Purna Warta – Memaafkan adalah salah satu akhlak yang sangat mulia dalam Islam. Para Maksumin as bukan hanya sekedar memberikan contoh dan teladan dalam hal ini namun juga mewajibkan para pengikutnya untuk menjadikan sifat memaafkan sebagai perhiasan diri.
Memberi maaf berkaitan erat dengan kesabaran. Sabar untuk tidak melampiaskan kemarahan secara tidak wajar ketika disakiti, diejek ataupun dicemooh orang serta sabar dalam menanti orang lain mengalami proses menuju kebaikan dan kesempurnaan dirinya. Dalam pandangan Ahlul Bait, kesabaran mengambil porsi banyak dalam agama. Imam Ja’far Shadiq as pernah bersabda, “Wahai umat manusia, tetaplah berada dalam kesabaran. Sebab bagi yang tidak memiliki rasa sabar, sesungguhnya tidak memiliki agama.” (Bihar al Anwar, jilid 48 hal. 92).
Para ulama akhlak membagi sabar menjadi tiga bagian. Sabar dalam menghadapi kesulitan-kesulitan, sabar dalam melaksanakan ketaatan dan sabar dalam menjauhi kemaksiatan.
Sabar dalam menghadapi kesulitan adalah sebuah pembahasan yang sangat urgen dalam Islam. Al-Qur’an memberi wasiat kepada kita untuk bersabar dalam menghadapi kesulitan. Pada akhir surah Al-Furqan, ketika berbicara mengenai sifat-sifat orang mukmin, Allah SWT berfirman, “Dan hamba-hamba Tuhan itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (Qs. Al-Furqan: 63). Seorang mukmin yang sejati adalah yang senantiasa memberikan keselamatan bagi orang lain. Ia tidak peduli dengan sikap jahil orang lain atas dirinya.
Sungguh sangat mengagumkan, kata-kata kasar justru dibalas dengan kata-kata yang lemah lembut. Kalimat penuh permusuhan justru dibalas dengan kalimat yang mengandung keselamatan dan pencerahan. Sifat sabar dan pemaaf inilah yang membedakan antara orang beriman dengan yang tidak beriman. Sebab jika kata-kata kasar dibalas dengan kata-kata sejenis tentu seorang mukmin tidak akan tampak keistimewaannya diatas yang lain.
Pada permulaan surah Muzammil juga mengisyaratkan akan hal ini. Allah SWT berfirman, “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” Melalui ayat ini, Allah SWT menawarkan metode pendidikan yang sangat brilian. Bagi para pendidik atau orangtua yang mendapat amanah untuk mendidik generasi yang sedang bertumbuh firman Allah SWT tersebut bisa dijadikan inspirasi. Dalam menghadapi manusia yang sedang dalam menjalani proses kematangan berpikirnya, kita harus menghadapinya dengan sikap penuh kesabaran, bukan dengan kemarahan dan sikap masam. Dan jika mereka tidak juga menunjukkan adanya perubahan sikap, maka kita bisa berpaling dan menjauh namun tetap dengan cara yang baik. Yang dengan itu bisa diharapkan mereka akan menyadari sikapnya dan menjadi terdidik.
Memaafkan atau bersabar atas kesalahan orang lain tidak identik dengan sikap toleran atau membenarkan kesalahan tersebut. Untuk kesalahan-kesalahan tertentu yang mengharuskan terjadinya hukuman, memaafkan bukan berarti menghapus hukuman atau dengan minta maaf serta merta akan menghilangkan efek dari kesalahan.
Islam bukanlah agama yang hanya mengurusi masalah pribadi atau hanya sekedar berkaitan dengan hubungan makhluk dengan Khalik semata namun juga merupakan tata aturan yang memberikan jaminan keselamatan dan ketentraman dalam kehidupan sosial. Nabi Muhammad Saw dan para Aimmah as, ketika berkaitan dengan kehidupan pribadinya ia lebih sering memaafkan dan bersikap sabar namun jika berkaitan dengan kepentingan sosial, maka segala upaya dikerahkan untuk menghentikan kejahatan dan kezaliman.
Kisah yang paling ma’ruf mengenai Nabi Saw adalah betapa menakjubkannya akhlak Nabi saat beliau membesuk salah seorang musuhnya yang terbaring sakit padahal sebelumnya sering melemparinya dengan kotoran unta dan meludahinya. Ataupun Imam Ali as yang membatalkan mengayunkan pedang di leher musuhnya yang sudah terjatuh, hanya karena musuh tersebut sempat meludahi wajahnya. Imam Ali as khawatir niatnya membunuh karena kemarahan atas ludah musuhnya itu, bukan karena perintah Allah SWT.
Pribadi-pribadi yang sedemikian lembut dan penyayang tersebut, itu jugalah yang gagah berani di medan perang. Wajah yang senantiasa ceria dan menyunggingkan senyum penuh kebaikan dan kelembutan tersebut adalah wajah yang juga dingin dan kaku ketika melihat para pengkhianat di eksekusi.
Sabar Tidaklah Identik dengan Kelemahan
Kesabaran sebagaimana asal katanya bermakna ketegaran hati, keberanian dan jauh dari sikap yang melemahkan. Dalam kitab tafsir Majmu Al Bayan, Ayatullah Tabrisi mengartikan sabar sebagai kemampuan diri mengendalikan hawa nafsu. Jadi sama sekali tidak benar jika sabar dan sikap pemaaf diindentikan dengan kelemahan diri. Sebagaimana defenisinya, sabar justru berkebalikan dari itu. Menghinakan diri, tetap konsisten dengan keadaan yang merusak diri, rela untuk dizalimi dan pasrah pada keadaan yang menyakitkan sesungguhnya bukanlah termasuk kesabaran. Dalam surah Al Anfal ayat 65, Allah SWT berfirman, “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” Oleh karena itu sabar bukanlah pasrah dengan keadaan yang merusak dan takluk di bawah musuh, namun sabar justru adalah sikap melawan pada musuh, baik musuh lahir maupun musuh dari dalam diri.
Kesabaran justru merupakan kekuatan terbesar kaum muslimin. Itu sebabnya Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Baqarah: 153).
Jadi sesungguhnya tidaklah kontradiksi antara sabar dan sikap pemaaf Rasulullah Saw dengan kedudukan beliau sebagai panglima perang dalam menghadapi musuh-musuhnya. Perang yang dikobarkan Rasulullah Saw dan para Imam Ahlul Bait as adalah perang untuk menghentikan kezaliman, perang untuk membebaskan kaum yang tertindas dan perang untuk menebarkan keadilan. Lihat saja, bagaimana sikap Rasulullah Saw ketika Fathul Makah (pembebasan kota Makah).
Ketika para musuh yang telah takluk lari berkeliaran mencari perlindungan karena menyangka pasukan Nabi akan menghabisi nyawa mereka semua sebagai aksi balas dendam atas makar dan kejahatan mereka selama ini, Rasulullah Saw justru memberikan ampunan dan maaf serta memberikan jaminan keselamatan atas mereka semua. Akibatnya? Kaum kafir Qurays yang sebelumnya begitu memendam rasa permusuhan kepada Nabi dengan penuh kebencian berbondong-bondong mendatangi Nabi dan menyatakan diri masuk Islam dan mematrikan hatinya pada keimanan kepada Allah SWT karena terpukau dengan kelembutan dan sikap pemaaf Rasulullah Saw.
Sikap Nabi Saw tersebut sejalan dengan firman Allah SWT, “Katakanlah: Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Az-Zumar: 53). Kepada mereka yang meskipun sudah keterlaluan dalam berbuat dosa, Allah swt tetap memanggil dengan kata-kata yang begitu lembut dan mesra, “Wahai hamba-hambaKu…”.
Memaafkan kesalahan orang lain adalah diantara keutamaan akhlak yang sangat ditekankan oleh Al-Quran dan ajaran Ahlul Bait as. Yang berhak menerima syafaat adalah mereka yang telah mampu menghiasi diri mereka dengan akhlak Ahlul Bait as di dunia ini dan semampu mungkin telah menyerupakan diri dengan mereka.
Salah satu kriteria dan keutamaan akhlak yang terpancar secara jelas dari pribadi Ahlul Bait as adalah sifat memaafkan orang lain. Metode yang selalu digunakan oleh Rasulullah Saw dan para maksumin as dalam menghadapi kesalahan dan bahkan hinaan orang lain adalah perlakuan yang sangat mulia. Mereka memaafkannya dan malah berbuat kebajikan kepadanya. Hal ini menyebabkan orang itu merasa malu atas perbuatan yang telah ia lakukan.
Dalam surah An-Nahl ayat 126, Allah SWT berfirman, “Dan jika kamu memberikan balasan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” Begitupun pada surah Asy-Syura ayat 40, “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.”
Secara sekilas pesan kedua ayat tersebut memperbolehkan kita membalas sebuah perbuatan buruk, dengan perbuatan buruk yang serupa pula. Namun makna akhlaki ayat tersebut menegaskan, jika seseorang membalas kesalahan orang lain dengan kesalahan yang serupa, maka ia telah berbuat sebuah kesalahan juga. Karena itu Allah SWT memberikan alternatif yang lebih baik, yakni lebih mengedepankan sikap sabar.
Ayatullah Husain Mazahiri, salah seorang ulama besar kontemporer Iran yang sering membahas persoalan akhlak dalam ceramah-ceramah dan kitab-kitabnya menguraikan tiga tingkatan sifat pemaaf dalam Al-Qur’an. Pada tingkatan pertama, seseorang memperhitungkan keburukan dan kesalahan yang telah dilakukan oleh orang lain. Namun ia rela memberi pemaafan demi keridhaan Allah SWT.
Pada tingkat kedua, seseorang dengan begitu saja memaafkan kesalahan orang lain tanpa pernah memperhitungkan dan mengungkit-ungkitnya. Dalam terminologi Qurani, sifat memaafkan seperti ini disebut shafh.
Dan pada tingkatan yang lebih tinggi, bukan hanya tidak memperhitungkan kesalahan orang lain, tidak pula sekedar memaafkan bahkan membalasnya dengan kebajikan. Dalam terminologi Qurani, sifat memaafkan ini disebut ghufran.
Sikap ghufran dalam menghadapi kesalahan orang lain adalah sebuah tindakan yang sangat sulit. Akan tetapi, Al-Quran senantiasa mengajak seluruh kaum mukminin di samping memaafkan dan shafh, juga harus berbuat kebajikan kepada mereka yang telah berbuat kesalahan. Hal ini sejalan dengan sebuah pepatah bijak yang mengatakan, “Berakhlaklah sebagaimana pohon mangga, dilempari orang yang lewat, namun ia membalas dengan memberi buah yang ranum.”
Semoga kita semua termasuk hamba-hamba yang dikarunia hati yang penyayang, lembut dan senantiasa lebih memilih memaafkan daripada membenci dan memusuhi.
Wallahu ‘alam bishshawwab