Oleh: Ismail Amin
Sampai sekarang, tidak ada lagi tokoh Arab setenar dan sepopuler Raja Faisal. Bisa dibilang, dia satu-satunya raja Saudi yang anti Zionis dan pro Pan-Islamisme. Penentangannya pada Zionisme dimulai sejak dia masih pangeran. Dia mendesak ayahnya, Raja Abdul Aziz untuk memutus hubungan dengan AS, karena AS saat itu mendukung pendirian Israel. Namun sang ayah menolak, karena saat itu hubungan bisnis dengan AS sangat menguntungkan Arab Saudi.
Setelah sang ayah mangkat, kekuasaan di tangan kakaknya, Raja Saud. Yang karena penuh skandal dan tidak kompeten, akhirnya digulingkan dan diusir keluar Saudi. Raja Faisalpun naik tahta pada 2 November 1964. Dia langsung tancap gas dengan membuat kebijakan-kebijakan luar negeri yang pro Palestina. Dia menyerukan agresi militer melawan Israel untuk pembebasan Palestina. Seruan yang disambut gempita oleh Mesir dan Suriah. Ketiganya kemudian membentuk koalisi militer melawan Israel. Meski awalnya di atas angin, namun akhirnya koalisi itu kalah, karena Mesir menarik diri dengan alasan khawatir dengan ancaman AS yang akan menyerang Mesir jika masih melanjutkan pertempuran. Presiden Gamal Abdul Naser menarik pasukannya, disaat pasukan koalisi tinggal sedikit lagi memasuki Israel.
Tidak menerima kekalahan itu, Raja Faisal marah besar. Ia berbalik menantang AS. Dia memutuskan hubungan diplomatik dan menyerukan perang ekonomi dengan AS dan negara-negara Barat yang mendukung Israel. Caranya, dia mengembargo ekspor minyak Arab Saudi. Dampak dari embargo itu tak main-main. Sektor industri dan transportasi AS lumpuh dan perekonomiannya kacau. BBC pernah melakukan wawancara dengan Raja Faisal. Reporter bertanya kepadanya, “Peristiwa apa yang Paduka ingin lihat terjadi sekarang di Timur Tengah.” Raja Faisal menjawab, “Hal pertama adalah kematian Israel.”
Embargo minyak yang dikenal dengan nama Oil Boom I itu menguntungkan Indonesia. Importir minyak dari AS dan Eropa beralih ke Indonesia dengan kenaikan harga minyak mencapai 481 persen, pendapatan negara melonjak sampai 619 persen. Melalui Henry Kissinger, AS mengancam Raja Faisal jika tidak mencabut boikot, Saudi akan diserang AS dan diratakan dengan tanah. Raja Faisal menjawab, “Anda adalah orang-orang yang tidak bisa hidup tanpa minyak. Anda tahu, kami berasal dari gurun, dan nenek moyang kami hidup dengan kurma dan susu dan kami dapat dengan mudah kembali dan hidup seperti itu lagi.”
Di dalam negeri, Raja Faisal dijuluki sebagai sang reformis dan pernah mendapat gelar man of the year yang diberikan oleh majalah TIME. Dia membawa perubahan besar dalam kerajaan Arab Saudi. Dia tidak banyak berbicara, tapi cakap dalam memimpin. Dia menghapus perbudakan dan memodernisasi institusi pendidikan di Arab Saudi. Dia menggratiskan pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi dan mewajibkan semua warga mendapat pendidikan, tidak terkecuali perempuan. Disaat pendidikan di dunia Arab masih mengalami diskriminasi gender terhadap perempuan, Raja Faisal membuat prototype sekolah modern khusus perempuan.
Raja Faisal juga melakukan penyederhanaan gaya hidup keluarga kerajaan serta melakukan penghematan kas kerajaan dengan menarik 500 mobil mewah Cadillac milik istana. Dia juga membatasi keluarga kerajaan untuk keluar negeri, bahkan Raja Faisal mengeluarkan dekrit bahwa semua pangeran Saudi harus menyekolahkan anak-anak mereka di dalam negeri. Keuntungan dari penghematan itu dia gunakan untuk membangun sumur raksasa hingga sedalam 1.200 meter sebagai tambahan sumber air rakyat untuk dialirkan pada lahan-lahan tandus di Semenanjung Arab.
Sebagai bentuk dukungannya pada Pan-Islamisme, ia menerapkan kebijakan non sektarian lebih luas. Dia menerima keragaman budaya dan merangkul Syiah Al Ahsa di timur; Asir di barat daya, dan suku-suku diperbatasan Yaman seperti suku Ismaili di Najran dan Jizan yang diera-era sebelumnya mengalami diskriminasi.
Di masa kekuasaannya dia membatasi peran dan otoritas ulama Wahabi. Dia memangkas pengaruh dan dominasi ajaran Wahabi terhadap lembaga keagamaan seperti Majelis Ulama Senior dengan memasukkan ulama-ulama Sunni. Bahkan ia mengangkat dari ulama Sunni (Sufi) al-Sayyid ‘Alawi ibn ‘Abbas al-Maliki al-Hasani, sebagai mufti besar, dan tidak mengambil kebijakan apapun tanpa lebih dulu meminta nasehatnya. Kepada ulama-ulama Saudi, dia berkata, “Semua Muslim, dari Mesir, India, dan lain-lain adalah saudaramu, apapun mazhabnya.”
Modernisasi yang dipeloporinya mendapat protes besar-besaran dari kalangan konservatif yang dimobilisasi ulama Wahabi. Diantara demonstrasi terbesar adalah aksi menentang penyiaran televisi pada tahun 1965 karena bagi ulama Wahabi haram hukumnya menonton televisi. Demonstran menyerang stasiun televisi dan ditembaki aparat keamanan, sehingga menelan korban jiwa.
Diantara tokoh berpengaruh Wahabi yang keras menentang kebijakan modernisasi Saudi adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz, saat itu rektor perguruan tinggi Islam di Madinah. Raja Faisal tidak menerima kritikannya dan mencopot posisinya. Raja Faisal bahkan marah besar dan menyuruh penghancuran buku-buku bin Baz, saat ulama Wahabi itu mempublikasikan tulisan, mataharilah yang mengelilingi bumi, yang membuat Saudi diejek dunia internasional sebagai contoh keprimitifan Saudi. Kelak, sepeninggal Raja Faisal, Syaikh bin Baz ini diangkat menjadi Mufti Besar Arab Saudi.
Mai Yamani seorang Antropolog terkenal Saudi, mengatakan, pasca Raja Faisal, diskriminasi berdasarkan sekte, suku, wilayah, dan jenis kelamin kembali menggejala dan menjadi tatanan Arab Saudi sampai hari ini.
Raja Faisal pernah mengunjungi Indonesia. Dia datang tahun 1970 dan disambut oleh Presiden Soeharto. Soeharto menyatakan dukungan kepada Raja Faisal dan bangsa Arab dalam upayanya membebaskan Palestina dan memerangi Israel.
Namun hidup raja yang dicintai rakyatnya ini berakhir tragis. 25 Maret 1975 yang seharusnya hari itu adalah hari libur, sebab memperingati Maulid Nabi, Raja Faisal menyambut kedatangan delegasi dari Kuwait dalam acara resmi kenegaraan di istananya. Disaat menunduk menyambut tamu, Faisal bin Musaid keponakannya yang berusia 26 tahun mengeluarkan senjata api jenis revolver dari jubahnya dan menembaknya dari jarak dekat. Raja Faisal tersungkur dengan luka tembak di kepala. Dengan segera dia dilarikan ke rumah sakit, tapi nyawanya tidak tertolong.
Sebelum meninggal dia memesankan agar keponakannya tidak dieksekusi mati. Rakyat yang marah tidak mengindahkan pesan raja dan menuntut sang keponakan dihukum mati. Setelah melalui investigasi selama 16 minggu, otoritas Saudi menjatuhkan hukuman mati kepada Faisal bin Musaid. Faisal yang baru pulang dari Amerika Serikat itu dipenggal kepalanya dihadapan publik karena terbukti bersalah atas pembunuhan berencana terhadap Raja Faisal.
Meski otoritas Saudi menyebut tidak menemukan bukti adanya konspirasi Intelejen CIA dan Mossad dalam pembunuhan tersebut. Namun para pengamat yakin, Amerika Serikat terlibat sebab sangat diuntungkan dengan mangkatnya raja yang keras kepala menentang arogansi AS tersebut.
Israel menyambut kematian Raja Faisal dengan gembira. Media Israel menyebut “Raja Arab yang membenci Yahudi telah diturunkan dari panggung.” Bangsa Arab berduka. Sejak kematian Gamal Abdel Nasser hampir lima tahun sebelumnya, dunia Arab tidak pernah begitu terguncang karena kehilangan seorang pemimpin politik.
Di seluruh Timur Tengah, stasiun radio menghentikan program reguler mereka untuk memutar ulang suara emosional penyiar Riyadh yang memberitakan kematian raja. Harian Mesir menulis, “Bangsa Arab tidak pernah bisa melupakan sikap heroiknya selama perang Oktober, atau bahwa dia melancarkan pertempuran minyak untuk mendukung para pejuang di Sinai dan Golan, atau bantuan moral dan material yang dia berikan tanpa batas kepada negara-negara garis depan.”
Pasca-kematian Raja Faisal, secara perlahan namun pasti perekonomian AS kembali pulih. Dan sampai sekarang tidakada lagi muncul dari raja Saudi yang memiliki sikap anti Zionis dan menolak tunduk pada AS.
*Pemerhati isu-isu Timur Tengah, sementara menetap di Iran