Bulungan, Purnawarta – KontraS menduga bahwa pihak TNI melakukan penggusuran paksa terhadap beberapa rumah warga dan satu gereja di Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara).
Kodam Mulawarman pun buka suara terkait tudingan itu. Kapendam Kodam Mulawarman Letkol Arm Kukuh Dwi Antono mengatakan, pihaknya akan mengecek kebenaran dugaan itu.
“Nanti saya carikan informasi terlebih dahulu karena kebetulan ada pergantian Dandim di Bulungan,” kata Kukuh Dwi Antono saat dikonfirmasi detikSulsel, Kamis (2/2/2023).
Walau informasi itu bakal diselidiki lebih lanjut, Kukuh meyakini jika TNI melakukan penggusuran dilandasi dasar hukum. TNI tidak akan melakukan penggusuran di daerah yang bukan merupakan haknya.
“Jadi kita kalau pun melakukan kegiatan seperti itu pasti punya dasar, punya data, punya kelengkapan. Jadi kita tidak akan pernah menggusur warga yang memang bukan hak kita,” pungkasnya.
Sebelumnya KontraS mengungkap adanya dugaan penggusuran paksa 11 rumah hingga satu gereja oleh TNI di Bulungan. Kondisi mencekam disebut terjadi hingga korban penggusuran mengungsi ke kebun-kebun warga serta rumah kerabat.
“Kami mendapatkan laporan terjadi dugaan penggusuran secara paksa 11 rumah warga dan satu bangunan gereja masyarakat oleh TNI AD Bulungan. Penggusuran itu dilakukan secara berkala mulai bulan Januari 2022 sampai dengan September 2022,” kata anggota Divisi Hukum KontraS Abimanyu seperti dilansir dari detikSulsel, Kamis (2/2/2023).
Lokasi penggusuran itu terjadi di Desa Gunung Seriang, Kecamatan Tanjung Selor. Lahan tersebut terlibat sengketa dan diklaim oleh Kodim Bulungan sebagai aset TNI yang tergolong dalam inventaris kekayaan negara (IKN).
Abimanyu menjelaskan, pada 4 Agustus 2022 sejumlah prajurit TNI AD Kodim 0903/Bulungan datang dengan membawa ekskavator dan menghancurkan bangunan warga. Bangunan itu berupa 11 rumah, 2 kios sembako, 8 rumah yang sedang dalam proses pembangunan, serta 1 bangunan Gereja GPIB Pos Pelayanan Lembah Gunung Silo-Gunung Seriang, Pastori, dan beberapa bangunan pendukung lainnya.
“Di situ masalah sengketa lahan ini atau konflik agraria ini sudah berlangsung cukup lama sejak tahun 1958. Adapun asal muasal penguasaan lahan tersebut adalah harta waris dari Almarhum WS Singal yang dimiliki secara Guntai menurut hukum adat Dayak,” terangnya.
Abimanyu menilai TNI tidak memiliki legalitas. Penggusuran itu disebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
“Apabila ditelisik secara normatifnya, pihak TNI AD tidak memiliki legalitas, dan penggusuran ini tanpa dilandasi dengan putusan pengadilan atau dasar hukum yang jelas,” ungkapnya.
Abimanyu menyebut pasca penggusuran itu, situasi di sana masih mencekam. Para korban terpaksa menempati kebun-kebun warga. Sementara sebagian memilih mengungsi ke rumah saudara.
“Yang saya terima saat ini situasinya memang masih mencekam ada beberapa korban penggusuran paksa mengungsi di daerah kebun-kebun warga dan rumah sanak saudaranya,” kata Abimanyu.
Kasus ini diminta olej KontraS untuk segera ditangani oleh Komnas HAM secara transparan dan sesuai Undang-undang negara.