Purna Warta – Ketika Sayyidina Ali ditunjuk sebagai Khalifah setelah terbunuhnya Utsman, ia berusaha untuk menegakkan kembali keadilan Islam. Ia mendapat perlawanan yang tidak terhenti dari para penguasa Bani Umayyah. Para pengikutnya mengkhianatinya. Seorang demi seorang dari sahabatnya yang setia dipanggil Tuhan. Sementara itu, para tiran menggunakan kekayaan dan kekerasan untuk menguasai rakyat banyak. Dan menjelang akhir Ramadhan 40 H, di dalam relung mihrabnya, Ali dibunuh ketika shalat subuh.
Hasan bin Ali, anak lelaki pertama Ali bin Abi Thalib, diangkat menjadi Khalifah. Ia melihat ketakutan dan kezaliman telah menyelimuti Madinah, Kufah, Basrah dan kota-kota besar dunia Islam. Kaum muslimin yang shaleh tidak henti-hentinya mendapat penganiayaan. Muawiyah juga terus menerus memfitnah keluarga Nabi dan menyebarkan keresahan. Setelah berunding dengan saudaranya Al-Husain, ia memutuskan untuk menghentikan semua derita umat ini melalui perjanjian damai dengan Muawiyah.
Segera setelah perjanjian damai itu, Muawiyah masuk ke Kufah. Ia berkata: “Hai, penduduk Kufah. Adakah kamu mengira aku memerangi kalian agar shalat, zakat dan haji. Aku tahu kalian sudah melakukan shalat, zakat dan haji. Kuperangi kalian untuk menguasai kalian. Untuk itu, aku akan tumpahkan darah, dan seluruh perjanjian yang telah aku buat akan aku letakkan di bawah injakan kakiku.” Ia melanggar perjanjian itu, Pertama, membunuh Sayyidina Hasan dengan racun. Hasan syahid pada 50 H. Kedua, ia meneruskan pembantaian dan penganiayaan pada para pengikut Imam Ali. Ketiga, ia dan para pejabatnya menggunakan harta umat (Baytul Mal) untuk kepentingan pribadi dan keempat, ia mengangkat anaknya Yazid sebagai putra mahkota dan memerintahkan dengan paksa agar rakyat menerimanya.
“Yazid manusia yang selalu berbuat dosa dan maksiat, peminum khamar, pembunuh orang yang tidak bersalah. Ia lakukan kefasikan dan kemaksiatannya secara terbuka. Orang sepertiku tidak mungkin berbaiat kepada orang seperti Yazid,” kata Husain. Cucu Rasulullah SAW itu akhirnya memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Yazid. Orang yang menghabiskan malam dalam beribadat kepada Tuhan, dan siang dalam berkhidmat kepada insan, sekarang berhadapan dengan orang yang menghabiskan malam untuk bermaksiat kepada Yang Mahakuasa dan siang untuk berkhianat kepada manusia. Al-Husain beserta keluarga meninggalkan Madinah menuju Mekkah. Begitu sampai di Mekkah, ia menerima 12000 surat dari Kufah. Mereka mengundang Imam Husain untuk datang ke Kufah dan membaiatnya sebagai Khalifah. Al-Husain mengirim Muslim bin Aqil untuk membuktikan keseriusan penduduk Kufah tersebut.
Dari Mekkah, dengan meninggalkan wuquf di Arafah, Husain beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya berangkat menuju Kufah. Kerabatnya mendesak Al-Husain untuk membatalkan kepergiannya, tetapi Husain berkata: “Aku berangkat bukan karena ambisi, bukan untuk berbuat zalim atau untuk menimbulkan kerusakan. Aku berangkat untuk mendatangkan kemaslahatan pada umat kakekku. Aku ingin memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar.” Maka berangkatlah kafilah Husain, dalam terik matahari musim panas yang membakar, untuk menempuh perjalanan sejauh 1800 Km.
Ketika kafilah Husain sampai di dekat Kufah, ia menerima berita yang sangat mengejutkan. Muslim bin Aqil dan dua orang pendukungnya di Kufah sudah dibunuh Ibnu Ziyad, gubernur Kufah. Husain mengumpulkan pengikutnya dan menceritakan berita itu. Karena ketakutan, sebagian pengikutnya meninggalkan Husain. Al-Husain melanjutkan perjalanan sampai ia berhadapan dengan 1000 penunggang kuda yang dipimpin oleh Al-Hurr. Ia didesak ke sebuah tempat yang disebut Karbala, pada tanggal 2 Muharram, 61 H. Ibnu Ziyad mengirim pasukan tambahan di bawah pimpinan Umar bin Sa’ad. Pada 9 Muharram, pasukan Umar mengepung kemah-kemah Al-Husain. Ia meminta Umar untuk menangguhkan serangan sampai keesokan harinya. Bersama para pengikutnya yang setia Imam Husain menghabiskan malam dalam ibadat. Imam berkata: “Musuh hanya menghendaki nyawaku. Dengan senang aku izinkan kalian untuk pulang.” Pengikutnya berkata: “Demi Allah, tidak mungkin dan tidak pernah terjadi. Kami hidup bersama Anda atau mati bersama Anda.”
Pada 10 Muharram atau Asyura, berhadapanlah 72 pecinta Tuhan dengan 5000 penyembah setan, segelintir penegak keadilan dengan ribuan pendukung kezaliman. Sudah beberapa hari kelompok keluarga Rasulullah kehausan karena jalan ke sungai Eufrat ditutup musuh. Beberapa saat sebelum terjadi pertempuran Al-Hurr menyesali perbuatannya dan bergabung dengan Al-Husain. Menjelang sore hari, sudah 70 orang pengikut Husain syahid, setelah perjuangan yang sangat keras di tengah-tengah sengatan matahari dan kehausan. Musuh bertindak sangat kejam, dengan secara membuta membunuh siapa saja, termasuk Ali Asghar 6 bulan, yang bersimbah darah di tangan Al-Husain. Mereka juga membakar kemah-kemah para perempuan dan anak-anak. Pembantaian keluarga Nabi ini berakhir, ketika ribuan tentara mengeroyok seorang Husain. Syimr melepaskan kepala Imam Husain dan ribuan kuda mencabik-cabik dan menginjak-injak jenazahnya. Kepalanya bersama kepala-kepala para syuhada lainnya ditancapkan di ujung tombak dan diarak sepanjang 965 Km. di samping dan di belakang mereka, perempuan-perempuan dan anak-anak diseret dalam belenggu. Sebuah prosesi yang paling mengharukan dalam sejarah umat manusia. Sebuah prosesi yang melambangkan perlawanan tanpa henti terhadap kepongahan para tiran. Bagi setiap mukmin, setiap hari adalah ASYURA dan setiap bumi adalah KARBALA.