HomeLainnyaOpini & CeritaCerita Pengalaman Arbaeen Walk bersama Iqbal Aji Daryono (3)

Cerita Pengalaman Arbaeen Walk bersama Iqbal Aji Daryono (3)

Oleh: Ismail Amin

Saya tertidur cukup pulas. Dan terbangun jam dua malam. Ternyata Iqbal Aji Daryono (IAD) belum pulang. Saya kontak hpnya, tidak dia angkat. Saya WA, tidak dia balas. Saya bangun minum air, dan merasakan tubuh saya lumayan membaik. Pukul 3.30 dini hari. Terdengar ketukan pintu. Saya buka. Terlihat wajah mas Iqbal yang tampak tidak bisa menyembunyikan rasa lelahnya.

“Memang baru pulang mas?”

“Iya Tad. Wah seru banget Tad. Tempat motretnya bagus. Haram Imam Husain terlihat jelas. Begitu juga gelombang lautan manusia yang bergerak tidak henti-hentinya.”

Dia memperlihatkan foto-foto di hpnya.

“Antum masuk gabung ke barisan orang-orang?”

“Pengen sih Tad, tapi Ahmed melarang. Gpp. Lain kali saja. Saya berencana akan safar Arbain lagi nanti.”

Dia pun membaringkan tubuhnya. Tapi saya ingatkan untuk tidak tertidur. Karena subuh tersisa setengah jam lagi. Habis salat subuh, kami berdua tertidur kembali.

Hari itu Rabu. 20 Safar. Puncak acara dari semua rangkaian prosesi Arbain. Jumat sore, mas Iqbal sudah harus balik ke Indonesia, sesuai tiketnya. Masih ada beberapa tempat yang harus dikunjugi, dan hanya tersisa hari Kamis saja. Karena itu rabu siang, kami memutuskan kembali ke Bagdad. Tapi sebelumnya akan menziarahi makam Imam Husain dulu.

“Kita harus mendekat ke makam Tad ya. Semalam saya lupa membacakan doa buat teman-teman yang nitip didoakan Tad.”

Pukul 1 siang, habis salat di hotel, kami cek out dan menuju ke Haram Imam Husain. Butuh 15 menit jalan kaki, tapi dengan orang-orang masih membludak, waktu tempuhnya menjadi lebih banyak. Dengan air mineral yang dibagikan gratis, sebagian saya teguk, sebagian saya siram ke sekujur tubuh. Panasnya bukan main. Makin mendekat ke Haram, space per orang makin sempit.

“Mas… mas jangan dipaksakan.”

Teriakku kepadanya. Kami sudah mulai terpisah. Saya cuman bisa melihat ujung kepalanya, dengan syal Indonesia merah putih yang diikatkan di kepalanya. Saya teringat kata-katanya di hotel. “Tad, saya pakai ikat kepala, supaya gampang terlihat.”

Saya sudah tidak menggerakkan diri lagi. Saya biarkan tubuh terdorong sendiri dari orang-orang di belakang. Saya hanya perlu menjaga keseimbangan untuk tidak terjatuh. Ujung kepala mas Iqbal makin tidak terlihat.

Saya teriak semampu saya, saya tidak tahu dia mendengarkan atau tidak.

“Woooi mas Iqbal, jangan dipaksakan, ini bukan keyakinanmu…!!!”

Tapi saya lihat dia tetap menerobos orang-orang dengan penuh keyakinan. Saya yang belajar di Qom sepuluh tahun, hanya tertegun.

Saya bergerak ke pinggir dan berusaha keluar dari barisan manusia, yang masih terus bergerak. Dengan nafas tersengal-sengal saya berhasil. Ini belum masuk ke dalam Haram sudah sepadat ini. Akhirnya saya memutuskan menunggu mas Iqbal di depan sebuah toko. Dalam beberapa lama kemudian, saya liat jalanan yang tadi dipadati manusia pelan-pelan melonggar.

Dari jalanan yang mulai longgar itu, tampak kubah emas Haram Imam Husain. Saya membaca doa ziarah dari situ. Saya tidak meninggalkan tempat, khawatir tidak bertemu dengan mas Iqbal. Dari jauh terlihat ujung kepala dengan syal Indonesia. Sayapun meneriakinya sambil melambai-lambaikan tangan ke atas. Ada juga manfaatnya syal Indonesia itu dipasang di kepala. Saya lupa, dulu ada film kartun, yang selalu menyiapkan barang-barang yang dia prediksi pasti akan digunakan untuk menyelesaikan masalahnya di perjalanan. Nah simasibal ini, kayak gitu.

“Gimana mas sampai ke dalam?”

“Tidak Tad.. hanya di pintunya.”

Di depan toko kami bertemu. Kebetulan penjual pernak-pernik Karbala.

“Oh ya Tad, saya mau beli turbah.” Dia mengambil dua biji.

“Hanya dua saja?”

“Ya Tad, cukup ini, hanya buat ole-ole”.

“Itu bukan ole-ole. Saya curiganya itu nanti buat antum sendiri dan bojomu.”

Saya ambilkan satu bungkus yang isi lima atau sepuluh, saya lupa. “Ini yang buat ole-ole. Nanti saya bayar.”

Turbah itupun dimasukkan ke dalam tas pinggangnya. “Selain turbah, kain kafan dan tasbih Karbala, semuanya buatan Cina.” Kataku, saat matanya masih melirik-lirik barang lain.

Kamipun akhirnya kembali ke hotel buat ngambil tas yang dititip, dan segera menaiki bis menuju Bagdad. Bis butuh berjam-jam untuk terlepas dari kota Karbala yang masih dipadati manusia. Di bis kami mendapat makan siang dari warga setempat yang membagikan gratis.

Di tepi Karbala terlihat aktivitas orang-orang yang sudah mulai kembali ke lokasi asalnya masig-masing. Acara Arbain telah usai. Juga sudah terlihat pergerakan warga lokal membongkari maukib-maukib yang kemarin masih dilewati jutaan manusia yang lalu lalang.

Saya langsung terenyuh melihat semua itu dari atas bis yang berjalan perlahan.

“Mas, lihat, orang-orang Irak sudah mulai membongkar tenda-tenda mereka. Sebentar akan mulai beredar video-video yang memperlihatkan mereka sedih Arbain sudah berakhir. Mereka sedih karena sudah tidak lagi melayani peziarah Arbain. Belum tentu tahun depan mereka masih ada umur”.

Tidak ada respon dari mas Iqbal. Saya lihat dengan mulut menganga dia tertidur pulas.

“Dasar turis…!!”

(Bersambung ke bagian empat)

Must Read

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here