Marhaban Ya Ramadhan

marhaban ya ramadhan

Dalam kitab Bihar al Anwar jilid 95, hal. 334 disebutkan, bulan Ramadhan adalah bulan pertama tahun peribadatan. Jika bulan Muharram adalah bulan pertama tahun Hijriah, Januari bulan pertama tahun Masehi, maka Ramadhan adalah bulan pertama tahun peribadatan. Karena itu ditradisikan oleh ulama-ulama untuk mendirikan shalat syukur begitu memasuki awal Ramadhan.

Di malam pertama Ramadhan, dalam kitab al Muraqabat disebutkan anjuran untuk membaca surah al Fatihah sementara dalam kitab Mafatihul Jinan disebutkan anjuran untuk mandi khusus menyambut datangnya Ramadhan. Karenanya sebagai awal tahun baru, seorang muslim selayaknya menjadikan awal Ramadhan sebagai waktu yang tepat untuk merencanakan agenda dan target-targetnya sampai satu tahun kemudian, khususnya agenda peribadatan dan targetnya untuk dimasukkan dalam golongan hamba-hamba yang muttaqin. Diantara hikmahnya mengapa Ramadhan dijadikan sebagai awal tahun peribadatan, karena Ramadhan adalah momentum paling krusial untuk memulai segalanya dengan baik mengingat banyaknya fadhilah dan keutamaan-keutamaan yang terkandung di dalamnya. Lewat Ramadhan kita bisa memperkuat tekad dan keinginan untuk menjadi insan-insan yang bertaqwa.

Dari sekian masalah yang dihadapi masyarakat modern saat ini diantaranya yang paling pelik adalah lemahnya tekad dan keinginan. Kita sering mendengar ucapan-ucapan seperti: “Saya tahu bahwa akhlak saya kurang baik, namun saya tidak berdaya untuk mengubahnya.” Atau, “Saya tahu berdusta dan menipu itu tidak baik, namun saya tidak bisa juga menghindarinya.” Ataupun, “Saya tahu shalat awal waktu itu jauh lebih utama, namun saya tidak bisa juga melaksanakannya.” Dan ucapan-ucapan serupa lainnya yang menunjukkan betapa kita tidak berdaya dan lemah keinginan untuk menjalankan hal-hal yang kita sadari sendiri itu jauh lebih baik.

Bulan Ramadhan adalah bulan untuk memperkuat tekad dan keinginan yang lemah itu. Ibarat base camp Ramadhan mentraining dan menggembleng jiwa kita untuk lebih mudah dan terbiasa melakukan amalan ibadah. Pikirkan, bagaimana bisa selama bulan Ramadhan kita bisa terbangun lebih cepat untuk sahur namun di bulan lain untuk bangun shalat subuh tepat waktu kita mengatakan tidak bisa?.

Kalau anda mengatakan tidak bisa untuk tidak merokok sejam saja, lantas mengapa di bulan Ramadhan anda bisa menahan diri sampai 12-13 jam tidak menyentuh rokok sama sekali?. Kalau kita menyatakan sulit untuk shalat berjama’ah, lantas mengapa di malam Ramadhan kita bahkan bisa dengan rutin shalat taraweh berjama’ah?. Kalau dikatakan sulit untuk tidak makan makanan yang haram, lantas mengapa di siang hari bulan Ramadhan yang halal saja kita mampu menahan diri untuk tidak menyantapnya?.

Kalau menyatakan diri tidak bisa betah mendengarkan ceramah agama, mengapa malah di bulan Ramadhan kita bisa duduk manis sampai sejam mendengarkan ceramah sang ustad? Kalau kita menyebut diri sangat sibuk sehingga tak sempat untuk bertadarrus, mengapa di bulan Ramadhan selalu saja kita bisa mencuri waktu untuk mengaji barang sejenak?. Kalau kita mengaku belum siap mengenakan busana sesuai syariat mengapa malah di bulan Ramadhan kita dengan bangga mengenakannya?.

Kalau selama 30 hari di siang hari Ramadhan kita bisa meninggalkan hal-hal yang hakekatnya halal sekalipun, lantas apa alasan kita tidak bisa menjauhi yang haram setelah bulan Ramadhan?. Kalau di bulan Ramadhan hati kita mudah untuk simpatik dan tersentuh dengan penderitaan dhuafa, lantas apa yang membuat kita begitu saja egois dan enggan berbagi begitu Ramadhan usai?. Selama bulan Ramadhan kita begitu gigih dan seringkali menang atas godaan nafsu lalu mengapa setelah Ramadhan kita pasrah dan menyerah begitu saja dipermainkan nafsu dan syahwat?.

Bulan Ramadhan adalah kesempatan emas bagi kita memperkuat tekad, mempertebal keinginan untuk menjadi insan yang bertaqwa dan mementahkan alasan-alasan kelemahan, kemalasan dan ketidak sanggupan kita melakukannya. Toh, ternyata Ramadhan menunjukkan dan memberi bukti kita bisa melakukan semua pribadatan itu. Mengapa pasca Ramadhan kita tiba-tiba menyatakan tidak bisa dan tidak mampu padahal kita hanya sekedar melanjutkan apa yang telah kita rintis di bulan Ramadhan?. Sangat naïf, jika kita telah berpayah-payah selama sebulan melakukan semua amalan yang mendekatkan kita kepada Tuhan, lantas setelahnya kita sendiri yang menghancurkannya. Ibarat sekumpulan itik yang berjam-jam mandi dan membersihkan diri di telaga namun setelah itu balik lagi ke comberan.

Keutamaan Ramadhan

Mengenal ahkam (hukum-hukum) Ramadhan dari awal sampai akhir dengan sedetail-detailnya sangat penting. Sebab keberhasilan dalam menjalankan ibadah selama bulan Ramadhan bergantung pada pengenalan kita terhadap ahkam Ramadhan. Semisal, apa saja yang merupakan hal-hal yang dapat membatalkan puasa sehingga kita bisa menghindarinya, siapa saja yang diwajibkan berpuasa dan siapa pula yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa, ataupun mengenai tanda-tanda masuknya imsak maupun waktu berbuka puasa. Namun hal yang lebih penting dari itu adalah pengenalan terhadap fadhilah dan keutamaan Ramadhan.

Terkadang kita lebih sering merasa cukup dengan mengenal hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa di bulan Ramadhan untuk menjadi modal dan perbekalan kita memasuki Ramadhan dan mengabaikan pengkajian dan pengenalan mengenai keutamaannya. Hal inilah yang kemudian membuat kita bersemangat menjalani puasa dan ibadah-ibadah lainnya di pekan-pekan awal Ramadhan namun menjelang hari-hari Ramadhan kelesuan dan kejemuan sudah mulai menyerang dan akhirnya mencapai titik nadir, beribadah ala kadarnya sembari berharap Ramadhan segera berlalu. Itu karena kurangnya pengenalan terhadap fadhilah Ramadhan. Padahal semakin menjelang akhir Ramadhan keutamaan dan fadhilah beribadah pada hari-hari itu jauh lebih besar dari hari-hari sebelumnya. Terlebih lagi malam Lailatur Qadr diletakkan di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Imam Ali Zainal Abidin As Sajjad as diantara panjatan do’anya di bulan Ramadhan mengatakan, “Alhimnaa Ma’rifata fadhlihi wa ijlalaala hurmatihi, Ya Allah perkenalkanlah kepada kami fadhilah (keutamaan), kemuliaan dan kehormatan bulan ini”. (Doa 44 Sahifah Sajjadiyah hal. 186).

Mengapa mengenal keutamaan dan fadhilah bulan Ramadhan jauh lebih utama dan lebih penting?. Sebab dengan mengenal keutamaan-keutamaan yang dimiliki Ramadhan akan menjadi motivasi bagi kita untuk menjalani hari-hari didalamnya dengan penuh gairah dan semangat. Rasulullah Saw bersabda, “Huwa syahrun awwalahu rahmatun, wa austhuhu magfiratun, wa aakhiruhu ‘itqun minannar, bulan Ramadhan adalah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya adalah maghfirah (pengampunan) dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.” (Bihar al Anwar, jilid 93, hal. 342). Dengan mengetahui segala keutamaan itu, kitapun memperkuat tekad untuk tidak membiarkannya berlalu begitu saja.

Kita melakukan berbagai amalan kebajikan sebab kita meyakini Allah SWT memberi balasan kebaikan dan keberkahan berlipat ganda. Kita beristighfar dan memohon ampun sebanyak-banyaknya karena tahu Ramadhan adalah bulan dimana Allah SWT membuka pintu maaf selebar-lebarnya untuk semua hamba-Nya yang mendambakan kembali pada fitrah. Inilah kesempatan emas yang tidak boleh kita biarkan lewat begitu saja. Dan sadarkah kita, mengapa sampai harus sebulan lamanya? Itu karena Allah SWT menghendaki agar amal-amal peribadatan yang kita lakukan selama bulan Ramadhan itu menjadi kebiasaan dan tradisi kita selanjutnya dalam mengisi 11 bulan berikutnya. Sebulan waktu yang cukup untuk mengeliminasi kebiasaan-kebiasaan jelek kita dan menggantinya dengan kegiatan yang full ibadah, menggerogoti rasa malas kita dan mengisinya dengan ghirah dan semangat. Namun mengapa kebanyakan kita begitu berakhirnya Ramadhan maka petanda usai pula semua aktivitas ibadah itu?.

Idul Fitripun kita maknai sebagai hari perayaan terbebas dari tuntutan-tuntutan ibadah. Kitapun total istrahat dari puasa, shalat berjama’ah, tadarrus Al-Qur’an, saling berbagi dan simbol-simbol Islam yang sebelumnya begitu bangga kita kenakan.  Itu karena hakekatnya kita belum menjadi hamba-hamba Allah yang tulus. Kita tanpa sadar malah menjadi hamba Ramadhan. Yang kita sembah bukan Allah melainkan Ramadhan, yang kita semarakkan bukan syiar-syiar Allah melainkan gegap gempita Ramadhan. Kalau benar kita hamba Allah, maka akan terpatri dalam jiwa dan kesadaran kita, bahwa Allah SWT adalah Rabbnya semua bulan-bulan, tanpa terkecuali. “Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika Dialah yang kamu hendak sembah.” (Qs. Fushshilat: 37).

Ramadhan mendidik kita untuk menjadi hamba Allah SWT, puasa menggembleng kita untuk menjadi manusia yang bertakwa yang maksudnya adalah menyembah dan beribadah hanya padaNya sampai bulan-bulan selanjutnya, sepanjang tahun, sampai habis umur kita. (Ismail Amin)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *