Jakarta, Purnawarta – Menurut pihak Komnas HAM, kasus mutilasi di Mimika, Papua sempat diwarnai oleh obstruction of justice berupa penghilangan barang bukti atau merintangi penyidikan perkara oleh para terduga pelaku.
Tindakan itu disebut sengaja dilakukan untuk menutupi kebenaran peristiwa tersebut.
“Komunikasi antarpelaku setelah peristiwa dan juga adanya berbagai upaya obstruction of justice. Jadi ini ada upaya obstruction of justice untuk menghilangkan barang bukti,” kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (20/9/2022).
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyebut upaya obstruction of justice dilakukan para pelaku dengan menghapus jejak komunikasi di ponsel. Dia mengatakan jejak komunikasi itu dihapus usai mutilasi terjadi.
“Kalau obstruction of justice itu kan biasanya terjadi setelah peristiwa ya kan, terus untuk menutupi peristiwa bukan bagian dari peristiwa itu sendiri. Nah, mutilasi itu bagian dari peristiwanya itu sendiri. Kalau menghapus komunikasi itu kan setelah peristiwa setelah ini naik terus ada penghapusan komunikasi itu,” tutur Anam.
Komnas HAM juga menyebut ada satu orang terduga pelaku yang masuk daftar pencarian orang (DPO) dalam kasus mutilasi di Mimika, Papua. Komnas HAM menyampaikan DPO tersebut bernama Roy Marthen Howai.
Peran Roy itu terungkap berdasarkan rekonstruksi. Namun Komnas HAM, tidak membeberkan apa peran Roy.
“Ada beberapa adegan dalam rekon (rekonstruksi) yang kemudian mengarahkan pada peran Saudara Roy Marthen Howai yang sampai saat ini statusnya masih DPO dari pihak kepolisian,” ujar Beka.
Total terduga pelaku diketahui berjumlah 6 oknum anggota TNI dan 4 orang warga Sipil termasuk 1 orang DPO.