Jakarta, Purnawarta – Muhammad Isnur selaku Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyampaikan kritikannya terhadap konteks paham terlarang yang ada di draf RKUHP.
Paham terlarang dinilai YLBHI sangatlah multitafsir dan bisa membungkam suara kritis yang nantinya akan dibutuhkan sebagai kritik yang membangun.
“Pasal ini sangat karet. Bahaya sekali,” kata Isnur kepada wartawan, Sabtu (3/12/2022).
Pasal yang dimaksud adalah soal Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara, yakni Pasal 188. Begini bunyi pasalnya, sebagaimana dimuat di draf dari Kemenkum HAM RI:
Draf RKUHP (versi tanggal 30 November):
Pasal 188
(1) Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) mengakibatkan terjadinya kerusuhan dalam masyarakat atau kerugian Harta Kekayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengakibatkan orang menderita Luka Berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(6) Tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Isnur dari YLBHI mengkritik frasa ‘paham lain yang bertentangan dengan Pancasila’ dalam Pasal 188 ayat (1) dan (6) di atas. Menurutnya, frasa tersebut sangat karet dan bisa ditafsirkan sesuka hati. Salah-salah, pasal tersebut bisa digunakan penguasa, hakim, atau jaksa untuk menjerat pihak yang tidak disukai.
“Istilah ‘paham-paham lain yang bertentangan dengan Pancasila’ ini mengingatkan kita dengan kewajiban ‘asas tunggal Pancasila’ di masa Orde Baru. Saat itu, siapa yang tidak patuh dengan asas tunggal Pancasila maka akan diberangus,” kata Isnur.
Menurut Isnur, pasal ini berpotensi menjadi senjata bagi rezim otoriter yang fobia terhadap kritik. Akibatnya, kelompok kritis bisa lebih mudah dituduh bertentangan dengan Pancasila.
“Ini secara jelas dan nyata watak otoritarianisme dalam penyusunan KUHP,” kata Isnur.
Pihak yang berpotensi rentan kena kriminalisasi pasal ini adalah kelompok-kelompok kritis, juga kelompok keagamaan tertentu yang bisa kena cap militan dan radikal.
“Ini salah satu contoh pasal yang berbahaya di RKUHP dan mengerikan, memberangus kebebasan orang untuk berpikir,” kata dia.
Kebebasan pemahaman juga yang nantinya bisa menjadi pemicu yang bisa dikategorikan melawan Pancasila. Terlebih di era informasi saat ini banyak sekali pemahaman baru yang bahkan belum sempat dipublikasikan.