Cerita Pengalaman Arbaeen Walk bersama Iqbal Aji Daryono (4)

Cerita Pengalaman Arbaeen Walk bersama Iqbal Aji Daryono (4)

Oleh: ismail Amin

Saya dan Iqbal Aji Daryono tiba di Bagdad malam hari Langsung masuk hotel, salat, makan malam dan istrahat. Kami berencana  melanjutkan petualangan di negeri seribu satu malam itu, keesokan harinya. Awalnya seusai sarapan, kami berencana mengunjungi museum nasional Irak. Sayangnya, hari itu tutup. Kamis dan Jumat di Irak adalah akhir pekan, dan banyak fasilitas publik yang dikelola pemerintah diliburkan. Kamipun mengalihkan ke target berikutnya. Yaitu menziarahi makam Imam Abu Hanifa, salah satu pendiri mazhab fikih dalam Ahlusunnah. Makam Imam Abu Hanifa terletak di sisi masjid besar yang juga bernama Masjid Abu Hanifa, terletak di wilayah al-Adhamiya. Dari jauh sudah terlihat menara masjid ini yang menjulang tinggi.

Dalam perjalanan, kami harus melewati berkali-kali pos pemeriksaan yang diijaga ketat tentara bersenjata lengkap. Suasana kota Bagdad tidak sepadat Karbala. Sana-sini banyak space yang kosong. Gedung pencakar langit pun hanya beberapa yang tampak. Tidak sebagaimana normalnya sebuah kota yang menjadi ibukota negara. Mungkin karena kota ini pernah porak poranda karena perang, dimasa AS hendak menjatuhkan Saddam dua puluh tahun lalu.

Setelah melewati pos penjagaan, kami pun memasuki masjid Abu Hanifa. Masjid yang luas, dengan arsitektur yang megah. Di sisi tempat imam salat, terdapat mimbar dari kayu bercat putih dengan ketinggian sampai tiga meter. Di mimbar itu biasa khatib berkhutbah. Oleh pengelola masjid, kami diarahkan ke makam Imam Abu Hanifa. Tampak sederhana. Di sisi makam, terdapat kain kiswah penutup Ka’bah. Kata penjaga makam, kain itu dihadiahkan oleh raja Saudi. Tidak ada peziarah lain selain kami, karena saat itu menjelang salat dhuhur. Warga setempat ataupun peziarah lainnya telah duduk manis di masjid menanti azan dhuhur dikumandangkan.

Kami pun salat dhuhur di masjid besejarah tersebut. Seusai salat, kami diajak pengelola masjid untuk mengunjungi perpustakaan, yang terletak bersisian dengan masjid. Di perpustakaan tampak lemari-lemari kaca yang penuh dengan buku-buku. Di antaranya kitab-kitab yang masih tulisan tangan dan disebut ditulis dari masa Abbasiyah. Pengelola masjid memperlihatkannya pada kami salah satu dari kitab kuno tersebut. Bahkan membolehkan kami membuka dan menyentuhnya.

Ketika membuka kitab yang sudah berusia ratusan tahun itu, serpihan-serpihan kertasnya berhamburan.

“Lho kok Tad. Buku bersejarah begini, dibolehkan siapapun yang megang.”

Saya hanya tersenyum kecut, sembari membandingkan, di Iran perpustakaan Ayatollah Marasyi Najafi yang memuat kitab-kitab kuno itu, bangunannya dibuat dari dari material anti bom.

Jam dua siang kami kembali ke hotel. Semua tutup. Bahkan supermarket yang saya rencananya beli indomie untuk dibawa ke Iran, juga tutup.

Setelah beristrahat di hotel. Sore itu kami mengincar sisa-sisa kebesaran dinasti Abbasiyah.

Pukul lima sore kami mendatangi Istana Qashru al-Dzahab, yang terletak di jantung kota Bagdad. Istana ini didirikan oleh Khallifah kedua Bani Abbasiyah Abu Jafar Al-Mansur yang berkuasa tahun tahun 754-775. Istana ini didirikan sebagai tempat tinggal khalifah Abbasiyah.

Di sekeliling istana terdapat masjid, alun-alun, asrama pengawal, kediaman para pengawal dan kerabat pegawai istana. Sewaktu kami datang, banyak dari bagian istana ini ditutup. Sehingga yang bisa kami kunjungi hanya bagian dari madrasah khusus pangeran dan anak-anak kerabat istana.

Kami tidak lama di sini. Berburu dengan waktu, kami menuju Madrasah al-Mustansiriyah. Disebut bahwa bangunan ini adalah kampus tertua dan pertama di Irak. Dibangun pada abad ke-7 H. Katanya di kampus ini dulu diajarkan teologi, astronomi, filsafat dan matematika dan dikenal sebagai salah satu universitas tertua di dunia.

Yang menarik dari bangunan ini, terletak tepat di tepi Sungai Tigris, sehingga terbayangkan, para pelajarnya dulu saat belajar di luar ruang kuliah, sambil memandangi air sungai Tigris yang mengalir pelan. Namun juga keberadaan sungai Tigris di sisi kampus ini menjadi saksi peristiwa kelam. Saat Bagdad diserang Mongol, kampus ini turut dihancurkan. 80 ribu lebih koleksi kitab dari perpustakaan kampus ini dibuang oleh tentara Mongol ke sungai Tigris, sehingga disebut air sungai Tigris menghitam karena tinta dari puluhan ribu kitab-kitab itu.

Arsitektur bangunan kampus ini mirip masjid, dengan pintu-pintu dan jendela-jendelanya berbentuk kubah. Hampir semua sisinya spot yang bagus buat pemotretan, terlebih lagi saat itu sore hari. Warna keemasan matahari senja menambah syahdu suasana.

“Mas, motret dari sini bagus lho.”

“Wah Tad, pintar lho cari spot yang bagus. Tapi kalau dari arah sini ada perempuan Irak ber abayah, tentu lebih menarik.” Insting liar bapak-bapaknya mulai bekerja.

“Tad, cariin model Tad.”

Kepalaku celingak celinguk, dan akhirnya terhenti pada pengunjung lain. Seorang gadis Irak berabayah hitam.

“Neng, bisa jadi model foto sebentar.”

“Anda pencari bakat?”

“Bukan, teman saya fotografer terbaik di Bantul. Katanya, dia butuh model untuk fotonya.”

Gadis Irak itupun mengiyakan. Hanya beberapa jepretan. Terlihat wajah sumringah mas Iqbal melihat hasil jepretannya sendiri.

“Oh ya bang, fotonya bisa dikirim kesaya kan?” kata gadis Irak itu dengan bahasa Inggris terbata-bata.

“Oh bisa mbak. Of course.” Jawabnya terkesan ragu.

“Ok, kalau gitu, saya minta dipotret lagi ya.”

Usai pemotretan ala-ala profesional, mas Iqbal jalan mendekat ke saya.

“Tad, foto cewek itu kebanyakan di kamera saya.  Nyonya di rumah bisa curiga yang enggak-enggak nanti.”

“Kamu sendiri yang memulai mas. Saya tidak mau ikut campur.”

(Bersambung ke bagian lima)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *