Oleh : Anton Mirdawua A.
Kebanyakan orang kebahagiaan dikaitkan dengan aspek psikis yang cenderung pada hasrat hewani. Sebagaimana jika jiwa menyenanginya kita sebut sebagai kebahagiaan, kalau jiwa tidak menyenanginya itu penderitaan. Kebahagiaan ini adalah level kebahagiaan yang paling dangkal.
Sementara itu, ada kebahagiaan lain yang dikaitkan dengan orientasi kepastian dan kejelasan. Misalnya, walaupun kita menemukan kenyataan yang pahit atau tidak membahagiakan, namun apabila itu adalah sesuatu yang jelas dan pasti, maka itu tentu saja jauh lebih baik. Contohnya, saya tidak boleh memakan makanan ini, karena apabila saya memakannya maka saya mengambil hak orang lain, atau saya tidak boleh memakan gorengan ini, karena apabila saya memakannya maka akan menaikan kadar kolestrol yang saya miliki. Oleh karena itu, kita sebut ini adalah kebahagiaan akal.
Sekali lagi, Kita tidak boleh nafikan bahwa terkadang jiwa kita mengafirmasi hadirnya kebahagiaan berasal dari sejauh mana hasrat menyukainya. Misalnya kita senang pada makanan tertentu dan ingin rasanya kita memakannya, namun ada fakta bahwa kita tidak dianjurkan makan makanan seperti itu karena jika memakannya maka akan berefek pada Kesehatan yang kian memburuk. Contohnya, kita divonis dokter untuk tidak memakan makanan yang mengandung gula, karena jika kita memakannya maka akan menambah parah penyakit diabetes, tetapi hasrat sama sekali acuh akan hal itu.
Fenomena lain misalnya, kita mengetahui makanan di depan saya adalah bukan hak saya, tetapi segera saya langsung memakannya, tentu hal ini akal tidak membenarkannya, namun hasrat begitu berapi-api dan sangat menggebu-gebu ingin memakannya, dan contoh lain lagi, sebagaimana kita punya waktu untuk belajar, tetapi kita malah menggadaikan waktu hanya untuk bermain game, nongkrong bersama teman tanpa mengenal batasan atau aturan pola yang bijak, dan masih banyak contoh lain.
Oleh karena itu, proses kebahagiaan akal terkadang tidak segera dirasakan, namun apabila dibandingkan dengan kebahagiaan hasrat, tentu saja akan jauh lebih baik karena orientasinya adalah kejelasan dan kepastian. Sedangkan kebahagiaan dalam hasrat terbatas pada apa yang bisa dinilai oleh jiwa saat itu maupun yang terbawa imajinasi tanpa dasar atau tanpa pertimbangan akal sehat. Tentu saja, yang bisa mengafirmasi benar, salah dan Bahagia, menderita itu seyogyanya atas neraca akal bukan hasrat atau lain sebagainya.
Tentu kita tidak melulu mengabaikan kesenangan hasrat, tetapi sering kali kesenangan atau kebahagiaan itu meninabobokan kita pada realitas yang berdampak buruk pada diri kita. Mungkin alangkah lebih baik kebahagiaan hasrat berjalan berkelindan dengan kebahagiaan akal yang sifatnya mengukur sejauh mana imajinasi hasrat mengantarkan kita pada peletakkan tindakan diluar. Apakah tindakan kita ini benar atau salah, sebelumnya harus telah selesai pada neraca akal.
Kebahagiaan hasrat biasanya tidak bisa menentukan prioritas, beda dengan kebahagiaan akal bisa menentukan prioritas mana yang mesti dilakukan terlebih dahulu dan mana yang nanti dilakukan. Sebagaimana dalam berkeluarga, akal sudah mengikat bahwa hidup berkeluarga memiliki hak dan tanggung jawab. Hak dan tanggung jawab ini merupakan kepastian akal yang mengantarkan pada keseimbangan dalam menjalani hari-hari bersama pasangan. Jika hak dan tanggung jawab itu tidak kemudian diindahkan, maka sesuatu yang buruk akan terjadi pada keluarga. Sangat miris jika, waktu bersama teman lebih banyak dibandingkan dengan waktu bersama keluarga, istri, anak dan lain-lain.
Selain itu, kita ingin melacak kembali kebahagiaan dalam perspektif spiritual. Kebahagiaan ini memiliki karakteristik jiwa yang tenang, jiwa yang tidak gelisah. Contohnya, walaupun kenyataan yang hadir pada jiwa adalah penderitaan maupun kepahitan, jiwa tetap stabil dan tidak terpengaruh oleh apapun. Begitu juga meskipun jiwa mendapati kesenangan maupun kebahagiaan, kita tetap tenang dan tidak berlebihan menyikapinya. Karena terkadang penderitaan maupun kesenangan bisa mengantarkan kita pada kejatuhan jika tidak dikontrol maupun dikendalikan. Upaya untuk mengontrol ini sebenarnya adalah peran dari spiritual. Selanjutnya apabila sudah berhasil dikendalikan, kemudian akal mempertimbangkan konsekuensi selanjutnya dari tidakan yang diambil.
Kalau kita menengok dalam perspektif tasawuf, apapun yang melanda kita baik susah maupun senang, kita terus menghadapinya dan tidak bisa menghentikan perjalanan kita dalam kehidupan ini. Karena perjalanan di dunia ini hanya sementara, dan perjalanan kepada Tuhan merupakan keniscayaan.
*Artikel ini pertamakali dimuat di https://www.rumahbertumbuh.com/ dengan judul yang sama.