Filosofi Ibadah Sembelih Hewan Kurban

PurnaWarta — Menyembelih hewan kurban di hari raya Idul Adha merupakan sebuah ritual yang dilakukan oleh umat muslim yang mampu. Selayaknya berkurban bukan hanya ingin mendapatkan perhatian dari masyarakat saja namun diharapkan mendapatkan perhatian Allah swt.

Dilansir dari site Kemenag bahwa momentum Idul Adha yang serangkai dengan prosesi ibadah qurban terlihat selalu eksis pada setiap tahunnya. Dasar kebenaran ini mengacu pada legitimasi QS. Al-Kautsar: 1-3 dimana setelah menerima nikmat Ilahiyah yang tak terhitung banyaknya, maka konsistensi penghambaan diperintahkan Tuhan untuk mendirikan SHALAT dan BERQURBAN. Tentu saja lahirnya perintah ini bukan karena Tuhan bermaksud pamrih, melainkan sinergitas antara kedua esensi ibadah tersebut berpotensi memperbaiki tatanan kehidupan sosial manusia.

Mereka yang sungguh-sungguh “mendirikan” ibadah shalatnya pasti terhindar dari ragam hal-hal keji dan kemunkaran. Kesungguhan yang dimaksud bukan hanya tertuju pada tataran ritualitas saja, melainkan penerjemahan ajaran nilai-nilai shalat juga harus memantul pada keputusan sikap dan pilihan perilaku manusia dalam menjamah seluruh persoalan-persoalan kehidupan (QS. Al-Ankabut: 45).

Ini sama halnya ketika penghayatan terhadap esensi ibadah qurban pun dapat mensugesti kesadaran dan memperbaiki reputasi kehidupan manusia untuk bebas dari jajahan nafsu-nafsu kebinatangan. Indikasi dari semua itu tercermin pada EGOISME dan KETAMAKAN, AROGANSI dan KERAKUSAN, OTORITER serta berbagai karakter monopoli lainnya.

Bercermin pada fakta, boleh jadi kita merasa sudah cukup saleh ketika berkemampuan memenuhi legalitas syariatnya qurban. Namun, jika obsesi beragama terhenti sampai di situ maka ibadah qurban tidak akan efektif mencapai target yang lebih mengesensi, selain hanya bersentuhan dengan kepentingan pribadi yang fokus mengharapkan sembelihan tersebut menjadi saksi ibadah di kehidupan Akhirat. Bukankah menjadi “bumerang” (sesuatu yang tidak etis) ketika ritualitas ibadah apapun termasuk qurban tak semakin mengantar kita pada capaian sosok “rahmatan lil alamin” sebagai tujuan inti keislaman? Ketika tataran syariat qurban tak semakin menuntun mata hati dan realitas diri untuk menjauh dari segala macam penyelewengan sosial, maka tentu sulit dibantah bila hawa nafsu kebinatangan yang ada didalam diri ternyata belum mampu kita sembelih (dikendalikan).

Terkait perintah berqurban, agama tidak mengajarkan untuk saling bersaing “nama” atau memburu popularitas dalam melakukannya. Subtansi ibadah ini justru membutuhkan syiar kejujuran dan keihlasan. Para pelaku qurban bahkan manusia pada umumnya mestinya insaf bahwa analogi penyembelihan tersebut sesungguhnya mengajarkan perjuangan tentang penyelamatan dimensi kemanusiaan dari hal-hal yang bisa menjerumuskan. Hal ini harus dilakukan sebab segala jenis dan level kejahatan yang seringkali menjebak manusia, dominasinya ditaktis oleh nafsu-nafsu kebinatangan.

Keseimbangan analisis ini diperlukan agar perintah berqurban tak memperhadapkan kita pada kultur kemusliman yang “itu-itu saja”. Setiap tahunnya kita hanya disibukkan oleh pekerjaan dalam hal mendata, menyembelih dan mendistribusikan sebanyak-mungkin daging-daging qurban.

Di sisi lain, kita lupa bahwa “ruh ritualitas” itu pun mestinya terimplementasi secara kongkrit didalam sendi-sendi kehidupan Duniawi. Kita luput menghayati bahwa makna penyembelihan itu menyiratkan pesan penting akan kesuksesan hidup dan reputasi penghambaan diri manusia bergantung pada kemampuannya dalam mengendalikan nafsu-nafsu kebinatangan. Bukankah urgensi nilai yang tak mesti terpisah dari ritualitas qurban ini diharapkan efektif membangun moral agamis menuju maslahatnya kebersamaan, sekaligus pemberdayaan fungsi-fungsi agama dalam saratnya tantangan kehidupan manusia (QS. Al-A’raf: 96, QS. Al-Anbiya’: 107)?

Dibanding sekedar fokus mengkalkulasi pahala dan berharap sembelihan qurban menjadi kendaraan pengantar menuju Surga, tentu muatannya lebih realistis lagi bila hikmah-hikmah sosial dari keutamaan ibadah tersebut pun ikut dihayati. Target ini bertujuan agar aktualisasi nilai dari konsepsi ini membingkai kolektifitas manusia dalam mata rantai kehidupan yang “sehat” dan bermaslahat. Bukankah esensi kemusliman ini yang dari awal sejarah dicita-citakan Tuhan lewat mandat suci kekhalifahan manusia (QS. Al-Baqarah: 30)?…..Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *