Abdel Bari Atwan, Editor surat kabar Rai Al Youm, dalam sebuah artikel, menganalisa strategi negara-negara Arab, terkait perundingan gencatan senjata Gaza dengan Israel, dan mengkritik keras peran mediator negara-negara Arab seperti Mesir dan Qatar.
Abdel Bari Atwan, mengatakan negara-negara Arab, berunding tanpa syarat apa pun bahkan setelah Perdana Menteri Rezim Israel, Benjamin Netanyahu, dengan sengaja melakukan genosida di wilayah Al Daraj, Gaza.
Pada saat yang sama, Atwan, memuji keputusan Yahya Sinwar, Kepala Biro Politik Hamas, untuk memboikot perundingan Doha. Ia menyebut keputusan Sinwar, menunjukkan martabat dan keberanian Hamas, di hadapan tekanan-tekanan asing.
Selain itu, Editor surat kabar Rai Al Youm, menilai keputusan Hamas, itu telah membuktikan kekalahan ancaman-ancaman Amerika Serikat, dan tekanan-tekanan hebat para mediator Arab, dalam 10 bulan terakhir sejak perang terhadap Jalur Gaza.
Ia menambahkan, “Perundingan yang dipimpin William Burns, Direktur Dinas Intelijen AS, CIA, digelar tergesa-gesa, dan tujuanya menghentikan atau menangguhkan respons poros perlawanan atas teror Syahid Ismail Haniyeh, mantan Kepala Biro Politik Hamas, di Tehran, dan Fuad Shukr, komandan senior Hizbullah, di Dahiya, selatan Beirut, tapi tidak berhasil, karena Netanyahu, sengaja melakukan teror itu untuk menyulut perang kawasan, dan menyeret AS dan sekutu-sekutu Baratnya.”
Abdel Bari Atwan melanjutkan, “Bahkan Presiden AS Joe Biden, tidak ingin menghentikan perang, dan tidak berani menekan Netanyahu, dan kabinetnya, dan dengan mata terbuka, di puncak kebisuan, mematuhi dikte, dan tuntutan-tuntutannya. Kasus terakhir adalah pengiriman peralatan militer canggih dengan harga 20 miliar dolar termasuk jet-jet tempur F-35, dan bom-bom berkuatan destruktif tinggi penghancur bungker yang mampu menghancurkan benteng-benteng di bawah pegunungan.”
Menurut Atwan, Yahya Sinwar, yang mengendalikan pertempuran militer dan politik dari salah satu terowongan Gaza, membuktikan bahwa ia tidak takut pada AS dan Israel, dan mengabaikan para pejabat tinggi Arab yang ketakutan dan menyerah, di saat yang sama menghadapi Zionis dengan bahasa kekerasan dan pertempuran militer.
“Netanyahu mengira dengan melakukan pembunuhan di sekolah Al Daraj, Gaza, dan meneror Syahid Ismail Haniyeh, bisa menakut-nakuti perlawanan, dan memaksakan syarat-syarat termasuk mempertahankan pasukannya di poros Salahuddin (Philadelphia) di perbatasan Mesir dan Palestina, dan hak menyerang kembali Jalur Gaza, kapan pun mereka mau, serta membangun pos pemeriksaan di poros Netzarim, di pusat Jalur Gaza, untuk mencegah kembalinya para pejuang ke utara Gaza, akan tetapi hasilnya benar-benar bertolak belakang, dan yang paling jelas adalah tidak adanya partisipasi Hamas, di putaran baru perundingan gencatan senajta, dan pertukaran tawanan di Doha, serta pemaksaan untuk melaksanakan tuntutan dan kesepakatan-kesepakatan sebelumnya dalam masalah ini.
10 bulan perang tidak menyebabkan para pemimpin perlawanan Palestina, di Gaza, mundur, sementara perjanjian-perjanjian normalisasi Camp David dan Oslo, ditandatangani hanya dalam beberapa hari atau bahkan beberapa jam saja,” paparnya.
Atwan percaya kehadiran para mediator Arab, dalam perundingan, dan menyerahnya para pemimpin dinas intelijen Arab, kepada tuntutan AS, layaknya insentif bagi Washington, untuk melanjutkan dukungan terhadap Israel, dan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya, serta membanggakan diri di hadapan negara-negara Arab.
Analis surat kabar Rai Al Youm, meminta para pejabat tinggi Arab, untuk berbicara soal prestasi, kebijaksanaan, dan rasionalitas, dan berhenti melayani Netanyahu dan jenderal-jenderalnya, serta memenuhi kebutuhan makanan Israel, lewat perbatasan daratnya dengan Palestina, terutama karena tidak bisa mengirim satu bungkus tepung, satu botol air atau satu karton obat untuk penduduk Gaza.
Abdel Bari Atwan, menilai pengiriman empat utusan AS ke kawasan termasuk William Burns, Direktur CIA, Amos Hochstein, Utusan AS untuk Asia Barat, dan Brett McGurk, Koordinator urusan Asia Barat dan Afrika Utara, di Gedung Putih, sebagai bentuk ketakutan dan kekhawatiran AS atas situasi kawasan, dan keinginan Washington, untuk melanjutkan agresi serta pembunuhan Israel, terhadap rakyat Gaza.
“Amerika Serikat, memperlakukan para pejabat tinggi Arab, seperti orang-orang tolol yang dengan mudah dapat ditipu,” kata Atwan.
Di sisi lain, ia percaya ancaman-ancaman AS, dengan mendatangkan kapal-kapal perang, dan kapal selam nuklir, tidak bisa menakut-nakuti orang Yaman.
Terkait Kepala Biro Politik Hamas yang baru, Atwan mengatakan, “Sinwar pejuang, berhak untuk mengendalikan situasi dengan tenang dan yakin dari pusat bawah tanahnya di Gaza, dengan bantuan wakil-wakilnya seperti Mohammed Deif, dan Marwan Issa.
Pejuang ini menurut kami adalah satu-satunya orang yang mampu memimpin bangsa Palestina, bankan seluruh Dunia Arab.”