Oleh: Ismail A Pasannai
Harus kita akui, ada yang tidak beres dengan pola keberagamaan kita selama ini. Meskipun secara retorik kita bisa digolongkan sebagai masyarakat agamis, namun labelisasi ini harus berani untuk kita tinjau kembali apalagi jika direlevankan dengan realitas sosial. Sebab agama meskipun sifatnya sakral, manfaatnya harus dikembalikan kepada pelaku dan penganutnya.
Bagaimana kita beragama, manfaatnya bukan kembali kepada pemilik agama (Tuhan) melainkan untuk pelakon agama (manusia). Karenanya ukuran seseorang beragama dengan baik semestinya bukan ditinjau bagaimana ia mencapai maqam spiritual yang tinggi lewat ritus-ritus peribadatan belaka, namun bagaimana ia mentransformasikan semangat ritus-ritus ibadah tersebut kedalam gerak sosial yang nyata. Setiap ritus Islam mengandung pesan-pesan sosial, ini yang tidak boleh kita abaikan.
Shalat misalnya, sebagaimana yang disampaikan dalam Al-Qur’an, bahwa shalat itu dapat mencegah pelakonnya dari berbuat keji dan mungkar. Mushalli (pelakon-pelakon shalat) menurut Islam adalah orang-orang yang tercegah tangannya dari berbuat keji dan mungkar. Jadi dalam shalat, yang terpenting bukan hanya menjaga kekhusyukan dan rukun-rukun shalat, namun juga bagaimana shalat yang ditunaikan tersebut memberikan pengaruh kepada pelakunya untuk aktif dalam gerakan-gerakan sosial yang membawa perbaikan dan bukan terlibat sebagai pelaku kekacauan sosial.
Jadi beragama dengan baik, bukan hanya dilihat bagaimana pelakunya mengoperasikan simbol-simbol agama secara ritualistik, namun juga bagaimana ia membuktikan keberagamaannya pada tataran praktis. Syiar agama yang terpenting bukan terletak pada besarnya jubah, panjangnya surban, banyaknya butiran tasbih ataupun melalui kesemarakan perayaan-perayaan melainkan sejauhmana penganutnya menjalankan pesan-pesan agama tersebut untuk menciptakan keadilan, perdamaian dan kesejahteraan yang menjadi tujuan syariat.
Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah yang mahal dan super lembut, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit, kekurangan gizi dan berbaring tanpa alas.
Bukankah kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, disaat ribuan anak negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Rumah ibadah dibuat semegah mungkin dengan menghabiskan dana puluhan juta, namun disaat yang sama disekitaran masjid kita lihat bergelimpangan orang-orang yang kesulitan mencari makan. Jutaan uang dipakai untuk naik haji dan umrah berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar tidak mampu membayar biaya rumah sakit.
Islam bukan pula agama teoritis belaka yang hanya bisa didekati setelah sebelumnya belajar mantiq, hadits, nahwu, sharaf, ushul fiqh dan ilmu-ilmu pengantar lainnya, lebih dari itu Islam adalah agama aksi. Saya tidak mengatakan belajar teori-teori Islam itu tidak penting, namun ajakan saya bagaimana kita lebih memprioritaskan aspek afektif (berbuat) dibanding aspek kognitif dari agama ini. Barometer kebangkitan Islam mestinya ditinjau dari keberhasilan umat dalam pencapaian keadilan dan kesejahteraan terkhusus pada penguasaan pada wilayah politik-sosial-ekonomi, bukan semata dilihat dari semakin banyaknya bangunan masjid, semaraknya dakwah di tivi-tivi dan media, merebaknya penggunaan busana dan simbol-simbol Islam, bergesernya trend masyarakat ke nasyid-nasyid dan film-film religius ataupun mencuatnya kecenderungan pemerintah daerah memberlakukan perda-perda syariat. Sebagaimana pesan Nabi saww, seorang muslim adalah yang paling bertanggungjawab terhadap keadaaan sosialnya, maka kebangkitan umat harus ditandai dengan semakin banyaknya aktivis-aktivis Islam yang peka terhadap problem-problem sosial dan aktif dalam gerakan-gerakan untuk menyelesaikannya, bukan untuk kepentingan sektarian atau kelompok semata, namun pesan Islam sebagai agama rahmat bagi sekalian alam harus menjadi asas dalam aksi-aksi pembebasan tersebut.
Diantara tanda keberimanan seseorang kata Nabi, begitu terjaga dari tidurnya, ia langsung memikirkan persoalan umat. Memikirkan yang dimaksud tentu saja bukan hanya sekedar dipikir dengan berdiam diri saja tanpa aksi nyata lebih lanjut. Sebab Islam bukan agama retorika dan teoritis belaka. Ia bukan hanya didakwahkan lewat ceramah di mimbar-mimbar namun juga lewat aksi nyata di tengah-tengah masyarakat. Kaum agamawan adalah mereka yang jeli melihat dan merasakan denyut perubahan.
Problem-problem kemanusiaan tidak lagi relevan didekati secara mistis, bahwa semua sudah menjadi suratan takdir, dan tinggal menunggu takdir Allah lainnya untuk mengubahnya. Banjir misalnya, tidaklah sesuai dengan maksud agama jika dikatakan bahwa itu adalah ujian dari Allah semata, ada nalar agama yang harus kita kedepankan, yakni bagaimana kita menjaga lingkungan dan lebih menghargai alam sebagai cara kita beragama. Tugas alim ulama kita bukanlah sekedar mendo’akan arwah para TKW yang menjadi korban kebiadaban majikan tempat dimana ia bekerja dan meminta keluarganya untuk bersabar bahwa itu semua ujian dari Allah, namun lebih dari itu elit agama kita harus mampu menjadi juru runding untuk lebih menusuk ke dalam inti persoalan dengan memakai pendekatan yang tepat.
Inilah yang kita tunggu-tunggu dari para pelakon agama, khususnya di tingkat elitnya. Yakni menjalankan peran sosial Islam, menjadi pihak yang paling bertanggungjawab untuk mengakhiri kekisruhan sosial. Ulama-ulama yang menjadikan Islam sebagai agama aksi dan terlibat langsung dalam gerakan-gerakan kemanusiaan, adalah ulama dambaan umat. Tentu kita tidak ingin bangsa ini diklaim sebagai bangsa agamis, tapi terus menjadi bangsa yang terinjak-injak dan berada di anak tangga paling bawah dalam pergaulan internasional. Ada kesenjangan yang mengerikan dari klaim tersebut dengan realitas. Ini yang harus kita ubah. Semakin agamis seseorang semakin gesit ia mencari tahu persoalan ummat, semakin saleh seseorang semakin ia aktif dalam gerakan-gerakan kemanusiaan.
“Bukanlah orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid,” kata Emha Ainun Najib yang disebut sebagai orang yang beragama, “dan membiarkan beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.” Namun orang yang beragama adalah sebagaimana yang dikatakan Imam Khomeini, “Tahukah kau shalat yang khusyuk? Yakni shalat yang memberinya energi untuk bertindak memperbaiki kondisi sosial masyarakatnya.”
Wallahu ‘alam Bishshawwab