[KARIKATUR] – Cara Kepemimpinan Trump Menurut Purkon Hidayat

Oleh Purkon Hidayat
Ketika Donald Trump menulis The Art of the Deal bersama Tony Schwartz  pada 1987, tampaknya ia ingin dikenang sebagai sosok yang mampu menegosiasikan apa saja, dari bisnis properti hingga politik global. Di kepala Trump, kepemimpinan adalah soal insting dan transaksi. Namun, begitu ia memasuki Gedung Putih tiga dekade kemudian, seni bernegosiasi itu berubah menjadi seni mengguncang. Diplomasi digantikan dengan tekanan, dan kesepakatan diubah menjadi tontonan. Dari sinilah lahir The Art of Shock: politik yang menjual kekacauan dengan mengatasnamakan kepemimpinan kuat.

Trump tampil sebagai presiden yang menolak pola lama. Ia menggugat multilateralisme, menyerang lembaga internasional, dan menjanjikan kebijakan luar negeri “America First”. Tetapi di balik retorika itu, hampir semua inisiatif besarnya tersendat, terbentur realitas politik, dan memunculkan resistensi yang meluas. Kebijakan Trump memperlihatkan pola khas: mulai dengan gegap gempita, berakhir tanpa arah yang jelas.

Salah satu contohnya adalah perang dagang dengan Cina. Diumumkan pada 2018 sebagai strategi untuk menekan Beijing dan mengembalikan industri Amerika, kebijakan ini justru menimbulkan dampak sebaliknya. Data dari US Bureau of Economic Analysis menunjukkan defisit perdagangan Amerika dengan Cina tetap tinggi, bahkan mencapai 382 miliar dolar pada 2020. Harga produk impor naik, rantai pasok terganggu, dan petani Amerika kehilangan pasar ekspor. Strategi yang dimaksudkan untuk menyeimbangkan hubungan justru memperburuk posisi ekonomi domestik.

Hal serupa terjadi dalam kebijakan Timur Tengah. Ketika Trump menarik Amerika keluar dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2018, ia menyebut perjanjian nuklir Iran sebagai “kesepakatan buruk”. Sanksi maksimum kembali diberlakukan dengan harapan Iran akan menyerah. Namun Tehran justru memperkaya uranium hingga tingkat tertinggi sejak 2015. Alih-alih melemahkan, kebijakan itu memperkuat posisi Iran di kawasan dan memperlemah kredibilitas diplomasi Amerika di mata sekutu Eropa, yang memilih tetap bertahan dalam perjanjian tersebut.

Trump juga mengklaim keberhasilan besar lewat Abraham Accords, kesepakatan normalisasi Israel dengan sejumlah negara Arab. Meski tampak monumental di atas kertas, perjanjian itu lebih bersifat pragmatis ekonomi dan keamanan, bukan solusi politik yang menyentuh akar persoalan Palestina. Konflik Gaza yang kembali memanas pada 2024 membuktikan bahwa kesepakatan itu gagal membangun perdamaian jangka panjang. Ia menjadi simbol perdamaian semu—lebih banyak menenangkan investor daripada orang yang berperang.

Kegagalan demi kegagalan itu menyingkap kelemahan mendasar dalam cara Trump memandang dunia. Ia melihat hubungan internasional sebagai transaksi jangka pendek, bukan tata kelola jangka panjang. Diplomasi dalam pengertian klasik membutuhkan konsistensi, kredibilitas, dan rasa saling percaya. Tiga hal itu tidak tumbuh dari ancaman atau cuitan yang mengundang kehebohan. Dalam banyak hal, Trump memimpin seperti mengelola acara televisi—setiap kebijakan harus dramatis, setiap keputusan harus menciptakan efek kejut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *