Purna Warta – Operasi Badai al-Aqsa telah berlangsung selama 76 hari. Rezim Zionis Israel berusaha menebus kekalahannya dalam operasi ini dengan melancarkan serangan membabibuta ke berbagai wilayah di Jalur Gaza.
Serangan terbaru di selatan Gaza, yang menarget sebuah rumah milik Hamdan di kamp pengungsi Khan Yunis pada hari Rabu (20/12/2023) telah menyebabkan 14 warga Palestina gugur syahid.
Serangan udara militer rezim Zionis terhadap perumahan penduduk dan pusat kesehatan di Gaza tidak berhenti selama berjam-jam. Juru bicara Dana Anak-anak PBB, UNICEF James Elder mengatakan bahwa perang ini adalah perang terhadap anak-anak.
“Menurut pengumuman Kementerian Kesehatan, jumlah korban mencapai 19.000 orang, dan 40% di antaranya adalah anak-anak,” kata Elder.
Banyaknya anak-anak yang gugur menjadi faktor yang menyebabkan UNICEF menyebut perang ini sebagai perang terhadap anak-anak, dan jika perang ini terus berlanjut beberapa hari atau beberapa pekan lagi, kita akan melihat anak-anak Palestina meninggal dunia karena perang atau sakit. Gencatan senjata adalah satu-satunya hal yang bisa mencegah kematian karena penyakit atau kelaparan disebabkan perang bekepanjangan.
Menurut kantor informasi Otoritas Palestina di Gaza, jumlah syuhada di Gaza telah melampui 20.000 orang sejak dimulainya serangan militer Israel pada 7 Oktober 2023. Dari jumlah tersebut, 8.000 di antaranya adalah anak-anak dan 6.200 orang perempuan. Sejauh ini, lebih dari 52.600 orang terluka.
Memburuknya situasi kemanusiaan di Gaza dan kegagalan militer Zionis mencapai tujuan agresinya serta meningkatnya korban jiwa telah menjadi landasan bagi gencatan senjata baru dan dimulainya kembali perundingan.
Terkait hal ini, beberapa sumber berita mengumumkan kunjungan Ismail Haniyeh, Kepala Biro Politik Hamas, ke Kairo pada hari Rabu. Media berbahasa Ibrani menerbitkan berita yang belum pasti mengenai kemajuan perundingan antara Hamas dan Israel.
Menurut surat kabar Haaretz, ketika delegasi pejabat Hamas melakukan perjalanan ke Kairo untuk pertama kalinya setelah dimulainya kembali perang, Mesir dan Qatar telah mengumumkan bahwa kemungkinan membuka isu pertukaran tahanan dalam jangka pendek adalah sangat lemah.
Sementara itu, surat kabar Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa Israel saat ini sedang berusaha menerapkan tiga prinsipnya dalam perundingan, yaitu melakukan perundingan sembari melanjutkan perang bersamaan dengan gencatan senjata sementara, melanjutkan perundingan dari titik di mana perundingan terhenti pada putaran sebelumnya, dan ketiga, mengidentifikasi kelompok tertentu dari para tahanan untuk bernegosiasi dan membebaskan mereka.
Seperti diberitakan Sputnik, Presiden rezim Zionis Israel Isaac Herzog mengatakan pada hari Selasa bahwa Israel siap melakukan gencatan senjata di Gaza untuk pembebasan tahanan yang tersisa.
Situs web Walla, mengutip pejabat Israel dan sumber asing, melaporkan bahwa pejabat Israel telah memberi tahu mediator Qatar tentang kesiapannya untuk melakukan gencatan senjata selama seminggu.
Rezim Zionis menyatakan akan membayar mahal atas pembebasan para tahanan yang berada di tangan Hamas. Pernyataan ini tentunya mengingatkan kembali janji para pejabat Tel Aviv yang mengklaim akan membebaskan mereka sepenuhnya dan tanpa syarat melalui serangan militer. Namun ternyata, serangan militer ke Gaza tidak membuahkan hasil apapun bagi Israel.
Sementara itu, pejabat Hamas telah berulang kali menyatakan bahwa mereka tidak akan merundingkan perjanjian pertukaran tahanan sebelum gencatan senjata permanen dilakukan, dan perang berakhir.
Di sisi lain, konsultasi di Dewan Keamanan PBB yang dilakukan untuk menetapkan gencatan senjata, dan mencegah Amerika Serikat (AS) menggunakan hak vetonya, dilanjutkan dan sedang berlangsung.
Namun pemungutan suara untuk resolusi gencatan senjata di Gaza yang seharusnya dilakukan pada Selasa malam waktu setempat di Dewan Keamanan PBB itu, telah ditunda. Konsultasi luas sedang diadakan oleh berbagai negara agar AS tidak memveto resolusi mendatang.
Sebelumnya, AS, sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, memveto resolusi yang diusulkan Uni Emirat Arab, yang didasarkan pada permintaan kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, untuk menetapkan gencatan senjata di Gaza. Padahal resolusi ini memperoleh 13 suara mendukung, 1 suara menentang, yaitu AS, dan satu suara abstain dari Inggris.
Oleh karena itu, dengan adanya penolakan dari AS sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PPB, maka resolusi tersebut diveto. Veto AS ini menimbulkan reaksi global dan penolakan terhadap tindakan pemerintahan Joe Biden.
Penentangan AS terhadap resolusi gencatan senjata menyebabkan kelompok-kelompok perlawanan di kawasan mengambil tindakan terhadap Amerika dan Israel. Jika kondisi ini berlanjut, maka ruang lingkup perang akan melampaui batas negara dan bahkan mencapai dimensi regional.
Perang skala regional akan membahayakan keamanan pelayaran rezim Zionis, dan memukul perekonomian rezim ilegal ini.
Melihat potensi buruk yang akan menimpa tersebut, AS tentunya akan berpikir ulang jika ingin memveto rancangan resolusi baru untuk menetapkan gencatan senjata di Gaza. Oleh karena itu, gencatan senjata ini kemungkinannya akan terwujud.