Menelisik Peluang Pemakzulan Presiden Jokowi yang Berasal dari Desakan Denny Indrayana Kepada DPR

Jakarta, Purnawarta – Usai Denny Indrayana membuat surat terbuka yang ditujukan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), isu pemakzulan Presiden Jokowi semakin meningkat. Denny dalam surat tersebut meminta kepada para anggota DPR untuk menggunakan hak angketnya yakni memakzulkan sosok presiden yang saat ini dijabat oleh Presiden Jokowi.

Denny Indrayana membeberkan sederet perilaku Jokowi yang dianggap dapat merusak konstitusi negara dalam surat terbuka tersebut. Misalnya, Jokowi melakukan cawe-cawe politik untuk mendesign agar Pilpres 2024 hanya diikuti oleh dua kontestan. Kemudian, membiarkan Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menganggu Partai Demokrat melalui gerakan pengambilalihan partai.

Lalu kasus Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa yang dicopot dan dijerat kasus hukum setelah Suharso empat kali bertemu Anies Baswedan. Yang pada intinya, gerakan-gerakan Jokowi itu menurut Denny Indrayana bertujuan untuk menjegal Anies Baswedan ikut Pilpres 2024.

“Itu sebabnya saya berkirim surat kepada Mega (Megawati Soekatnoputri) untuk mengingatkan petugas partainya di Istana, jangan gunakan tangan kuasa untuk cawe-cawe merusak konstitusi bernegara,” tulis Denny Indrayana dalam tulisannya berjudul ‘Awas, Krisis Konstitusi di Depan Mata!’.

Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid menilai sebenarnya permintaan Denny Indrayana dapat dilihat sebagai sebuah aspirasi politik yang disampaikan kepada DPR. Di mana DPR memang memiliki hak angket untuk mengusulkan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan Pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi:

‘Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.’

Fahri mengatakan impeachment kepada Jokowi pada hakikatnya tidak mudah serta sangat rumit. Menurut dia, memakzulkan presiden atau wakil presiden sengaja dibuat berat dan rumit dengan melibatkan tiga lembaga negara, yaitu DPR, Mahkamah Konstitusi (MK) serta MPR.

“Sehingga secara akademik dapat dikatan bahwa pemakzulan atau impeachment adalah extraordinary political event di dalam sistem presidensil,” ujar Fahri kepada wartawan.

Fahri mengatakan, pemakzulan dalam pemerintahan sistem presidensialisme ditekankan agar seorang kepala negara hanya boleh diberhentikan dengan alasan hukum, dan tidak boleh dengan sangkaan secara politis.

“Apalagi jika melihat konfigurasi politik yang ada di parlemen saat ini, kelihatannya tidak mudah, apalagi secara hukum desain kelembagaan impeachment sengaja dibuat agar tidak mudah seorang kepala negara di jatuhkan,” jelas Fahri Bachmid.

Fahri mengatakan, DPR dapat mengusulkan pemakzulan terhadap presiden jika memang terbukti adanya dugaan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Hal itu diatur dalam Pasal 7B UUD 1945, yang berisi:

‘Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden’.

Jika Jokowi terbukti melakukan pelanggaran hukum seperti yang disebutkan dalam undang-undang, maka usul pemberhentian itu dapat diajukan oleh DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum.

Pengajuan permintaan DPR kepada MK pun hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR di parlemen.

Kemudian ketika proses itu harus berakhir di MPR, maka mekanisme pengambilan keputusan pemberhentian presiden harus diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Dalam rapat itu presiden juga bakal diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.

Secara rinci, proses pemakzulan terhadap presiden dan wakil presiden terdapat dalam Pasal 7B UUD 1945, yang berbunyi:

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.

(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

“Dengan demikian saya berpendapat biarlah wacana yang dilontarkan oleh Prof Denny Indrayana secara akademik dapat dimaknai sebagai academic discourse dan secara politik agar anggota DPR RI menyikapinya sesuai kewenangan konstitusional yang ada, tetapi secara politis saya berpendapat not easy and complicated,” pungkas Fahri Bachmid.

Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Faldo Maldini menganggap usulan Denny Indrayana untuk memakzulkan Jokowi hanyalah candaan.

“Denny itu bercanda, kepemimpinan yang kepuasan rakyatnya tinggi dan relatif tanpa skandal politik mau dimakzulkan, gimana caranya?,” kata Faldo juga kepada wartawan.

“Yang kepuasannya rendah dan penuh skandal politik saja di masa lalu tidak dimakzulkan kok. Jadi saya tidak paham logika hukum politiknya Denny,” lanjutnya.

Namun, kata Faldo, meski tak masuk akal namun usulan Denny Indrayana sebagai pakar hukum harus dihormati.

“Kalau mau lempar-lempar untuk keributan sih sudah berhasil,” ujarnya.

Sementara Menko Polhukam Mahfud Md menilai bahwa isu ini tak penting untuk dibahas. “Nggak menarik untuk dibahas kalau saya. Nggak ada urgensinya,” ujar Mahfud Md.

Pengamat Politik Adi Prayitno menilai sangkaan terhadap Jokowi untuk menjegal Anies Baswedan dari kontestasi Pilpres 2024 berlebihan. Sebab, bukti-bukti yang disodorkan Denny Indrayana dalam surat terbukanya sangat sumir.

“Kabar soal penjegalan Anies ini sebenarnya kalau mau jujur hanya sebatas konsumsi elit. Rakyat biasa ini kan tidak tahu apapun soal isu penjegalan. Karenanya publik ingin tahu apa sebenarnya parameter yang dijadikan sebagai ukuran bahwa Anies itu dijegal, itu nggak kelihatan,” kata Adi.

Misalnya, kata Adi, kasasi yang dilakukan Moeldoko terhadap Partai Demokrat dijadikan acuan bahwa Anies akan dijegal pun dirasa sangat berlebihan. Sebab, kasus Moeldoko bersengketa dengan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono ini terjadi pada Maret 2021, jauh sebelum Nasdem mengumumkan Anies Baswedan sebagai calon presiden.

“Jauh hari sebelum Anies diumumkan sebagai kandidat capres, dan itu terjadi 2 tahun yang lalu. Itu yang saya sebut berlebihan,” ujarnya.

Kemudian, kata Adi, jika penjegalan Anies karena PKS atau Demokrat digoda keluar dari Koalisi Perubahan juga berlebihan. Sebab, hal itu merupakan upaya melakukan lobi-lobi kerjasama yang biasa dilakukan partai politik lain.

“PKB saja dirayu sama Golkar gitu ya, karena Golkar sedang mencari teman politik juga untuk maju di 2024, tapi tidak ada yang bilang bahwa Prabowo akan dijegal,” kata dia.

Atau misalnya, saat PPP keluar koalisi dan mendukung PDIP tidak ada yang mengatakan Airlangga Hartarto dijegal.

“Jadi indikasi penjegalannya harus jelas, itu yang sebenarnya ditunggu oleh publik,” ujar Adi.

Peneliti Utama di Pusat Riset Politik BRIN Firman Noor menilai bahwa sebenarnya Denny Indrayana sendiri memahami mustahil untuk memakzulkan Jokowi, mengingat konstelasi politik saat ini. Di mana semua pihak termasuk partai politik dan DPR ingin agar situasi kondusif jelang Pemilu 2024.

Namun, kata dia, apa yang dilakukan oleh Denny Indrayana ini merupakan pelajaran yang baik agar Presiden Jokowi lebih berhati-hati dalam melakukan manuver politik.

“Dia merasa ini merupakan salah satu tanggungjawab dia sebagai warga negara untuk menyampaikan haknya untuk didengar dan diperhatikan oleh DPR, sehingga setiap orang menjadi lebih paham. Ini kan memang tertutup selama ini dan nanti akan dibiarkan begitu saja, selesai begitu saja, tapi kelihatannya Deni ini ingin ada proses lebih lanjut. Saya kira itu hak warga negara bagi seorang Deni dan kita lihat nanti bagaimana respon DPR yang kelihatannya saya kira tidak semudah itu melakukan proses ini,” tandas Firman.

Itulah beberapa pandangan dari para tokoh politik Indonesia dalam menilai dan memprediksi desakan Denny kepada DPR untuk memakzulkan Presiden Jokowi. Sejauh ini, para politikus melihat peluang tersebut sangatlah kecil.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *