil dan upah memenuhi standar hidup layak, banyak masalah sosial lainnya akan turut mereda. Lapangan kerja bermartabat hanya bisa tercipta jika kita menata ulang strategi produksi nasional, dari pertanian, industri, hingga jasa. Semua sektor itu memerlukan pekerja, dan para pekerja itu memerlukan jaminan hidup yang layak.
Inspirasi dari Sejarah: Ekonomi yang Berkeadilan
Di tengah realitas buruh yang terus menghadapi tekanan struktural, kita didorong untuk tidak hanya memprotes, tetapi juga menggali kembali nilai-nilai yang menjadi fondasi keadilan sosial. Dalam sejarah Islam, salah satu dokumen pemerintahan paling progresif adalah Surat Imam Ali bin Abi Thalib kepada Malik al-Asytar, gubernur Mesir. Dalam surat tersebut, Imam Ali tidak hanya menekankan pentingnya memperhatikan para pekerja sebagai manusia bermartabat, tetapi juga memberikan arahan moral dan struktural tentang peran pelaku usaha serta tanggung jawab negara dalam menciptakan ekonomi yang adil (Al-Sharif al-Radhi, 2001).
Imam Ali menulis: “Sekarang, terimalah nasihat mengenai para pedagang dan industriawan. Berikanlah kepada mereka nasihat yang baik, baik mereka yang menetap (memiliki toko), berdagang keliling, maupun pekerja fisik. Sebab, mereka adalah sumber keuntungan dan sarana penyediaan barang-barang yang berguna. Mereka membawa barang-barang itu dari daerah-daerah jauh dan terpencil melalui darat dan laut, melintasi padang dan bukit—tempat yang tidak dapat dijangkau atau tidak berani didatangi kebanyakan orang. Mereka (para pedagang) cenderung damai, tidak menimbulkan ketakutan akan pemberontakan, dan tidak ada kekhawatiran akan pengkhianatan dari mereka.
Perhatikanlah urusan mereka, baik yang berada di hadapan Anda maupun yang tersebar di wilayah kekuasaan Anda. Namun, ingatlah bahwa banyak di antara mereka berpikiran sempit dan sangat serakah. Mereka menimbun gabah untuk mencari keuntungan berlebih dan menjualnya dengan harga tinggi. Perbuatan ini sangat merugikan masyarakat dan merupakan aib bagi penguasa yang lalai. Cegahlah mereka dari penimbunan, karena Rasulullah (SAW) telah melarangnya. Perdagangan harus berjalan lancar, timbangan harus adil, dan harga harus ditetapkan secara wajar agar tidak merugikan penjual maupun pembeli.
Jika setelah diperingati, seseorang masih menentang perintah Anda dan melakukan penimbunan, berikanlah hukuman yang mendidik, tetapi jangan berlebihan.”
Yang menarik, Surat 53 ini tidak hanya memuat perhatian terhadap para pekerja, tetapi juga kepada para pelaku usaha dan pedagang, yang hari ini bisa kita maknai sebagai pihak industri dan pemilik modal. Prinsip keadilan ditegakkan kepada semua pihak yang terlibat dalam roda ekonomi, agar tidak ada yang dirugikan oleh ketimpangan kekuasaan dan keserakahan pasar.
Refleksi dan Langkah Nyata
Kita perlu refleksi bersama tentang arah ekonomi yang kita bangun, sistem produksi yang kita jalankan, dan nilai manusia yang kita junjung. Temuan Bappenas (2024) bahwa kenaikan upah bisa meningkatkan PDB hingga 0,8% seharusnya menjadi landasan kuat untuk membangun kebijakan ekonomi yang lebih memihak pekerja.
Sudahkah kita menempatkan buruh, baik yang menjahit di pabrik maupun yang mengangkut di gudang, sebagai tulang punggung ekonomi, bukan sekadar alat produksi? Kesenjangan antara KHL Rp 4,5 juta dengan realitas upah yang diterima pekerja menunjukkan bahwa kita masih jauh dari ideal keadilan sosial yang kita cita-citakan.
Keadilan kepada para pekerja adalah syarat mutlak sebuah peradaban maju. Tanpa itu, setiap janji kemajuan hanya akan menjadi gema hampa di lorong-lorong pabrik dan kantor. Dalam setiap langkah kebijakan dan keputusan ekonomi yang kita ambil, mari prioritaskan martabat manusia dan masa depan bangsa yang berkeadilan.[MT]
Daftar Referensi
1. Badan Pusat Statistik (BPS), 2025. Kebutuhan Hidup Layak Tahun 2025. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
2. World Bank, 2025. Indonesia Economic Update: Labor Market Challenges and Inequality. Washington, DC: The World Bank Group.
3. Bappenas, 2024. Laporan Tahunan Perekonomian Nasional 2024: Upah, Daya Beli, dan Pertumbuhan. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.