Purna Warta – Pada tanggal 25 Januari, di akhir pertemuan “Proses Astana” di Kazakhstan, Alexander Lavrentyev, Utusan Khusus Presiden Rusia di Suriah mengumumkan bahwa negara-negara yang berpartisipasi dalam pertemuan ini (Rusia, Iran dan Turki) sepakat menilai kehadiran AS di Suriah sebagai faktor ketidakstabilan.
Perkembangan lapangan terkait Suriah dan perang melawan terorisme telah diumumkan sebagai fokus pertemuan Proses Astana ke-21.
Menurut Lavrentyev, Kehadiran ilegal Amerika dan upayanya untuk menciptakan kelompok separatis di utara dan selatan Suriah adalah penyebab utama ketidakstabilan di negara ini, dan pihak berwenang Amerika menggunakan militan ISIS untuk mengacaukan situasi di Suriah.
Penekanan Rusia, bersama negara-negara anggota Proses Astana lainnya, yakni Iran dan Turki, terhadap kehadiran Amerika Serikat di Suriah sebagai faktor ketidakstabilan, menunjukkan adanya konsensus pendapat antara berbagai pihak yang terlibat dalam isu Suriah mengenai peran destruktif Amerika Serikat di negara yang dilanda perang ini.
Amerika Serikat terus melanjutkan kehadiran militer ilegalnya di Suriah selama bertahun-tahun, dan kini Amerika menekankan kelanjutan masalah ini. Namun ketegangan baru-baru ini di kawasan ini, termasuk perang di Gaza dan lebih dari 150 serangan oleh kelompok perlawanan di Irak dan Suriah terhadap pangkalan dan wilayah penempatan militer Amerika di kedua negara tersebut, telah memperumit situasi bagi Amerika.
Media Politico Amerika melaporkan, Mengutip tiga pejabat senior pemerintah Amerika, bahwa negosiasi sedang dilakukan mengenai penarikan pasukan Amerika dari Suriah. Para pejabat AS telah menyusun penarikan pasukan AS sebagai bagian dari perencanaan rutin mengenai di mana pasukan AS paling berguna di wilayah tersebut dan berapa lama misi militer harus dilanjutkan. Namun, pemerintahan Biden telah menolak, setidaknya secara lahiriah, penarikan pasukan Amerika dari Suriah.
Dalam beberapa tahun terakhir, pasukan Amerika hadir di Suriah dalam bentuk koalisi internasional melawan ISIS dengan dalih memerangi kelompok teroris ini, tapi dalam praktiknya mereka tidak melakukan apa pun selain membunuh warga sipil dan mencuri minyak Suriah.
Tindakan kriminal Amerika di Suriah dalam satu dekade terakhir pada dasarnya merupakan tindakan yang telah diperhitungkan dan ditargetkan.
Pada masa kepemimpinan Barack Obama sejak tahun 2011, Amerika Serikat mendukung kelompok teroris di Suriah dengan tujuan menggulingkan pemerintahan sah Bashar Al-Assad dan melemahkan Poros Perlawanan.
Tahap selanjutnya, pemerintahan Obama memulai operasi udara dan darat di Suriah pada tahun 2014 dengan dalih memerangi kelompok teroris ISIS, yang sebenarnya mereka adalah pendiri dan pendukung utamanya, serta mengerahkan pasukan Amerika di negara tersebut.
Pada tanggal 25 Januari, di akhir pertemuan “Proses Astana” di Kazakhstan, Alexander Lavrentyev, Utusan Khusus Presiden Rusia di Suriah mengumumkan bahwa negara-negara yang berpartisipasi dalam pertemuan ini (Rusia, Iran dan Turki) sepakat menilai kehadiran AS di Suriah sebagai faktor ketidakstabilan. Perkembangan lapangan terkait Suriah dan perang melawan terorisme telah diumumkan sebagai fokus pertemuan Proses Astana ke-21 .
Kemudian, mantan Presiden AS Donald Trump, sembari mempertahankan kehadiran militer AS secara ilegal di Suriah dengan dalih memerangi ISIS, justru menduduki sebagian wilayah Suriah dan menjarah minyak negara tersebut.
Pasukan Amerika telah hadir di wilayah timur Suriah, tempat sumur dan fasilitas minyak dan gas negara ini berada, dan mereka telah menyandera minyak Suriah lalu membawanya keluar melalui wilayah Turki.
Bahkan saat ini, pemerintahan Biden terus melanjutkan pendudukan ilegal di sebagian wilayah Suriah, mengabaikan prinsip dan standar internasional seperti hak kedaulatan dan integritas wilayah Suriah, serta tanpa izin Dewan Keamanan PBB.
Biden mengikuti kebijakan tirani yang sama seperti Trump terhadap Poros Perlawanan dan Suriah, dan dari waktu ke waktu, ia melakukan serangan udara dan rudal terhadap posisi kekuatan Perlawanan.
Moskow percaya bahwa Washington tidak hanya terus menghalangi penyelesaian politik krisis Suriah, tetapi juga menggunakan kelompok teroris, terutama ISIS, sebagai alat dan menghasut mereka untuk melawan pemerintah sah Suriah.