HomeLainnyaOpini & CeritaCerita Pengalaman Arbaeen Walk di Irak bersama Iqbal Aji Daryono (1)

Cerita Pengalaman Arbaeen Walk di Irak bersama Iqbal Aji Daryono (1)

oleh: Ismail Amin

Awalnya saya bersama putri saya (13 tahun), berencana safar Arbain, dan ikut dengan rombongan sesama pelajar Indonesia di Iran. Hanya saja, ketika Iqbal Aji Daryono (IAD) memosting keinginannya di FB untuk ikut Arbaeen Walk, saya berbasa basi menawarkan diri jadi guidenya. “Yuk mas sesama Muhammadiyah saya siap menemani.”

Awalnya saya benar-benar hanya basa basi, toh teman di FB tidak selalu berarti teman beneran. Ini juga diulas sendiri IAD dalam bukunya, “Sapiens di Ujung Tanduk”. Tapi dia menyambutnya dengan serius, seserius dia ingin ke Karbala. Terlebih lagi ngakunya, sudah 9 tahun dia memendam rasa penasaran. Saya pun kelabakan dan dengan berbagai cara berusaha mengendorkan keinginannya.

“Ini bukan travelling biasa mas. Sekarang panasnya ekstrim bisa sampai 50 derajat celcius, ancaman virus menular, berhadapan dengan ketidak higienisan sampai gimana kalau nanti dapat sebutan Syiah yang itu berpotensi merusak karir dan reputasi dan bagaimana dengan bojomu mas, ngizinin gak? gak total aman lho di Irak itu, ancaman bom dari radikal ISIS yang tersisa masih ada.”

Intinya jangan berekspektasi terlalu tinggi seolah-olah Arbaeen Walk sepenuhnya nyaman dan menyenangkan dan tidak memiliki resiko apa-apa. Tapi dia menepis semua kekhawatiran itu.

“Saya pernah menggelandang di India tad, jangan khawatir. Masalah takut tidak aman, saya malah pernah sampai masuk zona merah papua tad.”

“Ekspektasi tinggi? wkwkwkkwk justru saya suka organik. Saya pengen yg ori-ori bukan yang artifisial.”

“Dikatai Syiah? saya ini sudah dikatai macam-macam tad. Sampai dikatai cepu polisi segala dan itu musuhnya dari semua arah. Menepis isu saya Syiah jauh lebih mudah daripada menepis isu cepu polisi.”

Dua minggu berlalu, meski dia post status-status di FB yang menunjukkan kemauan besarnya ingin ke Karbala saya masih menganggapnya hanya lagi cari sensasi saja, lumayan bisa nambah-nambah followers dan like dari komunitas Syiah.

Sampai dia WA, “Tad saya dijemput di baghdad ya tanggal segini saya landing bla..bla.. juga carikan hotel dibagdad. Untuk visa gampang, saya sudah nanya-nanya sama murid kelas menulis yang juga ikut rombongan buat Arbain ke Irak.”

Wah, tidak bisa diajak main-main nih orang. Nda mikir apa saya itu tinggalnya di Qom bukan di Bagdad. Dan kalau dia tinggal di hotel selama di bagdad berarti saya juga dong. Dana hotelnya apa nafsi-nafsi apa gimana nih?

“Kan cukup sewa satu kamar tad. Ranjangnya tetap beda he..he… Semua ongkos jalan-jalan selama di Bagdad juga gampanglah itu. Tad cukup hanya menemani dan tunjukkan tempat-tempat ikonik di Bagdad. Kalau di Najaf dan Karbala kan tidak perlu keluar biaya. Ada teman yang ngasih sangu saya juga begitu tau saya mau ziarah Arbain.”

Sangu? saya langsung search di google arti sangu itu,

Dan akhirnya, rencana yang awalnya bareng putri saya, akhirnya berubah. Putri saya tetap ikut bersama rombongan pelajar dan berangkat lebih dulu. Saya berangkat ke Irak beberapa hari setelahnya, menyesuaikan kedatangan IAD ke Bagdad.

Mengapa penerbangannya gak langsung saja ke Najaf, kan bisa? ya karena IAD tidak hanya datang buat safar Arbain saja, juga mau mengunjungi sejumlah destinasi wisata lainnya yang ada di Bagdad. Begitu tiba, hanya istrahat sejam di hotel, dia sudah saya seret untuk ziarah ke makam Syaikh Abdul Qadir Jailani, ke Tahriri Square, ke Mutanabbi Street, mampir ngeteh di Shahbandar Cafe, warkop terkenal dan tertua di Irak, terus naik speed boat membelah sungai Tigris di malam hari.

menyusuri sungai Tigris yang membelah kota Bagdad

Besoknya ke reruntuhan istana Babilonia, lihat istananya Saddam, yang sudah tidak terawat karena habis dijarah dan dicorat-coreti abg-abg yang lagi bucin. Sorenya tiba di Najaf. Kami salat maghrib di masjid di sisi makam Imam Ali.

“Tad, ajari saya tatacara salat Syiah.”

“Tidak mengapa, antum salat dengan cara Muhammadiyah saja. Tidak masalah kok di sini.”

“Gak ustad. Di Muhammadiyah, kita diajarkan harus menyesuaikan tata cara salat dimana kita berada. Kita harus ikut tatacara imam, karena imam salat memang untuk diikuti.”

Dengan kilat saya ajarkan bagian-bagian yang beda. Meski mengangguk-angguk, saya tidak yakin secepat itu dia menangkapnya.

Habis salat. Kami menuju makam Imam Ali. Ribuan manusia membludak saling berdesakan ingin menyentuh dinding pusara tokoh Islam yang digelari Nabi pintu kota ilmu itu. Dengan padatnya manusia, benar-benar sulit untuk bisa mendekat. Saya meminta IAD untuk jangan memaksakan diri. Sehingga kami hanya melewati saja mengikuti deras arus gelombang manusia dan berjarak sekitar 5-7 m dari dinding pusara.

Di pelataran Masjid Kufah

Seusai dari Haram Imam Ali, kami terus ke Kufah melihat mimbar di Masjid Kufah tempat kepala Imam Ali ditebas saat sedang sujud. Sayang saat itu, bangunan di sisi masjid Kufah yang menjadi kediaman Imam Ali di tutup, sehingga kami tidak bisa memasukinya. Habis dari Kufah saya pun bergabung dengan rombongan pelajar Indonesia yang malam itu sudah tiba di tiang 700 dalam rute perjalanan Najaf-Karbala. Total jumlah tiang rute Najaf-Karbala 1400 lebih sedikit.

“Tad..tad… saya mau kita dari tiang nol.”

“Gak bisa mas, waktunya sudah sempit, orang juga makin membludak, fisik harus benar-benar kuat, untuk bisa memulainya dari nol.”

“Fisik saya kuat kok tad…”

Memang benar, saya lihat badannya yang tinggi tegap dengan mata yang terang berusaha meyakinkan. Saya yakin desak-desakan dengan anak buahnnya Saddam bisa dia.

“Iya mas Iqbalnya kuat, saya?”

Dia lihat perut saya yang buncit, dan nafas yang gampang ngos-ngosan. “Oh iya ya… saya ikut saja tad…”

Mungkin dalam hati dia berkata, “salah pilih guide ini…!?”

Malam itu juga, untuk pertama kalinya sepanjang umurnya dia tidur di maukib (tenda peristrahatan peziarah Arbain), di tiang 700 di tengah-tengah ribuan manusia. Entah apa yang ada di pikirannya malam itu. Dia tidur di tengah lautan manusia Syiah yang tidak dikenalinya. Habis salat subuh, setelah menyeruput kopi hangat gratis yang disajikan warga Irak, mulailah kami berjalan kaki.

Di salah satu maukib (tenda peristrahatan) yang disediakan gratis buat peziarah

Saya lihat dia begitu kegirangan menjadi satu titik di antara lautan manusia yang bergerak tanpa henti menuju Karbala. Dia memotret sana sini, raut mukanya tidak bisa menyembunyikan ada rasa senang yang tidak tertahan. Seperti bocah yang mendapat mainan baru. Dia santap dengan girang varian makanan yang ditawarkan warga.

Saya tidak bisa selalu beriringan karena dia selalu mau mengabadikan momen-momen langka melalui kameranya, sehingga dengan begitu banyaknya orang yang bergerak, kamipun terpisah. Saya sempat memesankan untuk dia berhenti di tiang 850 dan mencari tempat istrahat bersama.

Mungkin karena begitu menikmati ‘mainan barunya’ dia lupa pesan saya. Dia sudah berada di tiang 900 lebih.

“Mas Iqbal antum dimana?”

“Di tiang 900 nih tad. Tapi tenang saya dapat teman. Orang Irak bisa berbahasa Inggris. Saya nginap di sini saja. Besok kita ketemu.”

Malam itu, kami tidur beda maukib. Dan baru bertemu lagi keesokan harinya, untuk jalan bersama. Kebanyakan mampir dan berbincang dengan warga, saya memperkenalkan dia sebagai sunni dari Indonesia.. Diapun disambut dan dilayani dengan lebih baik. Dia diberi menu spesial ikan bakar dan makan semeja dengan syaikh pemilik maukib, mendapat hadiah bendera dan ikat kepala. Termasuk dia menerima wawancara dari tv (tv sengaja mengincar wajah-wajah oriental), serta ketika dia minta untuk diberi kesempatan berkhidmat kepada peziarah, di salah satu maukib dia diizinkan membagikan burger ke peziarah. Sambil cengengesan dia membagikan burger ikan ke ukhti-ukhti Irak.

Bersama Syahrul Ramadhan Yusuf, Ketua PCI Muhammadiyah Iran

Disini juga dia bertemu dengan Syahrul Ramadhan Yusuf, mahasiswa Indonesia yang lagi S3 di Tehran. Dia ketua PCI Muhammadiyah Iran. Keduanya pun  terlibat dalam obrolan yang cukup serius. Mungkin keduanya ngatur strategi  kalau-kalau pimpinan pusat perserikatan mememanggil keduanya.

Karena semua itu, telah jam 1 malam, kami kehabisan maukib-maukib yang bagus, semuanya sudah full. Terpaksa, kami tidur di maukib darurat, yang benar-benar berada di tepi jalan, sehingga saat kami baring, pejalan kaki terdengar langkah-langkahnya di telinga. Dia enjoy saja, dan dalam beberapa menit sudah mendengkur duluan.

Setelah salat subuh, kami tidak langsung melanjutkan langkah. Kami menunggu rombongan Indonesia lewat. Pukul 8 pagi mereka lewat dan kami langsung bergabung. Sayapun bertemu putri saya. Dia senang melihat saya. Saya berikan kripik kesukaannya yang sengaja saya bawa dari Iran. Sambil berbincang dia menceritakan kesulitan-kesulitannya, termasuk kakinya yang sudah mulai lecet sehingga berjalan setengah pincang. Tapi dia mengaku senang dengan semua itu.

Karena kembali mas Iqbal harus berburu foto untuk rencananya membuat photobook mengenai Arbaeen Walk ini, kami pun terpisah dengan rombongan Indonesia. Karena semalam kurang tidur, kamipun mencari maukib. Belum sejam tidur, karena sudah masuk waktu dhuhur, pemilik maukib membangunkan seribuan orang yang tidur di maukibnya.

“Bangun…bangun..!!! utamakan salat.. utamakan salat… Imam Husain dalam keadaan perang pun tetap mengutamakan salat…!!! Yang tidak mau bangun buat salat, tetap harus bangun untuk cari maukib lain, jangan di sini….!!!”

“Tad, dia ngomong apa? kok bentak-bentak gitu.”

“Kita disuruh bangun buat salat.”

“Ooh. Di Syiah ada jalur 212nya juga?”

Kamipun bergegas, ambil wudhu.

Ringkas cerita, malam kami tiba di Karbala. Sebagai titik akhir perjalanan. Haram Imam Husain as penuh dengan lautan manusia. Malam itu, kami terkena demam dan flu berbarengan. Badan serasa remuk, kepala berat, tenggorokan panas dan hidung meler. Kami ambruk.

“Mau mulai dari nol mas?”

“Tidak tad…”

Jawabnya sambil menegak dua bungkus jamu tolak angin sekaligus.

(bersambung ke bagian dua)

Must Read

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here