PurnaWarta – Alat berat membawa muatan batu bara di kawasan tambang airlaya milik PT Bukit Asam Tbk (PTBA) di Tanjung Enim, Muara Enim, Sumatera Selatan. Tahun ini, perusahaan menargetkan produksi batu bara sebanyak 30 juta ton hingga akhir 2021. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp).
Petugas mengoperasikan stekker recliming untuk memindahkan batu bara ke conveyor belt di kawasan tambang batubara airlaya milik PT Bukit Asam Tbk di Tanjung Enim, Muara Enim, Sumatera Selatan. Perusahaan mempertahankan target produksi meski harga komoditas global mulai melandai. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp).
Sejumlah heavy dump truck membawa muatan batu bara di kawasan tambang airlaya milik PT Bukit Asam Tbk di Tanjung Enim, Muara Enim, Sumatera Selatan. Tahun ini, harga batu bara melesat hingga menembus US$200 per ton karena prospek permintaan membaik di tengah ketatnya pasokan. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp).
Kenaikan harga batu bara juga tak lepas dari memburuknya hubungan China dan Australia. Sengketa itu membuat Australia tak bisa mengekspor batu bara ke Negeri Tirai Bambu. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp).
Namun, harga batu bara mulai melandai selama beberapa hari terakhir ke kisaran US$150 per ton. Pelemahan terjadi karena China mendorong perusahaan tambang lokal untuk meningkatkan produksi. Sementara itu, sejumlah negara-negara di dunia mulai mendorong pemanfaatan energi bersih dan mengurangi penggunaan batu bara. China sendiri telah berkomitmen untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp).