oleh: Syahrul Ramadhan
Purna Warta – Tiga pekan sudah telah saya lalui bermukim di Qom sebelum berangkat ke Tehran, kampus tempat menjalankan studi doktoral saya. Pada Jumat pekan pertama, saya memilih untuk tidak melaksanakan shalat Jumat dikarenakan pada pagi harinya baru saja mendarat ke Iran dari Indonesia selama 3 hari. Perjalanan yang melelahkan tentunya.
Selain itu suhu di Iran yang masih dingin memaksa saya harus tetap berada di asrama. Begitupun pada Jumat pekan kedua, salju yang menghujani Qom menjadi alasan saya untuk tidak berangkat shalat Jumat.
Selain alasan tersebut, di Iran salat Jumat tidak dilaksanakan sembarangan di masjid. Tidak seperti di Indonesia yang salat jumatnya diadakan di setiap RT, RW, dan desa. Jika pembaca adalah non Syiah seperti saya, lalu sedang berada di Iran pada hari Jumat jangan kaget jika masjid-masjid di Iran kosong tidak melaksanakan shalat Jumat.
Hal tersebut bukan berarti orang Syiah tidak melaksanakan Shalat Jumat. Menurut mazhab Syiah di Iran, tempat shalat Jumat hanya boleh ada satu tempat di setiap kotanya. Perbedaan fiqih antar mazhab adalah hal yang wajar.
Di Indonesia, tempat yang dinamakan mushalla tidak digunakan untuk shalat Jumat dan hanya digunakan untuk shalat fardhu. Biasanya bangunannya berukuran kecil. Sedangkan masjid di Indonesia digunakan untuk shalat fardhu dan shalat Jumat, biasanya juga ukuran bangunan lebih besar dari mushalla. Hal tersebut berbeda dengan di Iran.
Mushalla adalah tempat untuk melaksanakan shalat Jumat. Namun jangan dibayangkan mushalla di Iran berbentuk kecil. Mushalla tempat saya melaksanakan shalat Jumat ukurannya sebesar masjid Istiqlal di Jakarta. Sedangkan Masjid di Iran hanya digunakan untuk shalat fardhu. Perbedaan tersebut tentu tidak menjadi masalah, hanya perkara istilah saja, fungsinya tetap sama.
Pada Jumat pekan ketiga akhirnya saya menyempatkan untuk salat Jumat. Salat Jumat di Qom dilaksanakan di Mushalla Al Quds, 15 menit dari tempat tinggal saya jika ditempuh menggunakan ojek online (mobil). Mushallanya didesain dan dibangun menyerupai dengan Al Quds di Palestina. Penamaan Al Quds ditujukan untuk mendukung gerakan pembebasan Al Quds di Palestina.
Tentu sudah menjadi rahasia umum bahwa Iran adalah negara yang paling getol membela Palestina untuk merdeka dari rezim zionis Israel. Sehingga wajar jika menamakan tempat istimewa di negaranya dengan nama yang ada di Palestina. Begitupun di sela-sela khutbah Jum’at, Khotib tidak lupa juga meneriakkan jargon – jargon perlawanan terhadap Israel dan anti penjajahan, seraya diikuti oleh para jamaah shalat Jumat. Hal tersebut tentu berbeda dengan pelaksanaan shalat Jumat yang ada di Indonesia yang jamaahnya tidak boleh berbicara satu huruf pun.
Selain karena perbedaan fiqih antara Mazhab Syiah dengan non Syiah, juga dikarenakan Khutbah Jumat di Iran mempunyai aturan main khusus. Khutbah Jum’at secara jumlah sama dengan sebagian khutbah Jum’at di Indonesia, dilakukan 2 kali. Namun yang membedakan adalah isi dari khutbah tersebut.
Khutbah Jum’at pertama di Iran harus berisi tentang khutbah keagamaan, sedangkan khutbah Jum’at kedua berisi tentang khutbah kenegaraan, dengan Khotib yang sama tentunya. Aturan tersebut menjadi aturan bagi seluruh shalat Jumat di Iran.
Shalat Jumat yang saya ikuti dalam khutbah pertama/khutbah keagamaan, Khotib menyampaikan materi tentang pentingnya kejujuran dalam Islam, yaitu kejujuran di segala bidang. Sedangkan. Pada Khutbah kedua/khutbah keagamaan, Khotib menyampaikan tentang momen kelahiran Imam Husein dan kaitannya pada semangat kenegaraan di Iran.
Ia menyampaikan bahwa semangat imam Husein dalam berjuang perlu digunakan dalam semangat masyarakat Iran dalam bernegara. Menurutnya momen Milad Imam Husein menjadi spirit perlawanan terhadap kedzaliman dan mempertahankan keislaman juga negara.
Selain itu masih banyak pembahasan kenegaraan yang disampaikan oleh Khotib dalam khutbah kedua tersebut. Menariknya, khutbah kedua/kenegaraan lebih lama durasinya dari khutbah pertama/keagamaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah Iran betul-betul memanfaatkan media ibadah besar dalam Islam untuk memupuk nasionalisme di negaranya sendiri.
Terbukti setelah revolusi Islam Iran, negara Iran digoyang oleh negara Barat dan Israel dari dalam dan luar. Mulai dari perang perbatasan dengan Irak hingga embargo negara barat terhadap Iran. Namun tetap saja Iran menjadi negara yang kokoh berdaulat dan dicintai oleh rakyatnya.
Aturan membagi materi khutbah menjadi khutbah keagamaan dan kenegaraan tersebut nampaknya cocok untuk ditiru di Indonesia. Kondisi Indonesia yang hari-hari ini mulai muncul disintegrasi antar kelompok tentu perlu diselesaikan oleh pemerintah.
Ekspresi dan praktek disintegrasi di Indonesia muncul mulai dari yang paling ringan sampai paling ekstrim yaitu menolak Pancasila dan Indonesia. Media salat Jumat dengan khutbah yang berisi materi kenegaraan bisa efektif dijadikan sebagai media edukasi tentang kenegaraan, terlebih masyarakat Indonesia mayoritas dihuni oleh muslim. Namun di agama lain aturan ini juga layak untuk diterapkan dalam peribadatannya masing-masing.
Syahrul Ramadhan, alumni Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, saat ini sedang melanjutkan studi S3 Pemikiran Islam Kontemporer di Universitas Internasional Almustafa Tehran. Pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Pelajar Muhammadiyah Jawa timur pada periode 2016-2018. Tulisan ini pertama kali dimuat di https://ibtimes.id/ dengan judul yang sama.