Jakarta, Purna Warta – Indonesian Corruption Watch (ICW) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera turun tangan menyelidiki kemungkinan perbuatan melawan hukum dalam proses pengadaan barang dan jasa alat material kesehatan (almatkes) Covid-19.
Peneliti ICW, Dewi Anggraini mengungkapkan organisasinya mendapati sejumlah kejanggalan dalam proses pengadaan almatkes Covid-19 selama kurun April-September 2020 dengan potensi kerugian yang diperkirakan mencapai Rp169,1 miliar.
“KPK seharusnya menindaklanjuti kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan untuk penanganan Covid-19. Jadi, tidak hanya di Kemensos, tapi juga di BNPB,” kata Dewi dalam konferensi pers daring, Kamis (18/3).
Menurut Dewi, BNPB selaku penanggung jawab telah abai dalam proses pengadaan almatkes Covid-19 oleh sejumlah perusahaan yang ditunjuk sebagai penyedia.
Selama April-September 2020 misalnya, ICW menemukan total ada 498.644 reagen yang dikembalikan karena dinilai tak layak pakai, salah satunya karena dekat masa kedaluwarsa. Pengembalian reagen itu terjadi di 78 laboratorium yang tersebar di 29 provinsi dengan potensi kerugian mencapai Rp169,1 miliar.
Pada awal September lalu, ia juga mendapati sebanyak 1.850 alat tes dikembalikan oleh salah satu rumah sakit di Jawa Timur karena mendekati masa kedaluwarsa dalam waktu kurang dari dua bulan atau pada pertengahan Oktober.
Dalam dokumen kerja sama, ICW menemukan BNPB hanya mengecek berdasarkan jumlah barang yang diterima. Sementara pengecekan tidak dilakukan pada masa kedaluwarsa. Pengembalian alat tes merek liferiver itu ditaksir mengalami potensi kerugian mencapai Rp693,7 juta.
“Kondisi ini menunjukkan dalam proses pengadaan BNPB kami duga sengaja mengabaikan tanggal kedaluwarsa. Dampaknya adalah potensi kerugian negara sebesar Rp693,7 juta karena barang yang dikembalikan nggak digunakan,” kata dia.
ICW mencatat, selama kurun waktu April-September, BNPB total telah menunjuk tujuh perusahaan penyedia barang dan jasa almatkes Covid-19 dengan nilai kontrak mencapai Rp545,5 miliar. Dari tujuh perusahaan, PT TWA menjadi perusahaan yang paling banyak ditunjuk sebagai penyedia, dengan nilai kontrak mencapai Rp117 miliar atau 21,32 persen dari total kontrak.
Namun ICW menilai, BNPB mengabaikan dua syarat alternatif yang diatur dalam Surat Edaran Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 3 Tahun 2020, dalam penunjukan sejumlah perusahaan tersebut.
Buntutnya, ICW mendapati bahwa semua perusahaan tak memenuhi dua syarat alternatif yakni pernah menyediakan barang dan jasa sejenis atau terdaftar dalam katalog elektronik.
Sementara, lanjut dia, ICW justru mendapati bahwa sejumlah perusahaan mendadak telah mengubah segmen bisnis mereka ke pengadaan barang dan jasa almatkes tak lama sebelum penandatanganan kontrak dengan BNPB.
“Jadi kalau kita merujuk kembali, tadi tiga butir SE LKPP 3/2020 jelas bahwa apa yang tadi terduga soal adanya PMH, itu terjadi karena balik lagi, dua syarat, sebetulnya alternatif, salah satu dipenuhi, ternyata tidak dipenuhi sama sekali,” kata dia.
Baca juga: Tolak Hadiri Sidang Online, Rizieq Shihab: Silakan Lanjutkan, Saya Tunggu Vonisnya