“Ketika perempuan berpakaian serba minim, jika terjadi pelecehan, siapakah yang salah?”
“Dari sudut pandang wanita, posisi wanita tidak salah karena setiap wanita berhak menggunakan apapun, jadi laki-lakinya aja yang mesum.”
“Dari sudut pandang laki-laki, wanita yang berpakaian terbuka itu bodoh. Ibarat tidak ada asap tidak ada api. Wanita yang berpakaian terbuka akan mengundang seorang pria yang berniat berfikiran buruk. Pria seharusnya menjaga dan meminimalisir pandangan yang mengundang syahwat. Jadi, pria yang salah atau wanitanya yang bodoh?”.
Begitulah narasi konten video reels Instagram brand Jilbab Rabbani beberapa waktu lalu. Unggahan video muatan iklan busana Muslimah ini, memancing reaksi publik. Marketing yang digunakan Rabbani diklaim sebagai blaming the victim. Dalam kalimat di pembuka video reel, “Ketika perempuan berpakaian serba minim, jika terjadi pelecehan, siapakah yang salah?”, disebut tidak memiliki empati terhadap perempuan korban pelecehan. Selain itu, narasi “Wanita yang berpakaian terbuka itu bodoh”, menyebabkan sebagian kelompok termasuk diantaranya Feminis di akun media sosialnya mengeluarkan pernyataan sikap dan diikuti oleh komentar pedas ratusan netizen lainnya.
Memang, dilihat dari sudut kewajaran, banyak hal yang patut dikecam mengenai unggahan video ini, salah satunya karena menonjolkan pelecehan, siapa yang salah dan kata bodoh yang ditujukan kepada perempuan berpakaian terbuka. Tentu saja akan menuai banyak polemik. Saya pernah menulis sebuah artikel tentang “Siapa bilang pakaian tidak berkontribusi dalam kekerasan seksual terhadap perempuan”. Sebagian besar di artikel ini bisa menjawab komentar kelompok feminis dan netizen. Silahkan cek via Google bagi yang minat baca.
Dari berbagai macam sinyalemen sumber persoalan kekerasan/pelecehan seksual, gak logis rasanya ketika dikatakan secara mutlak bahwa pakaian tidak ada kaitan sama sekali dengan kekerasan yang diterima oleh perempuan. Sebagaimana juga tidak seharunya secara mutlak menyebut pakaian sebagai satu-satunya faktor pemicu terjadinya kekerasan. Pakaian jika ditinjau dari bentuk komunikasinya merupakan bentuk komunikasi non verbal yang bisa memberi makna bagi pemakainya. Mulai dari makna afiliasi budaya, status sosial, ekspresi, identitas hingga afiliasi politik. Jadi bisa dikatakan bahwa salah satu pemicu kekerasan/pelecehan seksual adalah pakaian.
Anjuran pemakaian jilbab bagi perempuan di ruang publik, memberikan banyak efek sosial, diantaranya; menjaga kesehatan mental warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, mengokohkan institusi keluarga, mencegah penyimpangan-penyimpangan seksual dan meminimalisir kerusakan-kerusakan moral. Meniadakan jilbab, alih-alih menjaga ketentraman dan menciptakan ruang aman bagi perempuan, justru bisa merusak jiwa dan mental masyarakat. Meruntuhkan fondasi kesucian keluarga dan melahirkan pelbagai efek sosial negatif lainnya. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa kehadiran jilbab memberikan kemaslahatan bagi individu dan masyarakat.
Namun, realita masyarakat saat ini yang sedikit-sedikit atas nama kebebasan, tidak mampu melepaskan diri dari kualitas reifikasi (pendangkalan) sehingga menimbulkan pemahaman negatif tentang jilbab, seperti; Pertama, “Sebegitu pentingnyakah beberapa helai rambut sehingga mereka bersikeras memaksa perempuan untuk menutupi semua? Apakah beberapa helai rambut membuat laki-laki melakukan kejahatan?”.
Sudah pasti tidak ada yang bisa mengukur tingkat daya tarik dan ambang kejahatan dalam hubungan kedua jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, bagaimana dan seberapa banyak. Sehingga dikatakan, berapa helai rambut yang dapat menyebabkan kejahatan dan berapa banyak helai rambut yang tidak dapat menyebabkan kejahatan.
Selanjutnya, dikatakan batas hijab dapat diubah dan beberapa helai rambut tidak menjadi masalah. Pertanyaannya kemudian, siapa dan bagaimana menentukan batas keluwesan ini, dan sampai sejauh mana hijab dapat diubah? Kemudian, untuk memahami seberapa besar daya tarik wajah dan rambut perempuan, cukup dengan melihat iklan berbagai produk. Iklan yang hadir dari jaman dulu hingga hari ini sangat jelas untuk mengetahui apa alasan produsen dan biro iklan mempromosikan produk menggunakan wajah dan rambut perempuan. Alasannya tidak lain adalah daya tariknya buat penonton.
Kedua, “Allah swt telah menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa Dia menginginkan kenyamanan dan kemudahan bagi hamba-hambaNya, bukan kesulitan bagi mereka. Sementara oleh sebagian banyak orang menilai hijab menyebabkan kesulitan dan membatasi mobilitas perempuan, dan ini bertentangan dengan hikmah Allah”.
Argumentasi bantahan untuk ini yaitu, yang telah menetapkan kenyamanan bagi perempuan adalah Tuhan yang sama yang telah mewajibkannya untuk melakukan kewajiban-kewajiban, sehingga sebagai hasil dari perbuatannya, ia akan tumbuh dan mencapai kesempurnaannya. Kenyamanan manusia yang ditetapkan Allah swt bukan dalam arti membebaskan manusia dari kewajiban apapun dan memberikan kebebasan mutlak.
Kewajiban yang diperintahkan Allah pun bukan dalam rangka membebani, sebab syariat juga memberikan ruang kompromi dalam pelaksanaannya. Misalnya, dapat dilihat dalam kewajiban seperti shalat, jika kita tidak dapat melakukan shalat dengan berdiri, kita dapat melakukannya dengan duduk, berbaring miring, berbaring terlentang bahkan dengan isyarat, dan Allah tidak mempersulit seseorang dalam melaksanakan kewajibannya.
Ketiga, “Jilbab zahir tanpa niat batin yang suci adalah bentuk kemunafikan. Intinya, yang penting hati bersih”. Dalam mengkritisi komentar ini, harus dikatakan, pertama, kesucian hati adalah untuk Allah swt dan itu sejalan dengan penghambaan kepadaNya, dan Allah telah memerintahkan hijab. Oleh karena itu, kesucian hati tanpa hijab tidak ada artinya dan merupakan klaim yang tidak berdasar.
Kedua, jika seseorang mengenakan jilbab zahir dan tidak memiliki kesucian hati, ia harus berusaha untuk menciptakan dan meningkatkan kesucian batinnya. Bukan malah jilbabnya yang dilepas. Karena jika jilbab tanpa kesucian hati adalah bentuk kemunafikan dan kemurkaan Allah, maka dengan membangkang tidak memakai jilbab dan menciptakan dasar kerusakan bagi diri sendiri dan orang lain juga tidak akan diridhai Allah.
Keempat, “Kenapa perintah hijab hanya ditujukan kepada perempuan, kenapa bukan laki-laki yang diperintahkan untuk menundukkan pandangan dan menahan diri untuk tidak melihat, agar perempuan tidak menderita”. Untuk menjawab asumsi ini, perlu diketahui bahwa, laki-laki seperti halnya perempuan bertanggung jawab untuk memelihara hijab. Tetapi besarnya berbeda menurut daya tarik kedua jenis kelamin.
Soal pandangan, Islam bukan hanya memerintahkan kepada satu pihak saja, laki-laki maupun perempuan wajib menjaga dan menundukkan pandangannya dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Kedua, pergaulan antara kedua jenis kelamin semestinya dibatasi. Karena kesenangan lawan jenis adalah hal yang tidak terelakkan dan kita tidak bisa menyuruh orang untuk menundukkan kepala selamanya, karena tidak semua orang itu baik, berpegang teguh pada syariah dan kerangka hukum.
Ketiga, apa batas kesopanan dan kenyamanan kedua jenis kelamin ini dalam berinteraksi satu sama lain? Dengan kata lain, sejauh mana seorang laki-laki dan perempuan diperbolehkan untuk menyesuaikan pakaian mereka sesuai dengan keinginan mereka dan membatasi lawan jenis demi mereka? Jika seseorang mengatakan bahwa saya seorang naturalis dan saya tidak percaya pada penutup apapun, apakah ia dapat dibiarkan telanjang di masyarakat dan mewajibkan orang lain untuk mengabaikan dan memalingkan pandangan untuk tidak melihatnya?.
Keempat, hijab bukan satu-satunya stimulus interaksi dua jenis kelamin. Ada faktor-faktor lain seperti aroma kuat dari wewangian parfum yang merangsang secara seksual, berbicara dengan suara menggoda, dan berjalan dengan gaya sensual juga berperan dalam hal ini. Sekarang, jika laki-laki disuruh menundukkan kepala dan tidak melihat, dapatkah dikatakan bahwa mereka juga harus menutup telinga dan tidak mendengar? Bisakah dikatakan bahwa mereka juga jangan menggunakan indera penciuman mereka?
Dan terakhir, ada yang berpendapat bahwa jilbab atau pakaian muslimah adalah bentuk patriarki, maka saya juga bisa berpendapat sebaliknya. Pertanyaan saya, keterbukaan atau ketelenjangan perempuan siapakah pihak yang paling diuntungkan? Laki-laki atau perempuan?. Jawabannya pasti laki-laki. Sebab tanpa ada usaha dan mengeluarkan biaya apapun, laki-laki sudah bisa melihat tubuh perempuan yang seharusnya tertutupi, secara bebas. Dengan demikian justru merupakan bentuk perwujudan patriarki. Karena dengan tampil terbuka, perempuan telah membiarkan tubuhnya dinikmati para lelaki hidung belang. Sementara, dengan busana muslimah yang dikenakannya, perempuan muslim telah memproklamirkan bahwa jiwanya, tubuhnya adalah milik dirinya sendiri yang orang lain tidak berhak untuk menikmati apalagi menyentuhnya.
Walhasil, pakaian apapun dan dimanapun pasti memiliki standar sendiri. Ketemu presiden, kesekolah, kampus atau instansi perusahaan memiliki dress code masing-masing. Reaksi netizen pada umumnya adalah sebuah imbas dari paradigma liberal yang menginginkan kebebasan secara mutlak. Sehingga jika berkaitan dengan pakaian muslimah atau jilbab, seolah jilbab adalah pembatas atau penghalang yang tidak memiliki pengaruh dan efek terhadap lingkungan masyarakat. Dengan berhijab, bukan hanya menjaga dan melindungi diri pemakainya, tapi hijab juga membantu masyarakat dalam menciptakan ruang kondusif dan aman bagi masyarakat.
*Mahasiswi Jamiah Az Zahra Islamic Republic of Iran, Founder Perempuan Bersuara