Menurut laporan Pars Today mengutip ISNA, Menteri Luar Negeri Iran Sayid Abbas Araghchi mengatakan dalam dalam wawancara dengan CNN hari Selasa (30/09/2025), Kami tidak pernah memiliki keinginan untuk memiliki senjata nuklir dan kami membuktikannya ketika kami menandatangani Perjanjian Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA) dengan negara-negara kelompok 5 + 1, termasuk Amerika Serikat, pada tahun 2015.
Menlu Araghchi menambahkan, “Amerika Serikat menyerang fasilitas nuklir dan pusat pengayaan uranium kami, menghancurkan dan merusaknya secara parah. Namun, operasi militer ini tidak dapat menyelesaikan masalah. Karena teknologinya tersedia dan asli di negara kami. Kami tidak mengimpor teknologi nuklir dari luar negeri, tetapi telah mengembangkannya sendiri.”
“Kami telah membuktikan bahwa kami tidak berusaha memperoleh senjata nuklir,” tegas Araghchi.
Menlu Iran menjelaskan, Kami menandatangani perjanjian ini dengan itikad baik dan memenuhi semua komitmen kami.
Ketika Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian tersebut, di mana tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk tindakan ini, karena banyak laporan dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) mengonfirmasi bahwa Iran telah sepenuhnya mematuhi komitmennya. Kami telah membuktikan bahwa kami tidak berusaha memperoleh senjata nuklir.
“Pada bulan Mei dan Juni 2025, kami diundang oleh pemerintahan Trump untuk melanjutkan negosiasi nuklir, dan kami menerimanya.
Lima putaran negosiasi telah diadakan, dan putaran keenam dijadwalkan pada 15 Juni, dua hari sebelum Israel menyerang kami, dan Amerika Serikat bergabung dalam serangan ini,” imbuh Araghchi.
Menteri Luar Negeri Iran menegaskan, “Kami telah mengalami dua pengalaman pahit dan tidak menyenangkan dengan Amerika Serikat. Sekali kesepakatan tercapai, tetapi mereka menarik diri. Dan tahun ini kami kembali bernegosiasi dan diserang.”
“Minggu lalu, saya datang ke New York dengan proposal yang adil, berimbang, dan konstruktif untuk menemukan solusi diplomatik atas krisis ini.
Namun usulan tersebut juga ditolak oleh Amerika Serikat dan tiga negara Eropa, yang kemudian mengambil tindakan berupa penerapan sanksi kembali secara langsung (Snapback) yang semakin memperumit masalah,” pungkas Araghchi.