Oleh: Ismail Amin
Setelah dari Madrasah al-Mustansiriyah, saya dan Iqbal Aji Daryono kembali ke hotel. Buat salat Magrib dan Isya dan bermaksud buat makan malam. Tapi dari sini, tiba-tiba kepikiran.
“Tad, selama ini kita makannya di hotel. Sekali-kali kita ke kafe. Cari Shawarma.”
“Boleh.”
Saat akan meninggalkan hotel. Tamu hotel dari Rusia menyapa, yang kemarin-kemarin memang sempat diajak ngobrol, namanya Abbas Dzhuma, dia keturunan Suriah.
“Kalian mau kemana?”
“Jalan-jalan. Cari makan.”
“Boleh dong saya ikut?”
“Boleh.”
Kami pun bertiga di dalam taksi. Taksi online yang kami dapat dari aplikasi Baly meluncur menuju tempat yang kami mau, Fabrica Shawarma. Kafe ini terletak di Beirut Street. Sepanjang jalan berderet kafe yang menjual shawarma, burger khas Timur Tengah.
Fabrica kafe, telah penuh dengan pelanggan. Awalnya kami akan berancak ke kafe lain, tapi kami diarahkan ke lantai dua. Masih ada tempat di lantai dua. Lumayan lama kami menunggu pesanan kami datang. Soalnya pelanggan yang lebih dulu datang, tentu harus terlayani terlebih dulu. Dua jam kami di kafe ini.
“Habis ini kalian mau kemana?”, teman Rusia itu bertanya.
“Kami mau ke Kazhimain.”
“Kazhimain terbuka 24 jam, bagaimana kalau kita ke mall dulu. Saya lagi cari ole-ole.”
“Gimana mas?”
“Gak papa Tad. Soalnya sejak datang ke Bagdad, kita belum pernah nemu pusat perbelanjaan.”
Kami pun menuju ke mall terdekat. Di Jalan al-Mansour berderet mall-mall megah. Babylon Mall, Maximall dan Mansour Mall. Kami masuk ke salah satunnya. Sebagaimana fasilitas publik pada umumnya di Irak, kami harus melewati pos penjagaan tentara. Herannya, Abbas tidak diperbolehkan masuk. Alasannya, Abbas sedang mengenakan sendal waktu itu, sementara aturannya, hanya yang bersepatu yang boleh masuk.
“Lho kok aturannya gitu Tad?”
“Suka-suka yang punya mas.”
Mas Iqbal hanya merespon geli.
Terpaksa kami berputar badan. Abbas masih ngotot ingin masuk mall. Dia sampai membeli sepatu di pedagang emperan jalan, demi bisa masuk mall. Kalau Putin tahu, dia pasti malu.
Dengan sepatu barunya, Abbaspun dibolehkan masuk mall. Kami masuk ke dalam mall sampai ke lantai tiga. Abbas masih celingak-celinguk.
“Kamu cari apa sih?”
“Saya gak bisa jelasin. Intinya khas Irak.”
“Mungkin dia lagi cari air kencing unta liar Tad”.
“Semua mall di dunia itu sama. Jualannya rata-rata barang-barang impor, gak mungkin menemukan ole-ole khas Irak di sini.” Saya mulai menggerutu.
Abbas seolah tidak mengengar ucapanku. Dia masih juga sibuk celingak-celinguk sambil berjalan cepat.
Beberapa toko sudah mulai tutup. Saya sudah mulai gelisah. Berkali-kali saya melihat jam tangan.
“Mas, bujuk Abbas untuk udahan. KIta masih mau ke Kazhimain. Sudah tengah malam nih. Besok pagi-pagi, antum sudah harus ke bandara.”
Akhirnya Abbas luluh juga, soalnya memang beberapa gerai sudah ditutup. Kamipun meninggalkan mall. Dan kembali dengan taksi bergerak ke Kazhimain.
Kazhimain adalah salah satu distrik di Bagdad. Di distrik ini dimakamkan dua keturunan Rasulullah saw dari Imam Husain as yaitu yaitu Imam Musa al-Kazim as dan Imam Muhammad al-Jawad as. Kami ke sini untuk menziarahi dua makam keturunan Nabi ini. Dengan keberadaan dua makam itu, Kazhimain terhitung kota suci di Irak bagi umat Islam Syiah, setelah Najaf dan Karbala. Kota suci lainnya, terletak di Samara. Jauh dari Bagdad, sehingga kami tidak bisa kesana, dengan waktu yang sudah habis.
Taksi sudah harus berhenti, 1 km dari Haram Kazhimain. Kamipun berjalan kaki. Kubah emas, sudah terlihat dari jauh. Di sekeliling Haram, banyak toko-toko warga setempat menjual beraneka ragam dagangan. Abbas tiba-tiba teriak, melihat toko penjual manisan, dan makanan-makanan tradisional Irak.
“Ini yang saya cari!!!.”
Dia langsung memburu ke salah satu toko.
“Kalian masuk saja. Saya menunnggu saja di sini. Saya mau cari ole-ole dulu.” Teriaknya.
“Lha, ngapain kita sampai berjam-jam di mall. Mana kejebak macet lagi.”
Akhirnya, hanya saya dan mas Iqbal yang masuk ke dalam kompleks Haram. Menggingat saat itu sudah jam 2 dinihari. Kami tidak bisa berlama-lama. Saya sedikit melirik, mas Iqbal berdoa tampak khusyuk. Mungkin dia minta, suatu waktu bisa datang kembali ke tempat ini, dan bisa menghabiskan waktu lebih lama.
Di luar Abbas telah menunggu.
“Gimana, dapat ole-olennya?.”
“Dapat semua bro. Tahu gini. Kita tidak perlu ke mall tadi.”
“Capek deh….!!!??”
Kalau saya tahu nomor telepon Putin, saya minta dia segera mendeportasi Abbas dari Rusia, dan dikembalikan saja ke Suriah.