oleh: Ismail Amin
Dua tahun lalu, tidak lama setelah tahun berganti dan masyarakat dunia masih belum lepas dari efouria perayaan masuknya tahun 2020, pada Jumat 3 Januari 2020, masyarakat dunia dihebohkan dengan terbunuhnya seorang perwira senior Iran akibat serangan drone di dekat Bandara Internasional Baghdad Irak. Pentagon mengkonfirmasi serangan tersebut atas arahan langsung Presiden AS, Donald Trump. Usai terkonfirmasi Mayor Jendral Qasim Sulaemani yang menjadi target AS itu benar-benar termasuk korban jiwa dari insiden penyerangan tersebut yang dikenali dari cincin yang dikenakannya, Donald Trump mentweet foto bendera AS di akun twitternya, sebagai tanda kemenangan.
Berbeda dengan Chris Murpy, salah seorang Senator AS. Ia menilai menyerang Jenderal dari kesatuan militer resmi negara yang berdaulat adalah kesalahan fatal dan menjadi tanda ajakan untuk perang terbuka. Ia menulis di Twitternya, balasan Iran harus menjadi kekhawatiran utama AS sejak mulai hari itu. Jutaan warga AS memviralkan tagar #dearIran dengan memberi pesan kepada Iran agar wilayahnya tidak mendapat serangan balasan karena mereka tidak memilih Trump dalam Pilpres AS.
Siapa Qasim Sulaemani yang kematiannnya membuat heboh warga dunia khususnya warga AS?. Qasim Sulaemani adalah perwira senior Iran yang ditunjuk langsung Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Sayid Ali Khamanei untuk mempimpin Korps Brigade Alquds, divisi khusus berisi pasukan elit yang bertanggung jawab untuk operasi ekstrateritorial dari Iran. Ia terlibat langsung di berbagai medan konflik di Timur Tengah, khususnya di Irak dan Suriah. Sesuai namanya, Brigade yang dipimpinnya bertugas menjaga Alquds termasuk situs-situs Islam di Suriah dan Irak dari ancaman penghancuran kelompok teroris. Ia membantu Hizbullah di Lebanon dalam mengatasi serangan Israil dan juga membantu HAMAS di Palestina baik bantuan militer maupun bantuan strategi untuk memenangkan pertempuran.
Ia lahir di Kerman tahun 1957 dari keluarga petani miskin. Mengawali karir kemiliterannya dengan mendaftarkan diri menjadi anggota Korps Pengawal Revolusi Islam yang di media-media Barat disebut Islamic Revolutionary Guards Corps (IRGC) seusai kemenangan revolusi Islam Iran tahun 1979. Karena berperan penting dalam penanganan pemberontakan separatis Kurdi di Provinsi Azerbaijan Barat, ia naik pangkat secara cepat. Pada Perang Iran-Irak tahun 1980-1988, ia memimpin kompi militer dan karena kelihaiannya dalam meracik strategi, disetiap operasi yang dikomandoinya, ia berhasil merebut kembali wilayah yang diduduki Irak, dimana pada saat itu ia masih berusia 25 tahun. Oleh AS ia dipercaya terlibat dalam gagalnya ISIS di Syam dan Irak. Sulaemani diakui memberi bantuan strategi kepada Presiden Suriah Bashar Assad dalam melawan pasukan pemberontak dan merebut kembali kota yang sempat berada dalam cengkraman pemberontak. Dengan kelihaiannya dalam merancang strategi perang dan berhasil meloloskan diri dalam berbagai upaya pembunuhan dalam dua dekade terakhir, Pentagon menjulukinya, “shadow commander”.
Terus, mengapa Sulaemani dibunuh AS? Dennis Etler, seorang analis politik Amerika dalam wawancaranya dengan Press TV menjelaskan bahwa pembunuhan sang Jenderal merupakan langkah putus asa AS setelah gagal dalam semua upaya untuk mengisolasi Iran. Disebutnya, AS telah gagal berkali-kali dalam mengintimidasi Iran, mulai dari mengisolasi dengan memberlakukan embargo politik dan ekonomi, sampai pada upaya mengacaukan Iran secara internal.
Trump sudah diujung tanduk. Saat itu Ia sedang berusaha mencari simpatik warga AS ditengah ancaman pemakzulan dirinya. Ia mengira dengan membunuh Jenderal Iran yang banyak menggagalkan misi AS di Timur Tengah ia menjadi disegani dan diakui. Yang dilakukan Trump justru telah meningkatkan ketegangan di Timur Tengah ke tingkat yang lebih parah. Ia telah mengambil keputusan fatal dengan memerintahkan membunuh orang berpengaruh kedua di Iran setelah Ayatullah Ali Khamanei. Para pengamat menganalisa, perang dunia ketiga bisa saja terjadi, jika para pemimpin negara-negara besar tidak hati-hati bertindak. Lebih jauh dari itu, Trump gagal terpilih untuk kedua kalinya dalam Pilpres AS di tahun itu. Masyarakat AS percaya, tindakan gegabah Trump menjatuhkan AS pada kubangan konflik yang tidak berujung dengan Iran.
Satu hal penting lainnya, kematian Mayor Jenderal Qasim Sulaemani atas perintah Trump membuka mata dunia. Bahwa kebencian dan permusuhan AS terhadap Iran bukan main-main, bukan sandiwara apalagi settingan sebagaimana sering dikampanyekan sebagian orang. Mungkin di dunia Islam namanya kurang dikenal, karena selain ia bekerja dalam senyap, juga karena kerja-kerja Amerika dan Israel berhasil merusak citra Iran melalui penguasaan media. Namun bagi rakyat Palestina, Irak dan Syam, dia adalah ksatria, dia adalah pembela dan pahlawan mereka. Kematiannya menggerakkan jutaan rakyat Irak menyerbu Kedutaan Besar AS di Baghdad. Gedung Putih segera memerintahkan warga AS untuk keluar dari Irak.
Sebagaimana jabatan yang diberikan Pemimpin Besar Iran padanya, sebagai Komandan Brigade Al Quds, Sulaemani telah menjaga Al Quds seperti menjaga nyawanya. Petinggi-petinggi HAMAS Palestina setiap mengelu-elukan dan berterimakasih pada Sulaemani, ia berkata, “Berterimakasihlah pada Sayid Ali Khamanei yang telah memberi tugas mulia ini padaku”. Tidak jarang, petinggi HAMAS ke Iran hanya untuk menyampaikan terimakasih langsung pada Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamanei. Tidak banyak yang tahu ini, karena konsumsi beritanya hanyalah kantor-kantor berita yang berafiliasi pada kepentingan AS dan Zionis. Yang memang bertanggungjawab merusak citra Iran di dunia Islam.
Sudah dua tahun berlalu, namun nama besar sang Jenderal tetap menggaung, bersama ancamannya pada kepongahan AS. Fakta yang mengkhawatirkan AS, kekuatan militer Iran semakin mengerikan sepeninggal Soleimani.