Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa negara Eropa telah membuat gestur simbolis untuk mengakui Palestina. Namun pengakuan ini seringkali tanpa konsekuensi praktis.
Negara-negara yang secara bersamaan berdagang senjata dengan Israel, membeli perangkat lunak mata-mata, dan memberikan dukungan diplomatik di forum internasional tidak dapat mengklaim memiliki solidaritas sejati dengan Palestina.
Sebaliknya, BRICS menawarkan sesuatu yang lebih, dukungan struktural. Dari investasi hingga bank pembangunan dan solidaritas politik. Inilah perbedaan antara kata-kata manis dan tindakan nyata. Keanggotaan Palestina di BRICS menandai divergensi strategis dari kemunafikan Eropa.
Palestina tidak lagi mencari pengakuan simbolis, melainkan partisipasi sejati dalam membentuk ekonomi politik dunia.
Kehadiran Palestina di BRICS memberi negara ini legitimasi moral baru. Selama bertahun-tahun, BRICS telah dipandang oleh Barat hanya sebagai klub ekonomi. Namun dengan bergabungnya Palestina, BRICS juga akan dipandang sebagai gerakan anti-kolonial yang berorientasi keadilan. Ini berarti bahwa multipolaritas bukan hanya tentang pembagian kekuasaan, tetapi juga tentang redistribusi martabat manusia.
Di jantung transformasi ini, konsekuensi dari multipolaritas sejati mulai tampak. Sebuah dunia di mana pembangunan tidak bergantung pada pinjaman bersyarat, perdagangan bukan tentang ketergantungan, dan kedaulatan tidak diremukkan oleh sanksi.
Palestina, yang selama bertahun-tahun sendirian dan diam dalam negosiasi global, kini berdiri berdampingan dengan negara-negara seperti Cina, India, Brasil, Iran, dan Afrika Selatan. Ini berarti Palestina tidak bisa lagi diabaikan. Israel dan sekutunya akan dipaksa untuk menghadapi Palestina yang memiliki dukungan global. Pergeseran ini akan mengubah kalkulasi diplomatik.