Purna Warta – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan uji materi terhadap Pasal yang mengatur remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.
Salah satunya ialah objek pengujian pada Pasal 34A ayat 1 huruf a yang menerangkan bahwa narapidana kasus kejahatan luar biasa termasuk korupsi bisa mendapat remisi dengan syarat ‘bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.’
Pasal ini dibatalkan dan dicabut oleh MA melalui putusan perkara nomor: 28 P/HUM/2021 yang diketok pada 28 Oktober 2021.
“Dari sini, masyarakat dapat melihat bahwa lembaga kekuasaan kehakiman tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Pada masa mendatang, akibat putusan MA ini, narapidana korupsi akan semakin mudah untuk mendapatkan pengurangan hukuman,” tulis ICW dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (30/10).
Diketahui, melalui pembatalan tersebut nantinya narapidana kasus kejahatan luar biasa termasuk korupsi tidak memerlukan status Justice Collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama untuk memperoleh remisi.
Padahal, menurut ICW PP 99/2021 selama ini sudah cukup baik dalam mengakomodir pengetatan syarat pemberian remisi bagi koruptor.
MA, kata ICW, terlihat konsisten terhadap putusannya sendiri sebelumnya. Ia merujuk pada putusan Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015 yang menyatakan bahwa perbedaan syarat pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana.
Hal itu justru bertentangan dengan pertimbangan MA ketika membatalkan PP 99/2012 dimana regulasi itu dipandang diskriminatif karena membeda-bedakan perlakuan kepada terpidana.
“Lagi pula, perbedaan syarat pemberian remisi dalam konteks pembatasan hak diperbolehkan UUD 1945. Konsep tersebut tertera dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pembatasan hak melalui undang-undang (UU),” ucap ICW.
ICW juga tak sepakat apabila MA berdalih pembatalan aturan itu tak sesuai dengan pendekatan restorative justice dalam penegakkan hukum.
Menurutnya, konsep restorative justice tercermin dari pemberian remisi dan bukan syarat pengetatan penerimaan itu. Menurutnya, undang-undang menjamin bahwa pemberian remisi adalah hak setiap terpidana.
Namun demikian, syarat pemberian remisi terhadap terpidana jenis kejahatan khusus seperti korupsi perlu mendapat dettern effect sehingga diperketat.
“Dengan kata lain, MA sedang berupaya menyamakan kejahatan korupsi dengan jenis kejahatan umum lainnya,” tulis lembaga ini.
Terakhir, ICW juga menganggap MA keliru dalam melihat persoalan overcrowded atau masalah penuhnya lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia. Menurut mereka, kapasitas lapas yang terlampau padat harus diselesaikan melalui regulasi dalam bentuk Undang-undang dan tak berkaitan dengan syarat pemberian remisi.
Salah satunya ialah undang-undang narkotika yang menjadi penyumbang terpidana terbanyak ke Lapas.
“Berdasarkan data dari sistem database pemasyarakatan per Maret tahun 2020, jumlah terpidana korupsi sebenarnya hanya 0,7 persen (1.906 orang). Angka tersebut berbanding jauh dengan total keseluruhan warga binaan yang mencapai 270.445 orang. Melihat data tersebut, pertimbangan majelis hakim MA menjadi semakin tidak masuk akal,” katanya.
Kelompok masyarakat sipil ini pun mengkhawatirkan putusan MA yang telah diterbitkan ini. Putusan, kata dia, sejalan dengan niat buruk pemerintah untuk memperlonggar pemberian remisi pada koruptor.