HomeLainnyaOpini & CeritaPenelitian Mengapa Masyarakat Jadi Lebih Konsumtif Jelang Hari Raya

Penelitian Mengapa Masyarakat Jadi Lebih Konsumtif Jelang Hari Raya

PurnaWarta — Indonesia merupakan sebuah negara yang mempunyai muslim terbesar di dunia. Tidak diragukan bahwa hal ini akan mempunyai efek pada aspek kehidupan. Seperti pada saat menjelang lebaran yang membuat masyarakat menjadi lebih konsumtif.

Dilansir dari CNN Indonesia, perayaan Hari Raya Idul Fitri identik dengan barang-barang yang serba baru. Mulai dari baju baru, sepatu baru, dekorasi rumah baru, mukena baru, dan lain sebagainya. Di Indonesia, perayaan ini pun biasanya disambut dengan euforia masyarakat yang akhirnya berujung pada terjadinya perilaku konsumtif.

Hanya saja kalau boleh jujur, perilaku konsumtif ini juga sudah terjadi sejak bulan Ramadhan mulai. Coba hitung, berapa kali kamu buka bersama di restoran bareng teman, makan aneka hidangan dengan alasan self rewards dan lainnya. Coba lagi deh hitung pengeluaranmu di bulan Ramadhan ini.

Survei yang dilakukan salah satu platform baca dan digital Cabaca menemukan 56,78 persen dari 236 responden mengaku pengeluaran saat bulan Ramadhan lebih banyak daripada hari biasanya.

Pengeluaran tambahan pada bulan suci tersebut termasuk untuk makan atau jajan, belanja pakaian, belanja hampers, hingga membeli akses konten hiburan.

Tak hanya itu, laporan2023 Welcoming 2023 Ramadan and Eidyang dibuat oleh Jakpat menemukan ada beberapa pengeluaran yang paling banyak dilakukan selama bulan Ramadhan dan lebaran Idul Fitri. Laporan tersebut melibatkan sebanyak 1.034 responden Muslim.

Berdasarkan laporan tersebut, sebesar 88 persen responden mengaku pengeluaran juga dialokasikan untuk zakat, infaq, dan sedekah.

Di posisi kedua sebesar 80 persen untuk buka puasa, disusul 79 persen untuk berbelanja makanan, 69 persen berbelanja untuk Ramadhan dan lebaran,lalu 53 persen berbelanja untuk kebutuhan lainnya.

Laporan tersebut juga memaparkan bahwa di luar berbelanja makanan, 88 persen responden juga memilih untuk belanja baju, 66 persen berbelanja perlengkapan salat, 60 persen berbelanja alas kaki, 55 persen berbelanja aksesoris fesyen, dan lainnya.

Hal ini juga dibuktikan oleh penelitian lainnya dari YouGov. Survei tersebut mengungkapkan bahwa dua dari lima konsumen yang mengamati Ramadan di Indonesia (41 persen) berharap membelanjakan lebih banyak untuk makanan dan minuman pada Ramadan ini.

Sekitar seperempat juga diperkirakan akan membelanjakan lebih banyak untukpakaian mode dan aksesori(26 persen),obat-obatan dan vitamin(25 persen),sementara seperlima menunjukkan hal yang sama untuk perawatan pribadi dan kosmetik(20 persen).

Sebaliknya, konsumen cenderung berbelanja lebih banyak untuk peralatan rumah tangga (16 persen) dan produk elektronik (13 persen) di bulan Ramadhan ini.

Dalam hal mode berbelanja, saluran online tampaknya menjadi pilihan populer untuk membeli beberapa pakaian dan aksesoris mode, perawatan pribadi dan kosmetik, makanan dan minuman, serta peralatan rumah tangga.

Bukan cuma itu, dalam pernyataan dari e-commerce Shopee Indonesia, proses belanja online ini bahkan meningkat di waktu sahur. Mereka menyebut bahwa peningkatan transaksi lebih dari 16 kali lipat dibandingkan waktu yang sama hari biasa.

Lantas apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya perilaku konsumtif masyarakat jelang lebaran ini?
Menurut pengamat sosial Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati, perayaan agama bukan hanya dilakukan secara pribadi, namun juga secara sosial.

“Yang namanya perayaan agama itu menjadi perayaan sosial. Ibadah itu bukan hanya ibadah pribadi, tapi ada yang namanya ibadah sosial. Mau agama apapun,” kata Devie pada CNNIndonesia.com saat ditemui di Tendean, Jakarta, Selasa (14/3).

Pasalnya, ibadah sosial adalah ibadah yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dalam kehidupan sosial. Menurut Devie, masyarakat Indonesia cenderung memikirkan ibadah ini dibandingkan ibadah mahdhah.

“Itu menjadi kearifan sosial yang mendekatkan hati. Saling memberi itu kan mendekatkan hati. Makanya kita sibuk mikirin mau bawa apa, pakai pakaian apa, karena dalam konteks memaknai kesucian itu salah satunya dengan memakai sesuatu yang baru,” lanjutnya.

“Karena ibadah itu bukan hanya ibadah privat, tapi juga ibadah sosial.”

Penanaman perspektif Idul Fitri dengan barang baru sudah dilakukan sejak dini dan sudah mengakar, sehingga sulit untuk dipisahkan atau dihilangkan di masyarakat.

Hal tersebut membuat seseorang berusaha untuk dapat memenuhi setiap kebutuhan akan barang-barang baru itu jika ingin menikmati kesempurnaan dari perayaan Idul Fitri.

“Belum lagi kita mikir mau silaturahmi. Silaturahmi kan berarti ada ongkosnya nih. Yang biasanya kita enggak pulang kampung jadi pulang kampung. Pengeluaran pasti jadi lebih tinggi. Karena ibadah itu bukan hanya ibadah privat, tapi juga ibadah sosial,” ucap Devie lebih lanjut.

Masyarakat Indonesia yang sangat komunal, menurut Devie, tidak bisa menghindar dari pendapat orang lain dan selalu berusaha untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Hal tersebut juga menjadi salah satu faktor timbulnya perilaku konsumtif.

“Makanya kita akan selalu berusaha memenuhi ekspektasi orang lain, harapan orang lain terhadap kita. Dan sebaliknya kita juga selalu berharap orang lain akan begitu. Itu menjadi suatu hal yang enggak perlu diajarkan lagi karena sudah turun menurun,” pungkasnya.

Must Read

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here