HomeLainnyaSejarahPeran Perjuangan Perempuan dalam Gerakan Asyura

Peran Perjuangan Perempuan dalam Gerakan Asyura

oleh: Haryati

Sudah lebih seribu tahun peristiwa tragedi Asyura diperingati.  Peristiwa kelam dalam dunia Islam di mana di dalamnya terjadi pembantaian terhadap cucu Rasulullah, al-Husain as oleh pasukan Umar bin Saad. Dengan lebih dari dua puluh ribu orang, Imam Husain as beserta pengikut setianya terbantai di padang pasir Karbala, tepat  10 Muharram 61 H  atas perintah Yazid bin Muawiyah.

Sikap antagonis Yazid terhadap Islam secara terang-terangan membuat Imam Husain as memilih jalan kesyahidan agar ajaran Islam tetap tegak dan bertahan kemurniannya hingga saat ini. Pengorbanan dan kepahlawanan ksatria-ksatria Karbala yang menandai kemenangan Islam dari ancaman terbesar kemusnahannya telah terukir dengan tinta emas dalam sejarah Islam bahkan dunia.  Meski demikian, pengorbanan Imam Husain as yang menjadi titik tolak kehancuran kekuasaan Bani Umayyah tersebut, tetap menyisakan rangkaian banyak kisah memilukan.

Dalam banyak gerakan pembaharuan dan revolusi sosial, besarnya peran dan kontribusi perempuan tidak bisa dinafikan. Kepekaan emosional yang mendominasi pada diri perempuan, membuatnya mudah tergugah dan dengan segera ikut meleburkan diri dalam kobaran api revolusi yang membara dan mempersiapkan diri untuk pengorbanan.  Tidak terkecuali dalam gerakan revolusi yang dilakukan Imam Husain as. Pesan dan syiar-syiar kemenangan revolusi Husaini terdengar sampai ke penjuru negeri dan tetap lekang suaranya sampai saat ini, karena peran magis kaum perempuan.

Gerakan Imam Husain as tidak terhenti di Karbala, dimana jasadnya terkubur, tapi terus menginspirasi gerakan-gerakaan revolusi di banyak negara di dunia. Perlawanan rakyat India dalam menghadapi imperialisme Inggris, diakui oleh Mahatma Ghandi sebagai pemimpin gerakan, terinspirasi dari semangat altruisme pahlawan-pahlawan Karbala. Soekarno yang memimpin revolusi kemerdekaaan Indonesia, dalam pidato-pidatonya yang menggelegar kerap mengingatkan perjuangan Imam Husain as di Karbala adalah perjuangan kebenaran melawan kezaliman dan perjuangan yang serupa pula yang sedang ia kobarkan. Dan kesemua perjuangan itu mencapai kemenangannya dengan keterlibatan kaum perempuan. Gerakan-gerakan massal yang melibatkan lautan perempuan telah banyak melakukan pembaharuan dan perubahan sosial. Gerakan pelarangan alkohol di Amerika pada akhir abad ke-18 adalah sebuah gerakan massal perempuan.  Revolusi Islam Iran juga merupakan contoh nyata dari kehadiran efektif perempuan dalam perubahan fundamental sebuah negara. Gerakan massa perempuan Indonesia pun pernah dilakukan yang digerakkan oleh Gerwani, pada saat kenaikan harga pada tahun 1960an.

Pada peristiwa Asyura, kaum perempuan dengan perannya sebagai ibu, istri, saudara perempuan dan anak perempuan mendorong dan mendukung laki-laki mereka untuk berjuang bersama Imam Husain as. Kaum perempuan memainkan perannya, sebagai pendorong dan penggerak revolusi di balik tirai. Mereka rela mengorbankan orang-orang yang mereka cintai demi jihad di jalan Allah. Almarhum Ayatullah Syaikh Ja’far Shooshtari ra, percaya bahwa Imam Husain as memanggil tujuh kali di Karbala, pertama ketika dia berbaris dan terakhir ketika dia syahid. Dan setiap seruan Imam Husain tersebut, selalu tampil perempuan-perempuan pemberani yang memberikan jawaban. Perempuan ini umumnya berkata, demi orang terkasih, yaitu para pemuda dan belahan hati mereka. Dalam setiap permintaan yang diucapkan Imam Husain,  suara para perempuan lebih lantang mengatakan, “Labbaika utusan Allah! jika tubuhku tidak memiliki kekuatan untuk membantumu, maka lidahku dapat membantumu, hatiku akan berkata kepadamu, Labbaik ya Husain.. !

Perempuan-Perempuan yang Hadir di Karbala

Ummu Wahab bin Abdullah

Ummu adalah salah satu perempuan yang berbakti. Ummu Wahab binti Abdullah berkata kepada putranya di Karbala: “Bangunlah anakku! Bantu putra-putri Rasulullah”.

Wahab memandang mata ibunya dan berkata: “Saya tidak akan ragu melakukan itu ibu”. Dia menyerang dan membunuh sekelompok tentara dan kembali ke ibu dan istrinya. Dia berdiri di depan mereka dan berkata: “Ibu, apakah kamu puas?”

Ibunya berkata: “Anakku, aku akan puas denganmu ketika kamu terbunuh dalam membela al Husain as. Anakku, berbaliklah dan bergabunglah bersama anak Rasulullah, agar dia menjadi perantaramu di hadapan Allah di hari kiamat”.

Dia kembali ke lapangan dan bertarung. Dalam pertempuran, pasukan Umar bin Saad memotong kedua tangan Wahab. Kemudian dia mengambilnya lalu memisahkan kepala Wahab dari tubuhnya dan melemparkannya ke ibunya. Sang ibu mengambil kepala dan menciumnya dan melemparkannya ke arah musuh. Ummupun mengambil tiang tenda dan berlari ke arah musuh. Namun Imam membalikkan punggungnya dan berkata: “Berperang tidak diwajibkan untuk perempuan”, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan – semoga Allah merahmati putramu – .Ummu kembali ke tenda,

Syahidah Karbala

Istri Wahab ketika melihat suaminya terbunuh, dia mendekati suaminya yang syahid, menyeka debu dan darah dari wajahnya. Saat Syimr melihatnya, dia memerintahkan salah satu budaknya bernama Rustam untuk memukul kepalanya dengan tombak di tangannya. Budak itupun memukuli dan membunuh istri Wahab yang berbakti ini. Dia adalah perempuan pertama yang syahid dalam peristiwa Asyura.

Ummu Amr, seorang perempuan yang suami dan putranya syahid di Karbala

Amr bin Junadah adalah seorang remaja yang belum dewasa yang ayahnya syahid sebelum dia. Ibunya adalah seorang perempuan yang memiliki iman dan hati yang penuh keteguhan dan keyakinan. Meski suaminya syahid, namun rasa haus akan pengorbanan dirinya belum juga surut, ia berkata kepada putranya: “Segeralah bergerak dan lawan musuh di depan Husain, putra Rasulullah, sampai kamu merengguk cawan kesyahidan!”

Putranya berkata: “Ibu sayang, saya tidak akan kekurangan ..” dia segera meninggalkan tenda dan menyerbu ke medan pertempuran, tetapi begitu Imam melihatnya, dia berkata: “Hentikan dia, dia belum melewati kesyahidan ayahnya, ibunya tidak punya siapa-siapa. Wahai anak laki-laki! Kembali dan jaga ibumu, mungkin dia tidak ridha dengan keterlibatanmu dalam perang.”

Pemuda itu berkata: “Tidak, tidak tuan, bukan seperti itu! Sebaliknya, ibu saya sendiri yang menyuruh saya datang ke alun-alun!”

Imam berkata: “Bebas, lakukan apapun yang kamu mau”.

Pemuda tersebut mati syahid. Musuh memenggal kepalanya dan melemparkannya ke arah tenda. Ibunya, sebagaimana Ummu Wahab, mengambil kepala buah hatinya dan berkata: “Selamat hai anakku, hai cahaya mataku…”. Kemudian dia melemparkan kepala tersbut ke arah musuh dan menyerang musuh lalu membunuh dua musuh, sampai Imam mengembalikannya ke tenda.

Seekor singa betina di antara pasukan Umar Saad

Humayd bin Muslim (perawi peristiwa Karbala) mengatakan: “Saya melihat seorang perempuan dari klan Bakr yang bersama suaminya di antara para sahabat Umar Saad. Ketika dia melihat bahwa orang-orang tiba-tiba menyerang istri dan putri Husain dan mulai menjarah, dia mengambil pedang dan datang ke tenda Husain dan berteriak: “Wahai orang-orang dari suku Bakr! Apakah kamu mengambil pakaian putri-putri Rasulullah sebagai rampasan? Matilah wahai komplotan durhaka, kalian pembunuh putra Utusan Allah!.” Tapi sebelum terjun ke medan pertempuran, suaminya meraih tangannya dan menariknya kembali ke tempatnya.

Para Perempuan Pemberani Ahlulbait

Zainab al Kubra

Zainab binti Ali bin Abi Thalib adalah Aqilah Bani Haysim. Dia merupakan pemimpin para perempuan pemberani dalam gerakan Imam Husain as. Dia dijuluki oleh Allah sebagai “Umm al-Masaib” dalam menanggung penderitaan. Zainab orang kedua setelah ibunya Zahra sa dalam kesucian dan kesopanan. Dia memiliki rasa malu dan rendah hati serta memiliki kesempurnaan. Dia adalah wali Allah, ridha dengan keridhaan Allah. Seorang yang berwasan luas tanpa ada yang mengajari.

Zianab sa adalah kekasih Rasulullah saw, Fatima Zahra dan Ali bin Thalib. Ia pengganti posisi ibunya az-Zahra, pembela al-Husain, dan pewaris Amirul Mukminin dalam kefasihan dan kebalighan. Ia adalah pahlawan Karbala dan merupakan rangkaian seluruh kesalehan dalam kesabaran dan perlawanan. Dalam menghadapi kesulitan, ia seperti gunung yang kokoh, batu karang yang kuat dalam hantaman gelombang yang mengamuk. Ia telah mematahkan punggung malapetaka. Ketika dia memprovokasi orang-orang di Kufah, Ibn Ziyad menjadi sangat marah.

Ziyad memanggil Ali Ibn Al-Husain as dan berkata: “Siapa kamu?”

Zainal Abidin as berkata: “Saya Ali bin al-Husain”.

Ibn Ziyad berkata: “Bukankah Ali bin Al-Husain sudah terbunuh di Karbala?”

Imam Sajjad as berkata: Orang yang keberaniannya seperti singa yang meminum cawan kesyahidan itu adalah saudaraku Ali as, yang bertentangan dengan kata-katamu, dia mati syahid oleh orang-orang, bukan karena Allah!

Kemarahan Ibnu Ziyad meningkat dan berkata: “Apakah anda masih memiliki keberanian dan kekuatan untuk menjawab saya dan melanggar kata-kata saya? Sekarang datanglah para algojo, bawa dia dan pancung kepalanya!”

Pembela wilayah dan Imamah, Zainab sang pahlawan menjadi geram, melemparkan dirinya ke pangkuan Imam Sajjad as dan berkata: Ya Ibnu Marjanah, semua darah yang telah kau tumpahkan, haus balas dendammu belum terpenuhi?, kamu masih meminta serigala kamu meminum darah kami?.”

Kemudian Zainab al-Kubra meletakkan tangannya di leher Imam Sajjad dan berkata: “Demi Tuhan! Aku tidak akan menyerahkan ingatan saudaraku dan aku tidak akan berpisah darinya, jika kau ingin membunuhnya, bunuhlah aku bersamanya. Bunuhlah aku bersamanya agar kami berdua bisa bersama”. Dengan keberaniannya itu, Ibnu Ziyad mengurungkan niatnya membunuh Imam Sajjad as, putra Imam Husain as yang tersisa.

Sejak awal Zainab selalu berada di sisi Imam Husain, abang dan sekaligus Imamnya. Pasca Imam Husain as syahid, Zainab tetap  berjalan di garis merah perjuangan Imam Husain as beserta para tawanan lainnya. Melalui orasi-orasinya yang membongkar kebusukan dan kebobrokan pemerintahan Yazid, banyak yang tercerahkan dan memilih bergabung dengan barisan perlawanan Ahlulbait.

Ummu Kultsum

Ummu adalah putri dari Amirul Mukminin as dan Fatima Zahra sa. Dia adalah wanita yang berani, dewasa dan bijaksana. Dia dibesarkan di rumah Ali as dan di pangkuan Zahra as. Pemahaman para imam seperti Ali as, Hasan as, Husain as dan Zainal Abidin as menambah pengetahuannya, ia juga aktif di bidang politik. Seperti, pada masa Usman. Dia dikirim ke Makkah dan Roma sebagai duta besar.

Di Karbala, dia adalah perempuan sempurna dan mapan. Dengan bantuan Zainab al kubra, dia mampu mengatasi kesulitan dan mempermalukan musuh. Dia juga menyampaikan khutbah di Kufah seperti Zainab Kubra sa, sambil menangis keras dari balik tirai tipis: “Wahai orang Kufah, malu kamu! Mengapa kamu mempermalukan Husain dan membunuhnya? Dan menjarah hartanya. Kamu mengambil dan menangkap para perempuan dan menyiksa mereka? Kematian dan kehancuran atasmu! Celakalah kamu! Tahukah kamu bencana apa yang akan menimpamu? Dan berapa banyak dosa yang akan kau tanggung? Dan darah apa yang kamu tumpahkan? Dan dengan kemurahan hati yang seperti apa kamu miliki saat menghadapi anak yang telah kamu curi pakaiannya? Kamu membunuh orang-orang terbaik setelah Rasulullah, kasih sayang menghilang dari pusat hatimu, karena tentara Allah akan menang dan pengikut syaitan akan kalah.”

Ketika Ibnu Ziyad berada di Kufah, dia menempatkan kepala Imam Husain as di depannya dengan kegirangan membayangkan hadiah besar yang akan dia dapatkan dari Yazid. Ummu Kultsum berkata kepada Ziyad: “Wahai putra Ziyad! Sudahkah Anda menyiapkan jawaban untuk menjawab para utusan Tuhan? Apakah anda tahu bahwa dia adalah utusan Allah swt?.” Setelah khutbah berapi-api Ummu Kultsum, orang-orang sangat terpengaruh sehingga mereka semua menangis meratap. Semuanya larut dalam penyesalan mengapa tidak membela al-Husain sehingga syahid terbunuh secara tragis.

Fatima Sughra, putri Imam Husain as

Fatima Sughra, putri Imam Husain as, istri Hasan Ibn Al-Hasan as. Dia juga menyampaikan sebuah khutbah di Kufah, dan di dalamnya, dia berterima kasih kepada Allah sebanyak jumlah pasir dan batu dan memuji Nabi Suci Muhammad saw. Fatimah Sughra berbicara kepada orang-orang dan berkata: “Saya berlindung kepada Anda dari berkata dusta, atau mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran, mengenai perjanjian yang dibuat untuk pengganti Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib. Ali yang dirampok haknya dan dibunuh dengan tidak bersalah, seperti kemarin mereka membunuh putranya di salah satu rumah Allah dan sekelompok orang yang mengaku Muslim hadir, oh debu di kepala mereka! Mereka telah menindas putra Ali as dalam hidupnya, juga tidak membantunya ketika dia meninggal. Sementara Husain memiliki sifat yang baik, dia memiliki akhlak yang baik, dia murni, kebajikan moralnya diketahui semua orang, dan pikiran baiknya terkenal di dunia.”

Rubab adalah ibu dari Sakinah dan Ali Asghar

Rubab putri ketiga dari seorang pria Kristen yang masuk Islam pada masa Khalifah kedua. Dia telah menjadi istri Imam Husain as, ternyata, dia adalah satu-satunya istri Imam Husain yang datang ke Karbala dengan kafilah Husain dan menjadi saksi dekat dari adegan yang memilukan dan mengejutkan itu.

Rubab adalah ibu dari Ali Asghar dan Sakinah yang patah hati. Dia adalah saksi dekat putranya yang berusia enam bulan dicabik-cabik di tangan ayahnya. Putranya Ali Asghar adalah tanda yang jelas dari penindasan Imam Husain. Dia, pada bagiannya, menentang propaganda jahat dan beracun dari penguasa yang merebut dan tidak membiarkan mereka menyia-nyiakan hidupnya dengan mendistorsi darah orang suci di Karbala. Dalam Majelis Ibnu Ziyad, dia meletakkan kepala Imam Husain di pangkuannya dan berkata: “Wahsina, kamu akan memamerkan Husain…” Oh Husainku! Aku tidak akan pernah melupakanmu…” Dengan pembacaan keanggunannya ini, dia menghela nafas begitu banyak dari hatinya yang berduka sehingga perasaannya yang murni menyentuh orang banyak. 

Sakinah, putri Imam Husain as

Narator Karbala, Sakinah lahir dari  seorang ibu bernama Rabab dan istrinya Qasim bin al-Hasan syahid di Karbala. Dia yang telah melihat kejadian itu dari dekat di Karbala. Dia dianggap sebagai salah satu perawi tragedi Karbala. Menurut Fadhl Darbandi dalam kitab Asrar al-Syahadah Sakinah, dia berkata: “Pada malam Asyura, saya mendengar ayah saya dan para sahabatnya berkata dari belakang tenda, saya diam dan tidak memberi tahu wanita lain. Saya perlahan bergerak maju, saya melihat ayah saya duduk dan teman-temannya mengelilinginya, ayah saya berkata: Anda berpikir bahwa jamaah ini akan berjanji setia kepada saya, tetapi Anda melihat bahwa iblis telah menguasai mereka, kecuali untuk membunuh saya dan teman-teman saya dan menangkap para Ahlulbait. Mereka tidak menginginkan yang lain. Ayahku belum selesai berbicara, sepuluh atau dua puluh orang pergi dan sekitar tujuh puluh atau delapan puluh orang tersisa.” Ummu Kulthum memperhatikanku dan bertanya kepadaku: “Apa yang terjadi? Saya menceritakan kisahnya, dia tidak tahan dan berteriak: “Ya Muhammada, Ali dan Husain..” Sakineh meninggal dunia di Madinah pada tahun 117 H.

Lubabah binti al Harits adalah istri Abul Fadhl

Lubabah, putri Ubaidullah bin Abbas, perempuan dari Qamar Bani Hasyim. Dia juga turut hadir di padang sahara Karbala. Setelah Abul Fadhl as mati syahid, dia menjadi tawanan dan setelah itu dia kembali ke Madinah bersama Ahlulbait. Tentunya bagi para perempuan ini, mereka telah diberi posisi dan kedudukan seperti suami dan laki-laki mereka di surga. Ya, setelah syahidnya Imam Husain as, para perempuan ini menjaga jiwa mereka dengan berusaha dalam setiap kesempatan yang ada, mengamalkan risalah revolusinya.

Dengan peran yang dimainkan setiap dewi-dewi sahara ini, baik secara individu ataupun kelompok, langsung atau tidak langsung, telah memberikan kontribusi kuat pada catatan sejarah pembantaian dan perjuangan cucu Rasulullah saw, al Husain assyahid. Dengan kesucian dan kesopanan serta kehadirannya yang komprehensif dan penting, mereka memenuhi tanggung jawab politik, revolusioner dan agama mereka pada saat-saat sejarah yang kritis.

Harapannya, perempuan saat ini akan melanjutkan misi perjuangan para perempuan pemberani ini, setidaknya air mata kita dalam penderitaan putra Zahra adalah semacam partisipasi dalam hikayatnya karena Imam Husain layak untuk tetap berada dalam sejarah dunia. Namun untuk menjaga dan mengaktualisasikan pencapaian gerakan suci Imam Husain as dan keabadian jalannya diwujudkan, kita tidak cukup hanya dengan menangisi tiap tahunnya tapi harus disertakan dengan gerakan yang kita lakukan dalam mentransformasi gerakan asyura dalam kehidupan sosial masyarakat sesuai cita-cita perjuangan Imam Husain as.

Haryati, Mahasiswi S2 Studi Kajian Wanita Jamiatu az-Zahra Qom, Iran

Must Read

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here