Kemacetan Habiskan Waktu Serta Rusak Mood Manusia

Purnawarta — Perkara jalanan padat yang bikin macet merupakan perkara serius yang mestinya dipikirkan oleh pemerintah. Pemerintah harus mempunya perhatian khusus mengenai kemacetan ini. Pasalnya, macet ini merusak mood dan bahkan menghasbiskan waktu manusia.

Dilansir dari Kaskus, baru-baru ini Tomtom International BV telah merilis daftar kota-kota termacet di dunia. Ibukota Indonesia yakni Jakarta terdaftar pada posisi ke-29 dengan rata-rata waktu tempuh 22 menit 40 detik untuk jarak 10 kilometer. Dengan kata lain, rata-rata kendaraan di jalanan Jakarta melaju lebih lamban dari 30km/jam.

Tentunya dengan kecepatan seperti itu mobil sport yang Anda idam-idamkan tak akan bisa menunjukkan kehebatannya. Dan itu juga hanyalah kecepatan rata-rata, dalam kasus paling parah bukan mustahil Anda tak akan bisa melaju satu senti pun selama puluhan menit. Bayangkan, jarak 10 kilometer yang harusnya bisa Anda tempuh dengan dua jam berjalan kaki malah menghabiskan tiga jam dengan mobil. Sungguh ironis.

Mari Bahas Fenomena “Tua di Jalan”

Dan karenanya kita pun sering mendengar istilah “Tua di Jalan.” Istilah ini muncul akibat orang-orang lebih banyak menghabiskan waktu di perjalanan dibandingkan waktu bersama keluarga di rumah. Bayangkan saja jika Anda pulang bekerja pukul 6 sore lalu menghabiskan tiga jam menembus macet. Saat sampai di rumah Anda akan merasa amat lelah dan langsung tertidur. Tentunya Anda tak lupa menyetel alarm pukul 5 pagi agar Anda bisa berangkat kerja dan kembali menempuh macet.

Tentunya fenomena ini adalah neraka bagi mereka yang tempat tinggalnya terletak amat jauh dari kantor. Pergi sebelum subuh, pulang setelah isya. Beberapa mencoba menggunakan transportasi umum, tetapi tak banyak perbedaan signifikan, bahkan bahaya yang mengintai lebih menyeramkan dibanding bertambah tua di dalam mobil.

Mari Bahas Fenomena “Tua di Jalan”

Lelah bekerja dan kemudian lelah menghadapi macet. Fisik dan psikis Anda akan benar-benar dilatih untuk menderita. Hari demi hari, jam demi jam, menit dan detik. Duduk diam di dalam mobil, menyalakan AC untuk menghalau panasnya ibukota, menatap papan iklan terang benderang di kanan kiri, mengabaikan pengemis yang terus mengetuk kaca, Anda pun merenung, “Sampai kapan aku akan terus begini?”

Jadi, apa solusinya?

Kepadatan penduduk, kurangnya transportasi yang layak, serta jumlah kendaraan pribadi adalah masalah utama di sini. Rasanya terlalu indah bila kita bergantung pada pemerintah untuk mengatasi masalah dengan cepat. Bahkan jika ibukota benar-benar pindah pun, tak ada jaminan kemacetan akan berkurang.

Mari Bahas Fenomena “Tua di Jalan”

Mau tak mau Anda harus berusaha sendiri jika ingin keluar dari lingkaran neraka yang bernama Tua di Jalan. Mungkin Anda bisa mencari kerja di lokasi yang lebih dekat atau pindah ke rumah yang lebih dekat dari kantor. Ya, saya tahu hal itu tak mudah di Jakarta, harga kos dan kontrakan yang tinggi serta sulitnya mencari kerja memang membuat banyak orang berhenti untuk berharap.

Namun, jika tak bisa melawan, maka cobalah untuk menikmatinya. Mungkin sembari berkendara Anda bisa mendengarkan podcast, sarapan, atau musik yang membangkitkan semangat. Atau jika Anda ingin lebih produktif Anda bisa memikirkan pekerjaan yang menanti di kantor dan mencari solusi untuk menghemat waktu bekerja Anda nanti. Atau … apa lagi ya?

Mari Bahas Fenomena “Tua di Jalan”

Yeah, fenomena tua di jalan memang menjadi satu sisi gelap dari gemerlapnya ibukota. Pada akhirnya semua akan menjadi masalah prioritas, apakah pekerjaan lebih penting sampai kita rela menghabiskan berjam-jam di jalan? Tak bisakah kita mencari daerah lain yang lebih sepi agar bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga? Apa perlu kita minta bantuan covid agar bisa tetap bekerja di ibukota tanpa menjadi tua di jalan?

Huh …. Memang beginilah hidup. Kita tak bisa mendapat kesenangan tanpa mengorbankan sesuatu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *