Kaum Muslim Tidak Boleh Bermalas-malasan

hikmah Yusuf

 

إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ ما بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا ما بِأَنْفُسِهِمْ وَ إِذا أَرادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوْءاً فَلا مَرَدَّ لَهُ وَ ما لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ والٍ (11)

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Surah Ar-Rad, ayat 11)

Dari ayat di atas al-Quran hendak mengajarkan kepada kaum muslmin akan sebuah peraturan universal dan umum yaitu membangun masa depan dan melakukan pergerakan. Dan peraturan universal ini adalah salah satu dasar asli dan pandangan hidup dari agam Islam. [1]

Dengan demikian seharusnya masyarakat muslim ketika mempunyai tujuan untuk mengubah dunia ke arah yang lebih baik maka kita harus memulainya dengan merubah diri kita sendiri. Merubah dan berusaha keras untuk merubah diri kita menjadi yang lebih baik. merubah ekonomi kita menjadi lebih baik, merubah akhlak kita menjadi lebih baik lagi dan lain sebagainya.

Jika saat itu telah tiba maka yakinlah bahwa masyarakat muslim bisa memberikan efek positif pada dunia. Dan hal ini bisa terwujud ketika kita sebagai masyarakat muslim telah menjalankan salah satu dasar dan peraturan asli dari al-Quran yaitu berusaha keras untuk merubah diri kita.

Ada sebuah cerita di jaman Nabi saw. Suatu ketika salah satu sahabat Nabi saw -dari sisi harta- sedang begitu sangat kekurangan. Istrinya berkata kepadanya, “Seandainya engkau pergi ke sisi Nabi saw dan engkau meminta sesuatu dari beliau.”

Sahabat tersebut pergi ke sisi Nabi saw dan ketika ia melihat beliau, Nabi saw bersabda, “Siapa saja yang meminta sesuatu dari kami, kami akan memberikannya. Dan barang siapa yang memenuhi kebutuhannya (sendiri) maka Allah swt akan membuatnya kaya.”

Sahabat tersebut dalam hatinya berkata, “Maksud dari perkataan Nabi ini tidak ada yang lain lagi selain itu adalah aku.” Ia pun akhirnya kembali ke istrinya dan menceritakan sabda Nabi ini.

Sang istri berkata, “Nabi itu hanya manusia (menurutnya yakni beliau tidak tahu akan keadaanmu), cepatlah kembali pada Nabi dan ceritakan keadaanmu.”

Sahabat tersebut pun kembali menghadap Nabi saw dan hal sebelumnya terulang kembali. Ketika ia melihat Nabi saw, beliau bersabda, “Barang siapa yang meminta kepada kami maka kami akan memberinya dan siapa saja yang pergi berusaha maka Allah akan membuatnya kaya.”

Hal ini yakni pulang-pergi kembalinya sahabat terjadi sebanyak tiga kali. Pada akhirnya sahabat tersebut berencana untuk mencari pekerjaan. Ia keluar dari rumahnya, lalu ia meminjam sebuah sekop dan pergi ke gunung. Sahabat tersebut mengumpulkan sejumlah kayu bakar dan pergi ke Madinah lalu menukarnya dengan lima kantong tepung. Lalu ia kembali ke rumah, membuat roti setelah itu memakannya. Esok harinya, ia kembali ke pegunungan dan kembali untuk mengumpulkan kayu bakar lebih banyak setelah itu membawanya ke kota dan menjualnya. Sedikit demi sedikit ia bisa menabung dan hasilnya ia bisa membeli sekop baru. Ia pun mencari pekerjaan (dengan sekopnya). Lambat laun, ia bisa membeli dua unta dan satu budak sehingga akhirnya ia pun menjadi kaya.

Ketika ia datang ke sisi Nabi saw, ia bercerita tentang apa yang telah ia kerjakan dan ia dapatkan. Tak lupa juga ia mengisahkan pulang pergi dirinya ke sisi Nabi saw sebanyak tiga kali pada waktu itu. Setelah itu Nabi saw bersabda, “Aku dari dulu berkata padamu bahwasanya siapa saja yang meminta kepada kami, kami akan memberinya dan siapa saja yang berusaha keras dan berupaya (menutupi kebutuhannya) maka Allah akan membuatnya kaya.” [2]

Point yang bisa kita ambil dalam ayat yang menjadi pembahasan kita kali ini adalah berusaha keras untuk merubah keadaan diri kita, baik itu dari sisi ekonominya, akhlaknya, pendidikannya, keahliannya, dan lain sebagainya. Setelah itu pasrahkan hasilnya semuanya kepada Allah swt. Jika Allah swt mengizinkan maka segala sesuatunya akan menjadi berkah dan mudah.

 

[1] Tafsir Nemuneh, jild 10, hal 145.

[2] Al-Kafi, jild 2, hadits no 7, hal 139.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *