Oleh: Ismail Amin
Malam tiba di Karbala, saya dan mas Iqbal Aji Daryono tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menjatuhkan badan ke pembaringan di hotel. Rencana untuk langsung menziarahi makam Imam Husain as kami urungkan.
“Gimana mas, kita ke Haram Imam Husain sekarang atau istrahat dulu?”
“Istrahat dulu Tad, besok saja perginya.”
“Iya, kalau gitu kita salat dulu. Oh iya mas, mau saya tunjukkan bedanya kamar hotel di Bagdad dan di Karbala?”
“Apa itu Tad?”
“Kalau di kamar hotel di Bagdad, sajadah yang disediakan tidak ada turbahnya (mayoritas di Bagdad berpenduduk Sunni). Nah kalau di Karbala, sajadah plus turbah.”
“Mana Tad? lihat turbahnya.”
Dia langsung lompat dari ranjang, dan mengambil turbah yang saya perlihatkan. Dalam hatinya mungkin berkata, “oh begini toh turbah itu.”
“Tad, nanti bisa temani saya beli turbah Karbala ya.”
“Buat apa?”
“Buat ole-ole, ada beberapa teman yang pesan.”
Saya langsung percaya saja.
“Mau tahu bedanya lagi yang lain?. Gambar petunjuk arah kiblat, kalau di hotel Bagdad, disimpannya dalam laci. Sementara di Karbala, petunjuknya dipasang di langit-langit kamar.”
“Mengapa begitu?”
“Kalau di Bagdad kan lebih plural. Buat ngehargaiin yang tidak salat saja. Supaya tidak terganggu dengan gambar petunjuk arah kiblat. Kalau di Karbala, karena kota religi. Tamu yang muslim diminta untuk jangan lupa salat.”
Tidak lama, kamipun sudah memasuki dunia mimpi masing-masing.
Azan subuh kami terbangun. Salat. Tidur lagi. Sampai pukul 9 pagi. Sarapan. Tidur lagi. Sampai azan dhuhur. Makan siang. Tidur lagi. Hari itu dengan kondisi badan yang drop, kerja kami hanya bangun, tidur lagi. Tubuh meminta jatahnya yang dalam tiga sehari sebelumnya dipaksa kerja ekstra dengan istrahat seadanya. Umur memang tidak bisa dibohongi. Di luar hotel, gemuruh peziarah terus terdengar tanpa henti.
17.30 suara hp berdering kencang.
“Anda bisa ke resepsionis sekarang?”
“Sekarang banget?”
“Iya!”
Sayapun tergopoh-gopoh dengan sendal hotel dan rambut awut-awutan menuju ke resepsionis. Seseorang langsung menemuiku. Orang Irak berambut cepak, berpakaian sipil dengan badan kekar.
“Anda Ismail?”
“Iya”
“Mengapa penampilan anda begini? Mana pakai sendal lagi. Ayo ganti baju. Kita ke markas tentara.”
“Ada apa ini?”
“Tidak ada waktu menjelaskan. 3 menit anda sudah harus ada di lobi.”
Saya pun antri di lift.
“Kamarmu lantai berapa?”
“Lantai empat bang.”
“Naik saja lewat tangga. Ingat tidak perlu mandi.”
Wah. Saya serasa jenderal yang hendak diculik anggota Cakrabirawa.
Dengan tergopoh-gopoh saya lari ke lantai 4 melalui tangga. Setiba di kamar, ranjang mas Iqbal kosong. Setahuku tadi masih mendengkur waktu saya tinggal. Saya memburu ke toilet. Juga kosong. Saya masih berpikir, dia mau mencandai saya. Saya buka lemari hotel satu-satu. Kosong. Astaghfirullah, diculik duluan ini anak. Fantasi liarku bekerja, wah headlinenya di koran bisa ditulis, “WNI asal Bantul, Hilang Tanpa Jejak di Karbala” Bakal heboh nih senusantara.
Dengan tangan gemetar, saya kontak hpnya.
“Mas antum dimana?”
“Di lobi Tad. Saya tadi dihubungi teman yang orang Irak itu. Katanya kita diajak naik helikopter untuk lihat suasana kota dari atas.”
“Haa, temanmu yang orang Irak itu anak jenderal?”
“Bukan, teman baru saya itu punya teman yang temannya temannya itu, punya teman di militer.”
HP saya matikan. Tidak ada waktu untuk mencerna temannya temanku temanku juga. Setidaknya jantungku tidak jadi copot. Insting jurnalis saya bekerja automatis. Saya sambar seragam metro tv dan michrophone hp. Memang sebelum ke Irak, saya sudah menawarkan ke bagian liputan internasional, “Mau tidak mbak saya liput Arbaeen Walk di Irak?”
“Apa itu mas?”
Sayapun jelaskan, lengkap dengan klip-klip video dan menyampaikan bahwa Arbaeen Walk ini juga diikuti peziarah dari Indonesia.
“Wah menarik tuh mas. Kirim video-videonya yang bagus ya. Nanti kita tayangkan.”
Seragam metro tv sudah saya dapat dari tahun 2021 tapi baru dua kali saya pakai. Sewaktu melaporkan insiden Mahsa Amini dan kasus terorisme di Shiraz Iran.
Sayapun memburu ke lobi.
“Tuh kan dengan penampilan begini, anda seperti komandan.” Kata orang Irak yang bertubuh kekar tadi, mengomentari kemeja metro tv yang saya kenakan. Saya hanya merespon candaannya dengan senyum hambar. Saya masih trauma habis dibentak-bentak tadi.
“Cepat, kita tidak punya waktu lagi.”
Kamipun dihalau menaiki mobil Land Cruiser hitam yang sudah terparkir di depan hotel. Mobil yang tangguh di medan berat itu dengan mudah membelah lautan manusia.
Saya masih penasaran. Mas Iqbal dengan santai mengambil foto orang-orang yang tidak berhenti bergerak dari atas mobil. Jumlah manusia makin memadati Karbala. Sore itu menjelang malam Arbain, puncak acara dari semua prosesi yang telah berlangsung berhari-hari ini.
“Antum sudah ngobrol apa saja dengan teman Iraknya antum itu mas?”
“Saya kan memperkenalkan diri sebagai potografer dan traveler dan dari perjalanan Arbain ini saya berencana mau buat Photobook. Saya bilang, saya mau dapat spot foto yang bagus dari ketinggian, misalnya dari atap rumah warga, itu gimana ya caranya. Eh dia bilang, mau tidak ambil gambarnya dari helikopter. Waktu itu saya kira dia hanya bercanda, saya iyakan saja.”
“Bagus sih mas, tapi apa tidak ketinggian?”
“Sepertinya.”
Tidak lama, kami sudah masuk ke markas militer. Penjagaannya sangat ketat. Pake anjing pelacak. Mobil mengarah ke pangkalan heli. Ada 5-6 heli yang sedang standby buat terbang. Kami diarahkan ke salah satu heli.
Seiring baling-baling sudah berputar, saya dan mas Iqbal diminta segera berlari menuju heli sambil menunduk. Ini pertama kalinya saya naik heli. Mana heli buatan Amerika lagi. Ketika heli bergerak perlahan meninggi, kaki dan tangan saya gemetaran. Saya yang phobia ketinggian tidak tahan untuk sesekali memejamkan mata. Saya lihat mas Iqbal sama sekali tidak ada takut-takutnya. Dia begitu larut dengan aktivitasnya mengambil gambar. Saya mengambil gambar dan video hanya melalui hp, dan tidak sampai 5 menit, hp sudah tidak bisa berfungsi lagi, tertulis di layar, karena suhu panas sangat tinggi, hp tidak bisa bekerja, dan tunggu sampai suhu menurun.
Heli terus meliuk-liuk di atas kota Karbala. Tellihat jelas lautan manusia menggulung kota Karbala sore itu. Jutaan manusia berpakaian serba hitam memenuhi semua jalan dan gang yang mungkin. Sore itu semua ujung pergerakan orang yang jalan kaki mengarah ke makam Imam Husain as.
“Mas pinjam hpnya…”
“Hah, apa?”
“Hp saya kepanasan, tidak bisa lagi ambil gambar.”
Diapun menyerahkan hpnya. Dan kembali sibuk memotret. Tentu dia tidak mau melewatkan kesempatan yang belum tentu bisa berulang kembali itu.
“Pin hpnya apa mas?”
“665544”
Pin yang cantik. Kataku dalam hati. Sayapun mengambil video dan gambar dari HP cinanya itu.
Karena kencangnya angin, suara rekaman saya pun tidak jelas. Mungkin ada sekitar 15-20 menit kami di atas heli.
Setelah heli mendarat. Dengan segera kami dikembalikan ke hotel. Teman Iraknya mas Iqbal telah ada di lobi hotel. Dia menyalami kami berdua.
“Bagaimana? Good?”
“Amazing, very amazing, syukran”, jawab mas Iqbal sumringah sambil sedikit sok ngarab.
“Malam ini, saya ajak kalian berdua ke kantor chanel tv (saya lupa namanya), dan kalian bisa ambil gambar dan video sepuasnya suasana Haram Imam Husain dari sana. Habis makan malam saya jemput.”
Kami mengiyakan.
Habis salat dan makan malam. Kami pun ke kamar, rencananya ya bersiap-siap memenuhi ajakan teman Irak itu. Tapi saya tidak tahan, punggung saya terasa sakit sekali. Perih. Suhu tubuhku juga meninggi, habis berkencang-kencang angin ria di atas heli, dengan perut seolah-olah diobok-obok. Saya ambruk ke ranjang.
Melihat wajah saya yang pucat, mas Iqbal bilang, “Tad, kalau memang tidak bisa, jangan dipaksa. Nanti saya pergi sendiri. Ada Ahmed kok yang jaga.”
Akhirnya, dia pergi sendiri. Saya memilih tetap di kamar.
“Tad, ini tolak anginnya saya simpan di meja ya, kalau mau diminum saja. 2-3 sachet gak papa.”
Sayapun mengambil satu sachet. Sekilas saya lihat ekor matanya menyiratkan, “Jangan ambil banyak-banyak Tad. Saya juga masih butuh.”
(Bersambung ke bagian tiga)