Teladan Menggunakan waktu dalam Hadits (Part 5)

PurnaWarta — Di dalam hadits terdapat pembahasan mengenai waktu dan itu termasuk pembahasan yang penting. Menurut hadits, setiap orang yang berakal harus membagi tiga waktunya untuk tiga hal yaitu waktu ibadah, waktu memenuhi kebutuhan hidup, dan waktu untuk menikmati hal-hal halal yang membuat bahagia. Kemudian ada tambahan dalam waktu ibadah-ibadah wajib yaitu ibadah-ibadah mustahab atau sunah, waktu berdoa, waktu untuk bersilaturahmi, dan waktu untuk bertafakur.

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ: إِنَّ فِي‏ حِكْمَةِ آلِ‏ دَاوُدَ يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ الْعَاقِلِ أَنْ لَا يُرَى ظَاعِناً إِلَّا فِي ثَلَاثٍ مَرَمَّةٍ لِمَعَاشٍ أَوْ تَزَوُّدٍ لِمَعَادٍ أَوْ لَذَّةٍ فِي غَيْرِ ذَاتِ مُحَرَّمٍ وَ يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ الْعَاقِلِ أَنْ يَكُونَ لَهُ سَاعَةٌ يُفْضِي بِهَا إِلَى عَمَلِهِ فِيمَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ سَاعَةٌ يُلَاقِي إِخْوَانَهُ الَّذِينَ يُفَاوِضُهُمْ وَ يُفَاوِضُونَهُ فِي أَمْرِ آخِرَتِهِ وَ سَاعَةٌ يُخَلِّي بَيْنَ نَفْسِهِ وَ لَذَّاتِهَا فِي غَيْرِ مُحَرَّمٍ فَإِنَّهَا عَوْنٌ عَلَى تِلْكَ السَّاعَتَيْنِ.

 

Selain itu juga kita harus menyediakan waktu untuk bersilatu rahmi pada saudara seiman kita. Imam Shadiq as berkata bahwa di dalam Hikmah Aali Daud tertulis bahwa seorang yang berakal tidak akan melakukan safar kecuali untuk tiga hal. Mendapatkan bekal untuk akhirat, bekerja untuk mendapatkan rezeki halal guna memenuhi kebutuhan hidup, dan untuk menikmati kenikmatan-kenikmatan halal.

Untuk muslim yang berakal seyogianya mereka meluangkan waktu untuk muhasabah amal antara dirinya dengan Allah swt dan juga meluangkan waktu untuk bertemu dengan saudara seimannya yang saling membantu untuk perkara akhirat, dan meluangkan waktu untuk dirinya dan kenikmatan-kenikmatan halal. Itu semua karena meluangkan waktu antara dirinya dengan kenikmatan-kenikmatan halal akan membantunya dalam untuk menjalankan 2 bagian waktu yang lain (ibadah dan bekerja).

Feiz Kasyani dalam menjelaskan hadits di atas berkata, (ظاعن) bermakan safar atau melakukan perjalanan. (مفاوضه) bermakna berbincang-bincang, juga belajar ilmu dari teman seperbincangan.

Dari riwayat di atas ada dua objek pembahasan yang berbeda yaitu tujuan safar dan juga pembagian waktu. Imam Shadiq as dalam riwayat pertama dengan menukil perkataan yang ada dalam Hikmah Aali Daud hendak menjelaskan untuk mempunyai tujuan atau minimal tidak begitu saja melakukan perjalanan yang mana setiap orang yang berakal minimal mereka mempunyai salah satu tujuan dari 3 tujuan ketika melakukan safar.

Beliau di riwayat yang keuda hendak menjelaskan mengenai pembahian waktu dalam kehidupan seorang muslim. Muslim seharusnya mempunyai 3 bagian dalam waktu yang ia punya yaitu berkhalwat antara dirinya dan Tuhan, bersilaturahmi dengan saudara seiman dengan tujuan untuk saling bertukar pikiran mengenai perkara agama, dan menikmati kenikmatan-kenikmatan halal.

Pembahasan kita berkaitan dengan bagian riwayat kedua. Meskipun demikian kita bisa menggunakan bagian riwayat pertama sebagai penguat pembahasan kita.

Dalam riwayat yang lain, waktu insan dibagi menjadi 4 bagian akan tetapi bagian-bagian ini sebenarnya terdapat perbedaan.

Abu Dzar Al Ghifari menukil sebuah riwayat dari Rasulullah saw, ia berkata

عَلَى الْعَاقِلِ مَا لَمْ يَكُنْ مَغْلُوباً عَلَى عَقْلِهِ أَنْ يَكُونَ‏ لَهُ‏ سَاعَاتٌ‏: سَاعَةٌ يُنَاجِي فِيهَا رَبَّهُ، وَ سَاعَةٌ يَتَفَكَّرُ فِي صُنْعِ اللَّهِ (تَعَالَى)، وَ سَاعَةٌ يُحَاسِبُ فِيهَا نَفْسَهِ فِيمَا قَدَّمَ وَ أَخَّرَ، وَ سَاعَةٌ يَخْلُو فِيهَا بِحَاجَتِهِ مِنَ الْحَلَالِ فِي المَطْعَمِ وَ الْمَشْرَبِ، وَ عَلَى الْعَاقِلِ أَنْ لَا يَكُونَ ظَاعِناً إِلَّا فِي ثَلَاثٍ: تَزَوُّدٍ لِمَعَادٍ، أَوْ مَرَمَّةٍ لِمَعَاشٍ، أَوْ لَذَّةٍ فِي غَيْرِ مُحَرَّم‏

 

“Seorang yang berakal harus memperhatikan waktu-waktu dalam hidupnya: waktu untuk bermunajat kepada Allah swt, waktu untuk muhasabah diri, waktu untuk bertafakur dalam penciptaan Allah swt, dan waktu untuk memenuhi kebutuhan materi dan raga dirinya seperti makanan dan minuman. Dan orang yang berakal tidak akan melakukan perjalanan kecuali untuk tiga perkara; mendapatkan bekal untuk akhirat, memperbaiki kehidupan, merasakan kenikmatan-kenikmatan yang halal.” (Ihsaai, Ghawaly al-Aali, 93/1:1405)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *