HomeLainnyaSejarahJejak Tradisi Memperingati Asyura di Nusantara

Jejak Tradisi Memperingati Asyura di Nusantara

Purna WartaKeragaman budaya Nusantara diwarnai dengan fakta corak keislaman yang tidak tunggal. Meskipun Islam di Indonesia mayoritasnya penganut Ahlussunah wal Jamaah, tapi banyak ditemukan jejak kebudayaan yang menunjukkan kebhinekaan dengan kehadiran mazhab lain, terutama dari pengaruh Syiah.

Fakta kebudayaan mengindikasikan ajaran Syiah sudah mengakar dalam budaya Indonesia dan tidak bisa dipisahkan dari identitas keislaman Nusantara. Bahkan sebagian peneliti seperti Nurbaiti, penulis buku “Aceh Gerbang Masuknya Islam ke Nusantara”, meyakini Syiah sebagai mazhab yang pertama kali masuk ke Indonesia.

Begitupun dalam buku “Jejak Islam di Nusantara” yang disusun oleh Endar Wismulyani disebutkan pengaruh Syiah sangat kuat dan berakar di sejumlah wilayah di Indonesia dan masih diwujudkan dalam bentuk tradisi hingga kini. Menurut buku ini, beberapa tradisi yang paling menonjol ialah Asyura berupa ta’ziah dan bubur asyura.

Kata Sura, yang dipahami sebagai Bulan Muharram dalam Bahasa Jawa, juga disebutkan sejarawan diambil dari Bahasa Arab  yaitu ‘Asyura, yang berarti sepuluh, dan merujuk kepada hari ke-sepuluh di Bulan Muharram yang berarti bagi umat Islam.

Berikut jejak tradisi Asyura di beberapa wilayah di Nusantara yang telah menjadi tradisi masyarakat setempat sejak dulu.

Jawa Tengah dan Timur

Di beberapa kota terdapat tradisi “Grebeg Suro” yang  masih dipraktikkan sampai hari ini. Menurut tradisi ini, bulan Muharram dianggap sebagai bulan nahas dengan dasar bahwa di bulan ini, cucu Nabi saw yang bernama “Kasan” (Hasan) dan “Kusen” (Husain) dibunuh kaum yang zalim. Karena itu, orang-orang Jawa berpantang mengadakan perayaan pernikahan atau membangu rumah di bulan “Suro” atau Muharram.

Kraton Yogyakarta Hadiningrat

Peringatan menyambut masuknya bulan Muharam di Yogyakarta ditandai dengan ritual yang disebut Mubeng Beteng. Mubeng Beteng dilakukan dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng keraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya.

Dalam menjalani ritual Mubeng Beteng, peserta yang ikut tidak diperkenankan untuk berbicara satu sama lain seperti orang yang sedang bertapa.

Kraton Solo Hadiningrat

Meski sama-sama peninggalan Kesultanan Mataram, ritual yang dilakukan di Keraton Solo sangat berbeda dengan di Keraton Yogyakarta.

Penyambutan malam satu Suro di Keraton Solo dipimpin oleh seekor kerbau albino bernama Ki Slamet sebagai Cucuking Lampah. Ki Slamet merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat.

Ketika Ki Slamet mulai berjalan, para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) mengikutinya dengan membawa pusaka keramat. Ritual ini tidak hanya diikuti oleh warga Surakarta saja melainkan para masyarakat yang mendiami Karesidenan tersebut yakni Karanganyar, Boyolali, Sragen, dan Wonogiri. Sebelum sura, pusaka utama keraton dijamas/dibersihkan.

Ritual mubeng Benteng dilaksanakan untuk memeringati tragedi karbala dengan bisu. Ada pula yang melanjutkan hingga 10 sura dengan kirab pusaka.

Madura

Di ujung timur pulau Madura, Sumenep, tradisi menyambut bulan Muharam diwarnai dengan membuat bubur tajin dan menyebutnya dengan nama Tajin Sora.

Pada bulan Suro, masyarakat kemudian saling membagi bubur tersebut kepada tetangga terdekat. Dalam pandangan tradisional orang Madura, bulan Muharam dianggap sebagai bulan nahas, sehingga dilarang melakukan perjalanan jauh pada bulan tersebut.

Ketika memasuki bulan Safar atau bulan kedua dalam kalender Hijriah, masyarakat di Sumenep membuat Tajin Mera Pote (Bubur Merah Putih) yang melambangkan perjuangan cucu Nabi Muhammad, Husein.

Warna merah yang berasal dari gula merah ini digambarkan sebagai darah dari Husein, sementara warna putih melambangkan kesucian perjuangan Husein.

Jawa Barat

Terdapar pula tradisi yang dipraktikkan pada bulan Muharram, yaitu membuat dan membagikan bubur “beureum-bodas” (merah-putih) yang diistilahkan dengan “bubur suro”. Konon, “beureum” merupakan pelambang “darah kesyahidan Imam Husain” dan “bodas” menjadi simbol “kesucian” pribadi Imam Husain.

Pariaman, Sumatera Barat

Pada setiap bulan Muharram, sebagai peringatan atas kesyahidan cucu Nabi saw, Imam Husain as di Karbala pada hari Asyura 61 H masyarakat Pariaman di Sumatera Barat menggelar Festival Tabuik. Festival ini telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu dalam arti kata dilembagakan oleh Pemerintah dan telah menjadi ajang festival wisata.

Kegiatan Festival Tabuik yang puncaknya rutin diadakan setiap 10 Muharram atau Asyura, sebagai puncak acaranya, selalu dipenuhi oleh ratusan ribu masyarakat dari berbagai penjuru Sumatera.

Dari sisi sejarah tradisi tabuik diperkirakan telah ada sejak abad ke-19 masehi. Perhelatan tabuik merupakan bagian dari peringatan hari wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Husain bin Ali yang jatuh pada tanggal 10 Muharram. Sejarah mencatat, Husein beserta keluarganya wafat dalam perang di padang Karbala, Irak.

Tabuik diambil dari bahasa arab ‘tabut’ yang bermakna peti kayu. Nama tersebut mengacu pada legenda tentang kemunculan makhluk berwujud kuda bersayap dan berkepala manusia yang disebut Buraq.

Legenda tersebut mengisahkan bahwa setelah wafatnya sang cucu Nabi, kotak kayu berisi potongan jenazah Husain diterbangkan ke langit oleh Buraq. Berdasarkan legenda inilah, setiap tahun masyarakat Pariaman membuat tiruan dari Buraq yang sedang mengusung tabut di punggungnya.

Menurut kisah yang diterima masyarakat secara turun temurun, ritual ini diperkirakan muncul di Pariaman sekitar tahun 1826-1828 Masehi. Tabuik pada masa itu masih kental dengan pengaruh dari timur tengah yang dibawa oleh masyarakat keturunan India penganut Syiah.

Pada tahun 1910, muncul kesepakatan antar nagari untuk menyesuaikan perayaan tabuik dengan adat istiadat Minangkabau, sehingga berkembang menjadi seperti yang ada saat ini.

Ternate, Maluku

Di Ternate ada tradisi Takziah Asyura. Setelah narasi dilakukan di suatu rumah atau gedung, para hadirin kemudian menghujamkan benda tajam semacam gardu ke dadanya secara berulang-ulang hingga mencapai kondisi antara sadar dan tidak sadar. Ritual ini dilakukan pada tanggal 1 Muharam.

Orang Ternate memang tidak melakukan takziah selama 10 hari, tetapi sepanjang 10 hari itu yang dipandang sebagai hari musibah, orang Ternate dilarang melakukan berbagai hal yang mengandung risiko. Anak-anak, misalnya, dilarang naik pohon atau memainkan permainan berbahaya. Mereka lebih dianjurkan berdiam di rumah.

Selain itu, seluruh keluarga membuat bubur asyura yang akan dibagikan kepada tetangga dan kerabat tengga. Bubur asyura adalah bubur santan yang berisi berbagai macam bahan seperti sayur, jagung, ikan, telur ayam, kacang-kacangan dan kentang”

Pesan yang terkandung sebenarnya jelas, bahwa bubur itu sendiri berwarna putih meambangkan kesucian dan kemurina hari Asyura, sementara berbagai bumbu itu melambangkan rentetan peristiwa yang terjadi pada hari itu.

Aceh

Salah satu tradisi yang sudah sangat mengakar dalam masyarakat Aceh ketika datangnya bulan Muharram yaitu tradisi memasak Bubur Asyura.

Masyarakat Aceh memaknai bulan Muharram dengan melakukan berbagai kegiatan secara meriah yang bertujuan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah swt. Salah satu yang biasa dilakukan dan menjadi ciri khas perayaan bulan Muharam adalah dengan memasak bubur Asyura dalam panci besar.

Sulawesi Selatan

Tradisi memperingati 10 Muharram dikenal dengan, dalam Mappeca Sura’,  dengan membuat bubur yang dihiasi telur yg berwarna-i dilengkapi dengan udang ,kacang goreng dan tumpi-tumpi (kelapa yang telah digoreng disatukaan dengan ikan yang telah dimasak lalu dibentuk segitiga dalam keadaan telah di goreng).

Tradisi bubur asyura  dilakukan oleh masyarakat tradisional di daerah-daerah. Seperti di Kabupaten Pangkep, Sulsel yang selalu menyambut kedatangan bulan Muharram dengan membuat bubur Asyura atau yang biasa disebut Peca’ Sura saat memasuki 10 Muharram.

Membuat Peca’ Sura, menurut warga Pangkep sebagai tradisi menyambut 10 Muharram yang telah dilakukan secara turun-temurun selama berabad-abad. Mereka bahkan saling membantu untuk membuat bubur asyura di sekitar tempat tinggal mereka dan dibagikan.

Masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan punya tradisi memperingati 10 Muharam dengan menyajikan bubur tujuh rupa atau, yang bagi masyarakat setempat lebih dikenal dengan sebutan bubur Syura.

Dalam masyarakat Bugis, Bella Pitunrupa dalam sebutan bahasa Bugis merupakan bubur yang terdiri dari bubur ketan hitam, bubur santan putih, bubur kacang hijau, dan bubur labu. Bubur ini dihiasi dengan beragam buah-buahan dan lauk pauk.

Diolah dari berbagai sumber

Must Read

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here