Purna Warta – Dalam sepanjang sejarah, perempuan sering direndahkan. Kita bisa melihat perlakuan tidak manusiawi dalam budaya-budaya primitif di Afrika, Australia, dan Amerika. Menurut keyakinan mereka, perempuan semata diciptakan untuk pria. Ketika seorang perempuan belum menikah, sang ayah yang memilikinya. Setelah menikah, sang suamilah yang menguasainya. Bahkan, pria dapat menjualnya, memberikannya, atau menyewakannya pada beberapa pria lain untuk tujuan apapun.
Dalam masyarakat di berbagai peradaban kuno, seperti Cina, India, atau Persia, perempuan tidak memiliki kebebasan dan kemerdekaan. [Sejarah Peradaban, Will Durant]
Kondisi perempuan di suku-suku Arab jahiliah pun tidaklah lebih baik. Mereka tidak memiliki kemerdekaan, kehormatan, dan harga diri. Seorang pria dapat menikahi perempuan sebanyak yang diinginkannya. Bahkan anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup; sebuah adat kejam yang dipelopori Bani Tamim. Mereka akan murka jika dikabari bahwa bayi yang lahir ialah anak perempuan [QS an-Nahl;58]
Di dunia Barat, situasinya pun tak berbeda. Berdasarkan ajaran Injil, semua perempuan dipandang telah mewarisi dosa maupun kutukan dari Hawa. Dosa Hawa mengakibatkan semua manusia terlahir dalam keadaan berdosa. Untuk menyucikan manusia dari ‘dosa asal’ itu, Tuhan harus mengorbankan Yesus, yang dianggap sebagai Anak Tuhan, di tiang salib. Pendapat ini hasil dari interpretasi Abad Pertengahan tentang penciptaan Adam dan Hawa sebagaimana yang diceritakan dalan Kitab Perjanjian 2:4-3:24
Para filsuf Yunani Kuno juga menyumbangkan pemikiran mengenai rendahnya derajat perempuan. Bagi Plato, perempuan tercipta karena degenerasi manusia. “Hanya pria yang tercipta langsung oleh tangan Tuhan dan diberi-Nya jiwa. Mereka yang hidup lurus akan kembali ke bintang-bintang. Sementara yang hidup menyimpang dengan suatu alasan dapat dikatakan telah berubah menjadi perempuan pada generasi kedua.” Sementara Aristoteles memandang perempuan sebagai manusia “yang tidak sempurna”. Perempuan adalah “pria yang tidak produktif”.
Pandangan Islam terhadap Perempuan
Islam datang dengan membawa cahaya yang menerangi kehidupan manusia. Dengan tegas, Islam memosisikan perempuan di tempat yang mulia, sejajar dengan kaum lelaki. Islam meniadakan semua jenis diskriminasi berdasarkan gender. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki ataupun perempuan.”(QS. Ali Imran:195)
Allah berfirman, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…”(QS. An-Nisa: 1)
Al-Quran berbicara tentang kemanusiaan dalam cara yang sedemikian rupa guna mengingatkan bahwa kita diciptakan dari jenis yang sama, yang dengan bahasa Al-Quran disebut “diri yang satu”. Dalam ayat lain disebutkan bahwa yang termulia di antara manusia adalah mereka yang paling bertakwa kepada Allah.
Kedudukan dan kemuliaan perempuan tidak hanya diungkapkan secara teoritis dalam Al Quran, melainkan juga secara praktis. Salah satu contohnya adalah dijadikannya sa’i sebagai salah satu ritual wajib dalam haji. Haji seseorang dianggap tidak sah jika tidak melakukan manasik sa’i. Sa’i adalah pengabadian peristiwa ketika Hajar berlari-lari di antara Shafa dan Marwah untuk mencari air bagi putranya, Ismail as. Allah telah memuliakan Hajar dengan mengabadikan perilakunya itu dalam kitab suci-Nya, dan wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang berhaji. Hajar seorang perempuan, dan Hajar pun hanya seorang budak. Setiap tahun, kaum muslimin dari seluruh penjuru dunia melakukan amalan sa’i. Namun, apakah mereka memahami bahwa spirit amalan sa’i adalah memuliakan perempuan?
Bahkan, Al-Quran menyatakan bahwa sa’i di antara Shafa dan Marwah merupakan salah satu ‘syi’ar-syiar Allah’ (min sya’aairillah), sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 158. Sementara itu, dalam surat al-Hajj ayat 32, Allah berfirman bahwa pengagungan syi’ar-syi’ar Allah itu muncul dari ‘ketakwaan hati’. Dengan demikian, bila kita mengaitkan kedua ayat ini, kita bisa menyimpulkan bahwa ketakwaan hati akan memunculkan sikap pemuliaan terhadap perempuan. Dan karena itu, nilai ketakwaan seseorang masih perlu dipertanyakan bila dia masih merendahkan perempuan.
Sayangnya, hari ini kita menyaksikan banyak kaum muslim yang tidak menyadari betapa Islam telah memuliakan perempuan. Mungkin mereka masih terkungkung oleh tradisi yang memandang rendah perempuan, atau terpengaruhi oleh pemikiran-pemikiran di luar Islam yang menganggap perempuan sebagai ‘makhluk kelas dua’ yang tak perlu dimuliakan. Salah satu contohnya adalah perilaku KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), baik kekerasan fisik maupun non-fisik (seperti ketidakadilan, atau pengabaian kewajiban oleh suami). Bahkan, sungguh menyedihkan, sebagian pelaku KDRT itu justru orang-orang yang dianggap berilmu agama. Sungguh berbeda dengan spirit Al Quran yang serasi antara teori dan praktik, para pelaku KDRT ini bisa disebut ‘hebat dalam berdalil tapi praktiknya nol’.
Terkadang, perlakuan buruk terhadap perempuan justru dilakukan atas nama agama. Berbagai ayat dan hadis disodorkan untuk menjustifikasi perilaku buruk terhadap perempuan. Padahal, selain ayat-ayat Quran yang dengan jelas menunjukkan kemuliaan perempuan, hadis-hadis Rasulullah dan Aimmah pun dengan tegas memerintahkan kaum lelaki untuk memuliakan perempuan.
Salah satu ritual haji, yaitu sa’i, adalah sebuah ritual yang mengingatkan kita semua mengenai kemuliaan perempuan. Karena itu, bertepatan dengan bulan Dzulhijjah, bulan Haji, dan bulan pengorbanan ini, marilah kita mempelajari kembali betapa mulia posisi perempuan. Kaum lelaki harus kembali mempelajari ‘memuliakan kaum perempuan’ sebagaimana yang telah dilakukan Allah terhadap Hajar, dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Begitu pula, kaum perempuan pun harus terus berusaha meningkatkan ilmu serta menjaga akhlak, kehormatan, dan harga dirinya. Harus belajar dari kehidupan Hajar, seorang budak perempuan yang telah berhasil melaksanakan tugas Allah Swt dengan baik. Seorang perempuan yang ikhlas menjalankan semua perintah Allah Swt tanpa bertanya apapun meski harus menghadapi semua kesulitan. Lihat saja, saat Nabi Ibrahim as, suaminya, meninggalkannya di padang tandus yang tak berpenghuni, dengan rasa sedih Hajar bertanya, apakah engkau akan meninggalkan kami di tempat ini? Nabi Ibrahim as diam tak menjawab. Namun saat Hajar bertanya apakah ini perintah Allah? Ibrahim as mengiyakannya maka dengan tegar dan penuh keikhlasan, Hajar menjawab jika ini perintah Allah, baiklah aku siap karena Allah pasti mengetahui yang terbaik untuk kami.
Karena itu, di antara pesan-pesan penting ibadah haji ialah bahwa kemuliaan tidak mengenal gender, bisa dicapai oleh laki-laki maupun perempuan. Bahwa Allah Swt akan memuliakan perempuan yang telah berusaha memuliakan Allah Swt di atas segalanya. Allah Swt akan memuliakannya apa pun status sosialnya, seorang budak sekalipun dan menjadikan suri tauladan bagi yang lainnya. (Euis Daryati. MA)