Purna Warta – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut pemerintah akan memikirkan upaya lain bagi pengguna narkoba supaya tidak semuanya berakhir menjalani hukuman di lembaga permasyarakat (lapas).
Pernyataan tersebut, bukan tanpa sebab disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini. Pasalnya, hampir 50 persen dari 200 ribuan warga binaan atau narapidana di seluruh lapas se-Indonesia terlibat kasus narkotika.
“Bayangkan satu kejahatan mendominasi 50 persen, sisanya kejahatan-kejahatan lain,” kata Mahfud saat konferensi pers di Lapas Kelas I Tangerang, Rabu (8/9/2021).
Sementara di sisi lain, Mahfud mengatakan, kalau yang masuk ke dalam lapas itu bukan hanya bandar saja.
Kebanyakan mereka merupakan pengguna atau korban dari peredaran narkoba hingga orang yang terjebak.
“Bawa tas, ada orang masukan barang tangkap di sana. Ada orang tidak ngerti bawa ke sana, kena masuk penjara,” ungkapnya.
Lantaran itu, pemerintah bakal memikirkan vonis bagi para pengguna narkoba untuk tidak seluruhnya menjalani hukuman penjara.
Karena pada kenyataannya, warga binaan dengan kasus narkoba mendominasi dari jumlah warga binaan di seluruh lapas di Indonesia.
Di sisi lain, semakin bertambahnya warga binaan tidak disertai dengan penambahan lapas sehingga banyak yang mengalami over kapasitas.
“Oleh karena itu kita bicara, orang bandar itu tidak, itu tetaplah vonis inkrah tapi korban kita pikirkan apakah itu harus masuk lapas semua, apa tidak lebih bagus dengan selektif direhabilitasi,” ujarnya.
Warga binaan dengan kasus narkoba yang mendominasi tersebut juga sempat disinggung Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Peneliti ICJR Maidina Rahmawati menuturkan mayoritas penghuni Rutan dan Lapas kata Maidina berasal dari tindak pidana narkotika.
Diketahui, ada sebanyak 28.241 WBP total di seluruh Indonesia merupakan pengguna narkotika yang sedari awal seharusnya tidak perlu dijebloskan ke penjara.
Maidina menuturkan angka tersebut bisa bertambah besar karena kebanyakan dari pengguna narkotika juga dijerat dengan pasal kepemilikan dan penguasaan narkotika yang digolongkan sebagai bandar.
“Polisi, Jaksa, dan Hakim lebih memilih mengirimkan para pengguna ini ke dalam penjara dari pada penanganan atau alternatif pemidanaan lain yang lebih manusiawi seperti rehabilitasi atau pidana bersyarat dengan masa percobaan,” katanya.
ICJR, kata Maidina, menekankan pentingnya refleksi dari institusi dan lembaga negara dalam sistem peradilan untuk menyelesaikan persoalan Lapas.
“Dalam kondisi ini, maka sekali lagi penting untuk berefleksi agar ada visi bersama dari institusi dan lembaga negara khususnya yang berada dalam sistem peradilan pidana untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan Lapas,” tuturnya.