Teheran, Purna Warta – Para peneliti telah mengembangkan prototipe baterai yang memanfaatkan radiasi dari limbah nuklir untuk menghasilkan listrik, menawarkan cara potensial untuk menggunakan kembali bahan radioaktif.
Penelitian yang dipimpin oleh para ilmuwan di Ohio State University ini menunjukkan bagaimana radiasi gamma dari limbah nuklir dapat memberi daya pada mikroelektronika. Meskipun keluaran saat ini terbatas pada sensor kecil, para peneliti percaya teknologi ini dapat ditingkatkan.
“Kami memanen sesuatu yang dianggap sebagai limbah, dan secara alami, mencoba mengubahnya menjadi harta karun,” kata Raymond Cao, seorang insinyur nuklir di Ohio State University.
Tenaga nuklir memasok sekitar 10% energi dunia, menawarkan alternatif bahan bakar fosil dengan emisi gas rumah kaca yang minimal. Jika para peneliti berhasil memanfaatkan limbahnya, energi nuklir dapat menjadi pilihan yang lebih menarik.
Baterai nuklir, yang mengubah peluruhan radioaktif menjadi listrik, telah dikembangkan selama beberapa dekade tetapi belum layak secara komersial. Dalam penelitian ini, energi diproduksi melalui proses dua langkah: kristal pengilap pertama-tama mengubah radiasi menjadi cahaya, yang kemudian diubah menjadi listrik oleh sel surya.
Prototipe baterai, berukuran sekitar empat sentimeter kubik (0,24 inci kubik), diuji dengan cesium-137 dan kobalt-60—keduanya merupakan produk sampingan umum dari fisi nuklir. Baterai tersebut menghasilkan daya masing-masing sebesar 288 nanowatt dan 1,5 mikrowatt.
“Ini adalah hasil terobosan dalam hal keluaran daya,” kata Ibrahim Oksuz, seorang insinyur kedirgantaraan di Ohio State University. “Proses dua langkah ini masih dalam tahap awal, tetapi langkah selanjutnya melibatkan pembangkitan watt yang lebih besar dengan konstruksi yang dapat ditingkatkan skalanya.”
Baterai tersebut ditujukan untuk digunakan di dekat fasilitas limbah nuklir dan bukan untuk konsumsi publik, yang berpotensi memungkinkan sensor dan monitor dengan perawatan rendah. Para peneliti menekankan bahwa baterai itu sendiri aman untuk disentuh dan tidak akan mencemari lingkungan sekitarnya, meskipun masih ada pertanyaan tentang keawetannya.
“Persyaratan kekerasan radiasi untuk sintilator dan sel fotovoltaik sangat penting dan harus menjadi fokus utama penyelidikan oleh para peneliti yang menangani topik ini,” catat penelitian tersebut.
Teknologi ini juga dapat diterapkan di luar angkasa, tempat radiasi gamma hadir secara alami. Meskipun diperlukan peningkatan yang signifikan, para peneliti tetap optimis tentang potensinya.
“Konsep baterai nuklir sangat menjanjikan,” kata Oksuz. “Masih banyak ruang untuk perbaikan, tetapi saya yakin di masa mendatang, pendekatan ini akan mengukir ruang penting bagi dirinya sendiri baik dalam industri produksi energi maupun sensor.”