PurnaWarta — Sebagian manusia berpikir bahwa hukum-hukum fiqih Islam yang harus ditaati adalah hanya murni ketaatan (perkara ta’abudi) dalam artian bahwa tidak ada falsafah, hikmah, burhan atau dalil di belakangnya.
Jika setiap orang berpikiran seperti ini maka sebenarnya mereka telah berpikir keliru dan telah tergelincir dari shiratol mustaqim serta bahaya akan mengancam diri mereka.
Seandainya perintah-perintah agama Islam hanya sekedar perkara ta’abudi dan tidak hikmah, burhan, serta dalil di belakangnya maka seharusnya Allah swt membuat hukum berbalik arah atau bertentangan yakni sesuatu yang halal menjadi haram dan yang haram menjadi halal setelah itu manusia hanya harus mentaatinya saja (karena semua sama saja; tidak ada hikmah dan burhan di belakangnya). Manusia terpaksa untuk meninggalkan shalat, bisa mencuri, dan boleh berzina. Akan tetapi tidak seperti itu.
Maka dari itu kita sebagai muslim tentunya mengetahui bahwa dari apa yang dihalalkan oleh Allah swt terdapat kemaslahatan dan kebahagian manusia ada di dalamnya serta keberlangsungan sosial bergantung pada apa yang dihalalkan oleh Allah swt. Manusia butuh akan apa saja yang dihalalkan oleh Allah swt serta selamanya mereka akan selalu butuh terhadapnya.
Lalu apa yang diharamkan oleh Allah swt pastinya ia menjadi sesuatu yang akan membuat kerusakan dan menarik manusia pada jurang kehancuran dan kehinaan. Akan tetapi Islam juga mempunyai keringanan hukum jika kita berada dalam bahaya misalnya saja kita bisa memakan makanan haram ketika kita sedang berada dalam kelaparan yang bisa membuat kita meninggal dunia dan Islam mengizinkan hal ini.
Maka dari itu bagaimana bisa hukum-hukum Allah swt itu tidak ada hikmah, burhan, dan dalil padahal Allah Yang Maha Hakim membuat hukum-hukum untuk kebahagiaan dan kemaslahatan manusia dan bermanfaat untuk tubuh mereka dan Allah swt mengharamkan karena dalam sesuatu yang haram ada bahaya untuk manusia baik secara dzahir maupun bathin.