Oleh: Bob Randilawe *
Tanggal 1 Juni sudah ditetapkan dan dirayakan sebagai hari lahir Pancasila baik secara esoteris maupun eksoteris. Diperingati dengan tidak sekedar perayaan dan keramaian belaka. Namun, diperingati secara lebih bermakna.
Sebagaimana lazimnya, beragam kegiatan dilakukan baik resmi-resmian maupun swasta-non formal. Ruang publik pun diwarnai beragam pandangan dari kalangan Tokoh Publik, Akademisi, Politisi, Aktivis, dan milenial, sama-sama men-selebrasi Pancasila yang perenial.
Melacak ke zona sejarah, para pendiri bangsa mencitakan Pancasila sebagai falsafah dasar yang inklusif untuk menjadi jalan keselamatan bagi segenap bangsa (moral publik) dan jalan kebajikan bagi insan/individu (moral privat).
Disisi lain, memang tak bisa dipungkiri masih terdapat sebagian (kecil) warga yang tidak menghendaki Pancasila secara perenial. Mereka masih mencibirnya. Baik sebagai falsafah bangsa maupun ideologi negara. Secara terang-terangan maupun menikam dari belakang.
Hal ini mungkin tidak terlepas dari faktor kesejarahan yang masih menyisakan luka berkepanjangan dan syahwat politik ingin mengganti dengan ideologi trans-nasional —selain Pancasila—.
Bukankah rute sejarah sudah memperlihatkan kebuntuan dari jalan ideologi bukan Pancasila. Mungkin mereka belum meyakini bahwa bangsa nusantara telah sublim, menyatu dengan Pancasila.
Ibarat air kelapa yang hanya berbuah dari pohon kelapa. Pancasila adalah saripati yang merekah dari tanah pertiwi nusantara. Digali dari lapis-lapis peradaban nusantara.
Aku bukan pencipta Pancasila, aku hanya menggalinya dari bumi nusantara. Demikian diakui Sukarno dalam auto-biografinya yang dituliskan Cyndi Adams.
Pancasila tumbuh-merekah di hamparan banua arkipelago nusantara. Ada kecocokan antara Pancasila dengan kondisi geopolitik dan geografis Indonesia. Satu sama lain seakan tak terpisahkan, walau habituasi Pancasila mengalami pasang-surut. Bahkan beberapa kali Pancasila “berganti rupa” seiring perubahan rejim yang berkuasa.
Dalam proses menjadi dan berbangsa, Indonesia patut bersyukur dan berbangga karena memiliki falsafah otentiknya sendiri yaitu pancasila dan diterima sebagai memori dunia.
Ada adagium klasik berbunyi: versi sejarah —kelahiran Pancasila— ditulis oleh pemenang politik. Adagium ini harus diakhiri. Mari menyepakati Pancasila yang final. Pancasila yang “draf” awalnya di-pidatokan tanggal 1 Juni 1945 oleh Ir. Sukarno, dalam kapasitas sebagai anggota BPUPK.
Sukarno pun jadi ketua Tim-9, yang kemudian menjadi PPKI —Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia—. Mari menyepakati realita historis bahwa Pancasila hanya memiliki satu akta kelahiran yaitu tanggal 1 Juni 1945 dan di-sahkan pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI.
Rumusannya termaktub dalam Pembukaan UUD45.
Pancasila serta Pembukaan UUD45 merupakan sumber dari segala sumber hukum. Asas dan sumber inspirasi setiap organisasi/partai politik yang menghendaki kebajikan dan keselamatan bangsa ini.
Dalam perspektif gerakan kebudayaan yang dinyatakan oleh Gerakan Bhinneka Nasionalis, GBN, pembukaan UUD45 dirumuskan sebagai kehendak kebudayaan bangsa Indonesia. Dimana Pancasila merupakan titik tumpu (filosofische-gronslag) sekaligus titik tuju (weltansauung).
Di dalam pembukaan UUD45 ada pernyataan yang harus dipertahankan, yakni penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi, ada pula agenda-agenda yang harus diperjuangkan: mencerdaskan kehidupan bangsa; memajukan kesejahteraan umum; dan bebas-aktif menciptakan perdamaian dunia!
Pidato di PBB tahun 1960
Pancasila ditawarkan sebagai piagam PBB oleh Bung Karno pada sidang Umum PBB tahun 1960 berjudul “to Build the world a-new”. Membangun Dunia Kembali. Pidato tahun 1960 itu kemudian ditetapkan sebagai memori dunia oleh PBB, 53 tahun kemudian, persisnya bulan Mei 2023.
Pancasila yang dipidatokan Sukarno tahun 1960 di PBB sama dengan rumusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945: Ketuhanan yang maha esa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan; Musyawarah-Mufakat; dan, Keadilan sosial.
Sukarno seakan mewakili gelora bangsa-bangsa yang sedang bangkit dan berkehendak bebas.
Bernafas spiritual. Sarat untaian doa keselamatan bagi orang per-orang maupun bangsa.
Hal tersebut membuktikan Pancasila bersifat inklusif, dapat diterima sebagai jalan keselamatan bangsa-bangsa secara universal. Tidak terkungkung, chauvinistic. Tidak sempit budi.
Selamat merayakan hari lahir Pancasila 1 Juni. Selamat Sentosa bangsa nusantara, sejahtera lahir-batin.
*Penulis: Bob Randilawe, M.Hum, mantan staf ahli BPIP dan eksponen gerakan 98; opini ini dimuat pertamakali di bergelora.com dengan judul “Pancasila: Moral Privat dan Publik”