Pahlawan-Pahlawan Perempuan dalam Gerakan Asyura

Pahlawan-Pahlawan Perempuan dalam Gerakan Asyura

oleh: Haryati

[Muharram sebagai bulan pertama tahun Hijriyah adalah diantara bulan yang bersejarah bagi umat Islam. Sebuah peristiwa penting terjadi di bulan ini yang menjadi catatan hitam dalam lembaran sejarah Islam, yaitu terbunuhnya cucu Nabi Muhammad saw, Imam Husain as di Karbala Irak, pada tahun 61 H. Terbantainya keturunan Nabi Muhammad saw memicu terjadinyaa Gerakan Asyura. Sebagai muslim, sudah sepatutnya  kita mengenang kembali peristiwa tersebut. Melalui tulisan ini, kami menyajikan sejumlah sosok perempuan yang perannya tidak kecil dalam Gerakan yang dipimpin Imam Husain tersebut untuk menjaga kemurnian ajaran datuknya yang telah coba dirusak oleh berbagai penyimpangan yang dilakukan Yazid bin Muawiyah yang berkedudukan sebagai penguasa saat itu]

Pengantar

Sejarah manusia mencapai puncak peradabannya diawali dari pangkuan perempuan. Itu fakta yang tidak bisa pungkiri. Ada banyak perempuan yang berevolusi sepanjang sejarah, yang telah membuktikan kesempurnaan dan kebesaran mereka pada laki-laki. Asiyah binti Muzahim seorang perempuan mukmin dan saleh, istri Fir’aun, adalah contohnya. Ketika dia melihat keranjang bayi (Musa) yang terhanyut di sungai, dia mengambilnya, dan ketika  Fir’aun suaminya ingin membunuh anak itu, Asiyah menghentikannya dan berkata, “Kamu mengatakan untuk membunuh setiap anak yang baru lahir di mana pun kamu menemukannya! Dan sekarang anak ini berumur lebih dari sehari, jika kamu membunuhnya, mereka akan menyalahkanmu”.

Perempuan hebat ini, dengan memainkan perannya, menjadi fondasi gerakan besar yang ditransformasi oleh Musa as. Perjuangannya telah mencapai kesempurnaan dan melawan  Fir’aun yang telah kehilangan kemanusiaannya. Fir’aun berkata, “Jangan sampai terjadi seperti yang dikatakan para peramal, anak laki-laki ini yang akan menghancurkan tahta kita?” Asiyah berkata dengan tenang, “Jangan khawatir, orang yang kita besarkan di pangkuan kita tidak akan pernah menjadi dia”.

Perempuan dalam perspektif Islam adalah dia yang memiliki karakter manusia yang bebas. Bebas dalam berkeyakinan dan dalam menangani urusan domestik rumah tangga dimana keduanya merupakan landasan reformasi sosial dan kehidupan. Jadi, dalam ideologi Islam, perempuan juga bertanggung jawab dan berkewajiban yang sama sebagaimana laki-laki. Bahkan, dia mencapai kesempurnaan ini lebih awal dari laki-laki, bahwa Tuhan menganggapnya layak untuk menerima tanggung jawab pada usia sembilan tahun, dan laki-laki pada usia lima belas tahun. Syariah mana dan cara berpikir mana yang lebih menghargai perempuan seperti Islam?

Narasi kisah mulia Maryam sa sebagai perempuan suci, begitu juga dengan Sarah, Hajar dan bahkan Balqis (ratu dari kerajaan Shaba pada masa Nabi Sulaiman bin Daud) yang menurut tafsir kitab suci Al-Qur’an, tunduk di hadapan Nabi Sulaiman as setelah mengetahui kebenaran. Semua ini menunjukkan karakterisasi Islam perempuan, dan kisah-kisah ini menunjukkan kapasitas manusia yang tinggi yang dimiliki perempuan. Siapa yang dapat menyangkal peran pengorbanan Khadijah di masa awal penyebaran Islam? Dia adalah misdaq dari ayat Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa Allah Swt memberi kebaikan kepada mereka yang berjihad dengan harta dan diri mereka. (Baca misalnya surah At-Taubah ayat 88 )

Dengan munculnya Islam, perempuan selangkah demi selangkah seperti laki-laki bahkan lebih maju dari laki-laki. Perempuan juga telah aktif dalam berbagai kancah politik Islam. Khadijah Kubra sa adalah perempuan pertama yang masuk Islam, dan Sumayyah adalah orang pertama yang syahid di jalan Islam. Rekor dan kehormatan ini akan selalu tetap untuk perempuan, baik dalam memeluk Islam dan dalam memelihara dan melindunginya. Artinya kesyahidan telah melampaui laki-laki!

Tidak ada larangan syariah untuk kehadiran aktif perempuan di berbagai bidang yang merasa memiliki tanggung jawab. Kehadiran aktif perempuan dalam salat Idul Fitri pada masa Nabi dan dengan kehadiran mereka yang mencolok dalam pertempuran dan merawat yang terluka dan menyediakan air dan mendukung para prajurit telah dialami pada awal Islam. Seorang perempuan bertanya kepada Nabi, “Jika seorang perempuan tidak memiliki kerudung untuk menutupi dirinya, apakah tidak ada halangan baginya untuk keluar rumah dan berpartisipasi dalam urusan kebaikan Islam?!” Nabi Muhammad saw berkata, “Tidak, dia tidak bisa keluar tanpa penutup, temannya harus menutupinya dengan pakaiannya sendiri. Kemudian dia akan hadir dalam amal saleh dan menyeru kepada orang-orang beriman.“

Keberanian perempuan dalam dakwah Nabi bukanlah sesuatu yang tersembunyi dalam sejarah. Karena sejarah Islam sarat dengan kearifan dan pengorbanan perempuan. Kisah Nusaibah binti Ka’ab (Ummu Umarah) sangat lazim kita dengar. Dia hadir di Perang Uhud untuk mensuplai air. Kemudian tentara Islam menang, namun tiba-tiba situasi berbalik (karena kelalaian umat Islam saat itu) kemenangan berubah menjadi kekalahan dengan serangan mendadak pasukan yang dipimpin  Khalid bin Walid, banyak yang melarikan diri. Tetapi Nusaibah mengaum seperti singa dan terus-menerus menjaga dan melindungi Nabi. Nabi berdoa untuknya, agar Allah Swt menempatkannya di surganya nanti. Pemandangan pembelaan sengit perempuan pemberani ini terhadap Nabi begitu mencengangkan. Karena dengan pedang dia menyerang musuh dan membuatnya jatuh ke tanah dengan pukulan kuat ke kakinya! Dengan memuji perempuan yang berbakti ini, Nabi bersabda, “Kedudukan Nusaibah di Uhud lebih tinggi dari kedudukan si Fulan.”

Keteguhan perempuan lain bernama Hammanah (Hamnah) binti Jahsy, saudara perempuan Abdullah bin Jahsy, saudari perempuan dari Zainab, istri Nabi saw. Pengkhidmatannya kepada Nabi saw tiba saat paman, saudara dan suaminya syahid di perang Uhud. Nabi saw berkata, “Hai Hamnah! Pasrahkanlah kenyataan ini pada Allah, bahwa salah satu dari keluargamu telah terbunuh.” Hammanah dengan hati dan dan pikiran yang tenang berkata, “Siapa wahai utusan Allah?”. Nabi berkata, “Pamanmu Hamzah!”.  Dia berkata, “Pamanku Hamzah?! Apa mereka membunuhnya?!”. Nabi berkata, “Ya. Hammanah dengan sangat sedih dan desahan dingin berkata, “Innalillah wainna ilahi rajiun”.

Kedua kalinya Nabi berkata, “Sekali lagi serahkan ini kepada Allah! Saudaramu Abdullah ya Hammanah. Semoga Allah merahmatinya, dia telah syahid.” Di waktu yang lain, Nabi Muhammad saw menginformasikan mengenai kesyahidan suaminya, Mush’ab.  Hammanah menangis tidak terkendali dan air mata jatuh di pipinya, dia berdoa untuk suaminya dengan hati penuh kesedihan dan menyerahkan diri pada kehendak Allah Swt.

Ketekunan dalam menghadapi kesulitan dalam perang seperti ini sudah banyak dimiliki perempuan. Fatimah Zahra as juga datang ke pertempuran Uhud dengan empat belas orang lainnya untuk merawat yang terluka dan menemui Nabi. Termasuk Shafiyyah, saudari perempuan Hamzah, bibi besar Nabi, juga adalah peserta aktif dalam pertempuran. Dalam perang Khandaq, dia memata-matai seorang Yahudi. Ia meminta Hasan, seorang muslim yang saat itu bersamanya untuk memeriksa orang Yahudi tersebut. Shafiyyah berkata kepadanya, “Periksa dia!”  Karena Hasan tidak berani melakukannya sehingga Shafiyyah bertindak. Menolak diperiksa maka terjadilah perkelahian antara Shafiyyah dengan Yahudi tersebut. Shafiyyah mengambil tiang tenda dan berkelahi dengan Yahudi tersebut sampai akhirnya Yahudi itu terbunuh. Dengan keberaniannya, Shafiyyah membuktikan bahwa dia bisa menjatuhkan seorang laki-laki ke tanah dengan penuh darah. Hal tersebut membuat Nabi tertawa sampai gigi gerahamnnya kelihatan. Sahabat-sahabat belum pernah melihat Nabi tersenyum seperti itu sebelumnya. Nabi Muhammad saw berkata kepada Shafiyyah, “Ada tempat untukmu di surga seperti laki-lakimu.”

Dengan pengantar diatas ini, sudah jelas bahwa perempuan sepanjang sejarah Islam, secara terang memberikan dukungan penuh kepada Islam yang tercinta. Mereka tidak hanya memiliki peran untuk membangkitkan, meneguhkan, dan menenangkan kaum mujahid yang berkorban. Tetapi juga dengan penuh kesadaran kehadiran posisi utama mereka, telah dibuktikan dalam sejarah.

Setelah membahas sedikit tentang peran perempuan pada masa Nabi, sekarang kita akan menunjukkan peran perempuan sebagai pembuat epik di Asyura dan gerakan Imam Husain as.

Perempuan yang menginfakkan kekayaannya di jalan gerakan Asyura

Maria putri Munqidh Abdi, yang dikenal sebagai Abdi Basriah, rumahnya adalah tempat disebarkannya Syiah dimana mereka mengadakan diskusi ilmiah dan menyebarkan mazhab Imamiyah. Ibnu Ziyad yang baru saja ditunjuk sebagai penguasa Kufah menulis kepada penguasa Basrah untuk berhati-hati dan memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di rumah itu. Dia berjalan di sepanjang misi yang sama yang dilakukan oleh Khadijah sa. Maria menginfakkan kekayaannya untuk menyebarkan Islam, kali ini Maria menggunakan kekayaannya untuk mengabdi pada gerakan Asyura.

Dia dari suami dan anak-anaknya yang syahid di bawah kepemimpinan Imam Ali as dalam perang Jamal. Oleh karena itu, dalam perjalanan menuju gerakan Imam Husain as, dia tidak ragu untuk melakukan pengorbanan, dan kadang-kadang dengan air mata emosional dia mendorong dan menghasut laki-laki untuk membantu Imam Husain as. Sejak awal kepergian putra az-Zahra dari Madinah, dia membatalkan perjanjian yang dilakukan kakaknya sebelumnya dengan Mua’wiyah dan memilih memerangi Yazid. Kehadiran perempuan dan Ahlulbait disebutkan dalam kafilah sebagai pelengkap dan penyempurna gerakan. Dan dalam hal ini, Ahlulbait menganggap diri mereka sebagai pembantu utama mereka, dan tidak ada yang bisa menghalangi Imam dari masalah ini. Karena kehendak Tuhan adalah bahwa Ahlulbait as akan melakukan tahap akhir dan keabadian gerakan Asyura berdarah dengan tawanan mereka.

Thaw’ah seorang perempuan tua Kufah dan pendukung Ahlulbait

Perempuan merdeka lainnya yang juga ikut serta dalam gerakan ini sesuai dengan tugas keilahian mereka. Dan peran emas pengorbanan mereka dalam mengenang gerakan tersebut, di antaranya adalah “Thaw’ah”. Dimulai dari Madinah ke Makkah, Imam mengutus seorang duta pemberani bernama Muslim bin Aqil ke Kufah untuk menyelidiki undangan Kufah, melaporkan situasi Kufah kepada Imam secara dekat. Pada awalnya, banyak orang yang berjanji setia kepada Muslim, dan berdasarkan itu, Muslim menulis surat kepada Imam Husain as agar Imam datang ke Kufah.

Namun dengan ancaman Ubaidillah, warga Kufah segera berpaling dan menunjukkan identitas aslinya, mereka sangat tidak setia. Pada suatu malam setelah salat, Muslim melihat dirinya sendirian, tanpa teman atau rumah, dia seperti orang asing dan terlantar di gang-gang Kufah. Ketika dia dalam kesepian dan kesunyian, di tengah malam dia berpindah dari satu gang ke gang lain. Dia lelah, dia bersandar di tembok untuk beristirahat sejenak. Tembok itu adalah tembok rumah seorang perempuan bernama Thaw’ah. Dia adalah seorang perempuan mukmin yang salehah yang harus memainkan peran historisnya di malam gelap tersebut.

Saat dia sedang menunggu putranya, Muslim menyapanya. Jadi dia memberikan jawaban. Tentu saja, dengan penuh perhatian dan bermartabat! Lalu dia berkata, “Apa yang kamu butuhkan?.”

Muslim berkata: “Beri aku air”.

Dia membawa air dan Muslim meminumnya. Tapi Muslim masih berdiri.

Thaw’ah berkata, “Apakah airnya tidak cukup?.” Muslim tidak menjawab.

Thaw’ah kembali bertanya, “Mengapa kamu tidak pergi ke keluargamu? Kurang menyenangkan bagi saya jika anda berdiri di sini.”

Tetapi Muslim tetap diam. Perempuan itu mengulangi ucapannya lagi, dia diam lagi. Untuk ketiga kalinya, Thaw’ah berteriak, “Demi Allah, saya tidak ridha jika anda berdiri di dekat rumah saya.”

Di sini, Muslim tidak punya pilihan lain, dia harus pergi, tetapi dia berkata dengan suara sedih, “Saya tidak punya keluarga, tidak punya rumah, tidak punya tempat di kota ini, bisakah saya berlindung malam ini dan menjadi tamumu?. Aku akan pergi besok!.”

Saat itu, Thaw’ah menyadari bahwa laki-laki itu adalah orang asing. Perempuan itu bertanya, “Siapa kamu?” Dia berkata, “Saya Muslim bin Aqil, orang-orang yang berbohong ini telah menipu saya, mereka telah melanggar perjanjian!”.  Thaw’ah akhirnya berkata dengan kaget dan ketakutan, “Apakah Anda benar-benar Muslim?.”

Thaw’ah tahu betul bahwa menerima dan melindungi Muslim akan membutuhkan konsekuensi yang tinggi, tetapi dia memanfaatkan kesempatan itu. Ia seolah berkata dalam hati, “Demi Allah, apakah saya ini layak menjadi tuan rumah yang menyambut wakil dari Husain bin Ali as? Di mana saya dan di mana wakil Imam Husain?.” Karena rumahnya sederhana dan gelap, maka demi melayani tamunya, dia menyediakan lampu, menyiapkan pembaringan untuknya dan memberinya makanan. Tapi karena diserang rasa gelisah dan khawatir tentang situasi yang genting membuat Muslim tidak makan, walau hanya sedikit. Beberapa saat kemudian, putranya datang dan bertanya, “Bu, apakah anda mengadakan pesta di rumah demi menyambut tamu ini?” Dia berkata, “Iya, tapi saya tidak akan memberi tahu siapa tamu ini. Berjanjilah untuk tidak menyampaikan pada siapapun mengenai kedatangan tamu ini.” Putranya pun berjanji dan bersumpah untuk menyembunyikan dan tidak memberi tahu siapa pun, dan menjaga rahasia.

Muslim menghabiskan malam di rumah tersebut memikirkan masalah yang muncul, kesal dengan situasi dan tidak senang dengan kejadian yang telah terjadi. Namun, dia menghadapi situasi yang menyakitkan ini dengan membaca Al-Qur’an, berdoa dan bermunajat. Dan perempuan yang bijaksana ini berterima kasih kepada Allah atas nikmat yang luar biasa ini, dia menganggapnya sebagai kesuksesan besar untuk dirinya sendiri. Tapi putranya, memiliki pikiran jahat di kepalanya. Dia tahu bahwa tamu itu adalah Muslim yang sedang dikejar-kejar dan diperintahkan penangkapannya. Dia memimpikan hadiah di kepalanya. Tidak seperti ibunya, dia memanfaatkan kesempatan jahat itu. Dan tentu saja, egonya membuat tindakan ini terlihat indah baginya, hadiah, uang, ataupun kekayaan. Kesemuanya akan terwujud dengan mengungkapkan tempat persembunyian Muslim. Setan mempengaruhinya dengan sangat cepat.

Dia keluar pagi-pagi dan melaporkan hal ini kepada pemimpin Kufah. Tidak lama, tentara mengepung rumah Thaw’ah. Thaw’ah telah melakukan tugasnya dan lulus ujian dengan gemilang, namanya menjadi abadi dalam sejarah, karena pada saat kritis ketika semua orang membelakangi Muslim dan meninggalkannya sendirian, namun dia tidak mengosongkan panggung, dia berada di depan orang-orang pada saat itu, lebih unggul dan lebih sukses dalam memenuhi tugas revolusionernya! Dia adalah penyelamat sejarah, anaknya adalah si jahat dalam sejarah. Muslim bersyair tentang kematiannya yang tidak kenal takut. Tidak butuh waktu lama dia kemudian mati syahid dengan cara yang jahat dan pengecut, tubuhnya dilempar dari atap istana ke tanah. Tempat kematiannya dijadikan tempat sampah. Thaw’ah larut dalam kesedihan kehilangan tamunya, namun sejarah harus berterima kasih padanya atas rasa tanggung jawab yang telah diperlihatkannya.

Dilham, Istri setia Zahir

Di dalam tenda Imam Husain as, di mana situasi paling genting terjadi dalam gerakan Imam Hussain as. Imam meminta kepada sahabat-sahabatnya yang tersisa untuk meninggalkannya, sebab konsekuensi dengan tetap bersamanya adalah kematian. Di antara sahabatnya itupun meninggalkannya, namun dalam situasi itu, muncul tanaman hijau yang mekar dan berbunga hingga terisi di Karbala. Tumbuhan hijau ini tidak lain adalah Zuhair bin Qain, yang lagi-lagi terlihat dalam hal suci ini, peran seorang perempuan berharga dan kuat bernama Dilham.

Zuhair bin Qain adalah seorang sahabat Imam Husain as. Awalnya biasa saja sikapnya dengan Imam Husain as, bahkan enggan bertemu langsung dengan Imam Husain as. Meski demikian ia turut bersama dengan kafilah Imam Husain as menuju Kufah, setelah terpengaruh oleh perkaaan istrinya. Suatu hari, Imam Husain as mengirim seseorang untuk memanggil Zuhair. Namun karena enggan bertemu, dan saat itu sedang makan bersama teman-temannya, Zuhair menolak panggilan tersebut. Penolakan itu mengejutkan teman-temannya, sampai apa yang sedang mereka makan terjatuh. Dilham berkata kepada suaminya, “Maha Suci Allah! Apakah kamu tidak malu, putra nabi memanggilmu dan kamu tidak menjawabnya?! Anda pergilah dan dengarkan kata-katanya.” Dengan berat hati  Zuhair pun memenuhi panggilan tersebut.

Tidak beberapa lama, dia kembali dengan gembira dan wajah berseri-seri. Seolah-olah Imam Husain telah memberinya hadiah yang menyenangkan hatinya. Zuhair kemudian memutuskan untuk memenuhi ajakan Imam Husain as ke Kufah. Ia memasang tendanya di sebelah tenda Imam Husain. Dia telah jatuh cinta dengan Imam dan telah membuat keputusan. Dia telah melebur dalam Imam Husain as. Dia berkata kepada istrinya, “Mulai sekarang, Aku akan membebaskanmu agar kamu bisa pergi ke keluargamu, karena aku tidak ingin kamu tertangkap karena aku! Saya telah memutuskan untuk bersama Imam Husain dan melawan musuh-musuhnya dan mengorbankan hidup saya untuknya.”

Penyebab perubahan yang begitu cepat pada diri Zuhair diceritakannya pada teman-temannya.

Bahwa dia sebelumnya ikut berpartisipasi dalam perang yang dipimpin  Salman al-Farisi dan berbuah kemenangan. Saat itu Salman berkata pada pasukannya, “Kelak kalian akan bertemu dengan putra Nabi Muhammad saw dan jika kalian ikut berperang dalam pasukannya, kalian akan menemukan kebahagiaan yang jauh lebih bahagia dari kemenangan yang kita dapatkan hari ini.” Dan saat Imam Husain as memangil Zuhair, Zuhair teringat dengan perkataan Salman tersebut dan tersadar bahwa kebersamaan dengan Imam Husain as yang merupakan putra Nabi Muhammad saw itulah yang dimaksud jauh lebih membahagiakan dengan kemenangan yang besar.

Zuhair pun meminta istrinya untuk meninggalkannya demi keselamatan istrinya. Dengan tangisan yang membara, Dilham berkata kepada suaminya, “Wahai Zuhair! Semoga Allah Swt memberi anda pahala yang baik, saya meminta anda untuk mengingat saya di akhirat agar saya bisa tergabung dengan Imam Husain as.”

Semangat agung perempuan yang berbakti ini membuat sejarah menjadi saksi atas pengorbanan dan ilmunya, dan namanya akan tercatat dalam sejarah seiring dengan pergerakan Imam Husain as dan ingatannya akan tetap hijau selamanya. Baginya, posisi seperti suaminya ada di surga. Zuhair berkata kepada teman-temannya,”Siapa pun boleh yang ingin mengikuti saya, jika tidak, ini akan menjadi akhir dari pertemuan kita.” Kemudian dia memberikan istrinya kepada salah satu sepupunya untuk membawanya ke keluarganya. Dia sendiri bersama Imam Husain as dan dari waktu ke waktu, pengabdiannya kepada Imam meningkat, ketinggian ilmunya dapat dilihat dari kata-kata jujurnya yang muncul dari kedalaman kemurnian dirinya selama gerakan Asyura. Ketika Imam berkata, “Kalian semua bebas, dan musuh hanya berurusan denganku.”

Zuhair bin Qain berdiri dan berkata, “Semoga Allah membimbingmu, wahai putra Rasulullah, kami telah mendengar kata-katamu, jika kamu telah menyelamatkan dunia untuk kami dan karena kami memiliki kehidupan yang kekal, kami memprioritaskan keteguhan kami dalam membantu anda menuju kehidupan dunia yang kekal.”

Pada malam Asyura, dia bangun dan berkata, “Ya Husain, jika saya terbunuh seribu kali, hidup kembali dan mati, dan kemudian partikel-partikel tubuh saya tertiup angin, saya tidak akan terpisah dari anda, sampai aku menjadi syahid di kakimu.”

Sejarah mencatat, pada hari Asyura ia menyampaikan khutbah untuk membela Imam Husain  as. Ia pun dikenal dengan itu sebagai salah seorang pembela terkemuka Imam Husain as. Ia juga ikut salat di hari Asyura, seorang pejuang pemberani dan membunuh 120 orang dari pasukan Umar Saad, dan menemui takdirnya seperti para sahabat lainnya, yaitu kesyahidan.

Di sisi jenasah Zuhair, Imam Husain as berdoa untuknya sembari mengutuk musuh-musuhnya. Sahabat Imam Husain yang tulus ini mengakhiri hidupnya dengan kematian yang paling agung. Ia berterimakasih kepada istrinya yang setia dan rela berkorban, karena kata-kata perempuan itu, yang melakukan pekerjaannya, berdampak besar pada semangatnya sehingga dia mengubah hidupnya. Delham telah membuat nama suaminya tercatat dengan tinta emas dalam lembaran sejarah Islam. Suaminya telah menjadi misdaq dari ayatul Kursi, “…Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya iman,” dan membuatnya abadi dalam sejarah.

Wallahu ‘alam bisshawwab

Haryati, Mahasiswi S2 Studi Kajian Wanita Jamiatu az-Zahra Qom, Iran

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *