Oleh: Ismail Amin*
Sejarah tidak terlepas dari kekuasaan. Penguasa memerlukan sejarah sebagai legitimasi. Untuk itu dilakukan pembengkokan sejarah.
(Asvi Warman Adam, kata pengantar dalam bukunya sendiri, Membongkar Manipulasi Sejarah 2009)
Sejarah meski telah berlalu, namun perannya sangat penting dalam menentukan langkah untuk perencanaan masa depan. Alquran sendiri pun tidak menafikan pentingnya sejarah untuk dipelajari, dibahas dan didiskusikan. Ada dimensi pencerdasan pada sejarah. Alquran sarat dengan kisah umat terdahulu lengkap dengan anjuran untuk umat sekarang mengambil ibrah atas peristiwa-peristiwa masa lalu. Ketika Alquran mengisahkan mengenai Firaun, Namrud, Qarun, Bal’am sampai Abu Lahab, menunjukkan bahwa Alquran ingin agar pelaku-pelaku antagonis itu tetap direkam dan diingat oleh umat lintas generasi untuk tidak diikuti sepak terjangnya, sebab telah menjadi sunnatullah pasti akan berakhir tragis dengan azab yang pedih. Begitupun ketika Alquran mengisahkan tokoh-tokoh teladan.
Dengan mengetahui krusialnya peran sejarah, maka tidak heran, pihak-pihak yang berkepentingan akan berusaha menulis dan mewariskan catatan sejarah yang menguntungkan pihaknya. Rezim tiran untuk mendapatkan legitimasi dan melanggengkan kekuasaannya perlu menulis sejarah yang berpihak padanya meski sampai harus melakukan manipulasi untuk itu.
Contoh sederhananya pembengkokan sejarah yang dilakukan Orde Baru. Melalui kurikulum pendidikan, buku-buku pelajaran sejarah, museum, monumen, film-film dan berbagai peringatan ditanamkan doktrin ke generasi muda betapa berjasanya Soeharto terhadap negara. Ia digambarkan sebagai sosok pahlawan yang telah berkali-kali memberikan penyelamatan pada negara. Karenanya dengan manipulasi sejarah tersebut, wajar jika Seoharto bisa berkuasa sampai 30 tahun lebih.
Peristiwa yang melatar belakangi lahirnya Hari Kesaktian Pancasila dan Serangan Umum 1 Maret 1949 diantara rekayasa sejarah oleh Orde Baru yang saat ini sedang berupaya diluruskan. Dimasa Soeharto berkuasa, hanya sejarah versi militerlah yang berhak hidup. Citra seorang pahlawan selalu diidentikkan dari kalangan tentara. Setelah kekuasaan Soeharto tumbang, bermunculanlah beragam versi sejarah. Tokoh-tokoh yang dulu dibungkam dengan penjara dan popor senjata berlomba-lomba mengungkapkan kesaksian. Dari para saksi hidup itulah terpampang sejarah yang sesungguhnya.
Dengan lahirnya Reformasi, yang sedikit memberi ruang gerak dan keleluasan untuk mempelajari, mengkaji, mengkritisi dan mendiskusikan sejarah maka terungkaplah banyak kisah yang selama ini ditutup-tutupi. Generasi jadi lebih leluasa mengenal jasa Tan Malaka pada Republik, yang oleh Orde Baru dicap komunis dan dicitrakan sebagai pengkhianat. Kita jadi tahu, peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru betapa telah memakan banyak korban dari anak bangsa. Rakyat jadi tersentak kesadarannya dan akhirnya menolak lupa atas terjadinya tragedi pembantaian massa muslim di Tanjung Priok, Operasi Seroja di Timor Timur dan berbagai kasus pelanggaran HAM oleh operasi militer di Aceh.
Hal serupa pun tentu saja berlaku dalam sejarah Islam. Dinasti-dinasti yang pernah berkuasa pada periode kekhalifahan tentu saja memproduksi narasi sejarah versi mereka sendiri. Dengan runtuhnya kekhalifahan maka proyek penulisan sejarah Islam bisa lebih obyektif dan terbuka. Sama halnya pasca tumbangnya Orde Baru, maka runtuhnya kekhalifahan terakhir di Turki memicu munculnya beragam versi sejarah Islam yang lebih terbuka untuk didiskusikan, bahkan tidak sedikit diantara versi tersebut ada yang saling berbenturan. Begitupun dengan adanya kondisi yang lebih leluasa mengkaji dan menelusuri sejarah, maka terkuaklah sejumlah narasi penting dalam sejarah Islam yang dulu ditutup-tutupi atau melalui rekayasa politik dan sosial berusaha untuk dihilangkan.
Sebutlah tragedi Asyura dan tragedi Al-Harrah diantaranya. Dua tragedi kelam dalam sejarah Islam yang terjadi pada masa rezim Yazid bin Muawiyah ini banyak tidak diketahui umat Islam, baik karena sejarahnya hanya disampaikan sekilas lalu atau memang sengaja tidak diperkenalkan sama sekali.
Tragedi Asyura adalah tragedi pembantaian keluarga Nabi Muhammad saw pada tahun 61 H di Padang Karbala oleh 4 ribu tentara Yazid bin Muawiyah yang dipimpin Umar bin Sa’ad, diantara yang menjadi korban adalah Sayyidina Husain, cucu Nabi Muhammad saw. Tahun 63 H masih saat Yazid bin Muawiyah berkuasa, penduduk Madinah mencabut baiatnya atas Yazid setelah mengetahui kedok Yazid yang banyak menyimpangkan syariat termasuk telah bertanggungjawab atas kematian Imam Husain as di Karbala.
Akibat dari pencabutan baiat tersebut, Yazid memerintahkan Muslim bin Uqbah membawa 10 ribu pasukan tentara untuk menyerang Madinah. Akibat serangan tersebut, kota Madinah hancur, sejumlah sahabat Nabi dibunuh dan ribuan gadis perawan Madinah dirusak kehormatannya oleh tentara Yazid. Tragedi tersebut dikenal dengan nama Tragedi Al-Harrah.
Meski sampai saat ini masih ada pihak-pihak yang berusaha menutupi sejarah kelam ini, dan berusaha membersihkan nama Yazid dengan beragam dalih, namun mahkamah sejarah akan tetap mengusut dan mengejar para pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut tanpa mengenal batas wilayah dan waktu. Upaya menghapus jejak-jejak berdarah tidak akan berhasil, sebab sudah menjadi tanggungjawab intelektual seorang muslim untuk mempersembahkan catatan sejarah yang benar pada generasi berikutnya. Yang menghalang-halangi penelusuran dan pelurusan sejarah adalah musuh-musuh kebenaran. Alquran saja dalam sejumlah ayatnya mengkritisi versi sejarah yang salah yang terlanjur dipercaya manusia kebanyakan dimasanya.
Pilihlah Versi Sejarah yang Paling Mendekati Kebenaran
Kalau dulu, sejarah Islam ditulis untuk mempertahankan status quo rezim yang berkuasa. Sekarang, sejarah Islam ditulis untuk melegitimasi mazhab atau untuk menjatuhkan mazhab tertentu yang menjadi rival. Karenanya tidak heran, versi sejarah Islam satu sama lain bisa saja saling bertubrukan. Lantas bagaimana kita mengetahui versi sejarah yang benar, sebab tidak mungkin kesemua versi itu benar semua?.
Pertama, beranilah keluar dari zona nyaman. Beranilah untuk menyelami kekedalaman lautan ilmu. Baca buku sebanyak-banyaknya. Jangan mencukupkan diri dengan versi sejarah Islam yang selama ini kau dapatkan dan pelajari. Beranilah untuk keluar dari pakem mayoritas, sebab kebenaran tidak bertumpu pada yang banyak tapi pada rasionalitas dan realitas.
Kedua, beranilah berpendapat dan beranilah berdebat. Pelajari semua versi yang ada kemudian tabrakkan satu sama lain. Pakailah prinsip, kebenaran tidak mungkin terpental. Jika versi sejarah yang kau yakini bertabrakkan dengan realitas dan fakta, maka itu versi sejarah yang layak buat ditinggalkan. Hantamkanlah pandanganmu dengan pandangan orang lain yang berbeda dengan sekeras-kerasnya, dan lihat siapa yang terpental. Ingat, yang diadu dan dihantam adalah pandangan, ide dan keyakinan, bukan baku hantam fisik. Jika ada yang mengajak baku hantam fisik ketika berdebat mengenai sejarah, itu karena versi sejarah yang diyakininya lembek kayak krupuk.
Ketiga, pakai prinsip ini: Jika ada kelompok yang melarang-larang sejarah untuk dikaji, dikritisi dan didialogkan yakinlah itu kelompok bayaran dari penguasa tiran yang terlambat lahir. Mereka semestinya tidak lahir dan hidup di era kebebasan dan terbuka seperti saat ini. Mereka harusnya hidup di eranya Firaun dan Bani Umayyah. Betapa banyak kerugian intelektual yang harus kita alami gara-gara kelompok ini. Disaat semua orang tengah berkecimpung dalam pemikiran rasional mereka malah masih berkutat dalam interpretasi literal secara tekstual, itupun dipahami secara sempit dan fanatik. Dari orang-orang arogan inilah, lahir ideologi kekerasan dan teror atas nama Islam.
Keempat, ikuti yang paling baik. Alquran mengingatkan, “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Qs. Az-Zumar: 18). Disini Allah swt menyampaikan bahwa diantara ciri orang yang berakal adalah mendengarkan semua perkataan, beragam pandangan dan perbedaan pendapat lalu mengikuti yang paling baik dari semuanya. Bukan dari tanda keislaman yang baik jika seseorang ngeyel dengan pendapatnya sendiri yang belum tentu benar hanya karena itu yang didapat dari gurunya atau bahan bacaannya.
Saya sering mendapati orang yang ketika pendapatnya dikritisi dan disodorkan realita lain, akan membantah dengan berkata, “Pendapat apa itu? saya tidak pernah mendapatkan sebelumnya, tidak ada di buku, dan tidak ada ulama yang mengatakan itu.” Pertama, dia menjadikan pengetahuannya yang sempit sebagai patokan kebenaran. Artinya, kalau tidak dia ketahui berarti tidak ada dan salah. Kedua, dia menganggap buku yang dibacanya hanya itu buku yang ada di dunia. Ketiga, dia mengira ulama hanyalah yang dia kenal dan ketahui saja, selain itu tidak ada ulama.
Intinya, jangan phobia dengan adanya suguhan fakta sejarah yang berbeda dari yang selama ini kita telah yakini kebenarannya. Islam adalah proses pencarian kebenaran yang tiada henti. Persiapkan alat-alat dan perangkat yang dibutuhkan dalam penelurusan sejarah, jangan lupa pakai sabuk pengaman. Mari berselancar.
*Penulis, sementara menetap di Qom Republik Islam Iran