Purna Warta — Setiap tahun, jutaan umat Muslim dari seluruh penjuru dunia membanjiri jalanan dari Najaf ke Karbala, sebuah perjalanan spiritual yang melampaui jarak fisik semata. Perjalanan ini terjadi pada hari Arba’in, atau hari ke-40 setelah kesyahidan Imam Husain bin Ali (AS), cucu Nabi Muhammad SAW, di medan Karbala pada tahun 680 Masehi. Bagi para pecinta keluarga Nabi, ini adalah momen sakral yang tidak hanya mengingatkan akan perjuangan keadilan, tetapi juga memperkuat ikatan spiritual dengan Ahlul Bait.
Kedermawanan Orang-orang Iraq dalam Menyambut Ziarah
Di sepanjang perjalanan dari Najaf ke Karbala, dan bahkan sebelumnya, para ziarah diterima dengan kedermawanan luar biasa oleh penduduk setempat. Orang-orang Iraq, terlepas dari latar belakang sosial atau ekonomi mereka, bersatu dalam semangat untuk menyambut para ziarah dengan hangat dan kebaikan hati.
Pada hari-hari menjelang Arba’in, jalan-jalan utama diisi dengan tenda-tenda yang disediakan oleh warga setempat dan kelompok sukarelawan. Di dalam tenda-tenda ini, para ziarah tidak hanya menemukan tempat beristirahat dari perjalanan yang melelahkan, tetapi juga makanan dan minuman yang disediakan tanpa dipungut biaya. Setiap penziarah, dari yang muda hingga yang tua, diterima dengan senyum dan keramahan yang menghangatkan hati.
Tidak hanya itu, beberapa keluarga bahkan membuka rumah mereka sendiri untuk menyambut para ziarah, menawarkan tempat tidur, mandi, dan makanan kepada mereka yang datang dari jauh. Kedermawanan ini menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi penyambutan di Irak, di mana nilai-nilai keramahan dan perhatian terhadap tamu dihormati secara mendalam.
Kesimpulan
Perjalanan dari Najaf ke Karbala untuk menghormati Imam Husain (AS) pada hari Arba’in bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga perjalanan spiritual dan sosial yang mengikat umat Muslim dalam persaudaraan dan kebaikan. Kedermawanan orang-orang Iraq dalam menyambut para ziarah adalah cerminan dari nilai-nilai kemanusiaan yang universal, di mana cinta dan perhatian kepada sesama menjadi landasan utama dalam membangun komunitas yang inklusif dan berempati.