Purna Warta — Siapa sih yang tidak mau terbiasa dengan akhlak yang baik? Siapa sih yang tidak ingin mengubah kebiasaan buruknya? Pasti semuanya ingin mendapatkannya dan mungkin menjadi salah satu tujuan hidupnya. Setiap fitrah manusia ingin mendapatkan kesempurnaan baik dari sisi lahiriah maupun bathiniah, sebab manusia ingin selalu menyempurna.
Nah, pertanyaan selanjutnya adalah apakah akhlak buruk itu bisa kita rubah? Atau ia memang sudah menjadi bagian dari diri kita, sepeti jasad ini yang selalu menempel pada diri kita.
Ayyatullah Makarim menulis dalam bukunya bahwa para ilmuwan akhlak terbagi menjadi dua kelompok tentang hal ini. Mereka yang percaya bahwa akhlak itu tidak bisa dirubah dan mereka yang percaya bahwa akhlak itu bisa dirubah. Tentunya mereka mempunyai dalil-dalil tersendiri untuk menguatkan pendapat mereka.
Yang pertama adalah kelompok yang mengatakan bahwa akhlak itu tidak bisa dirubah walaupun seadainya ia berubah maka lambat laun ia akan kembali pada keadaan awalnya. Mereka bersandar pada dalil bahwa susunan raga dan jiwa mempunyai hubungan yang dekat dengan akhlak. Pada kenyataannya bahwa akhlak setiap orang itu mengikuti penciptaan raga dan ruh dirinya, dan dikarenakan ruh dan raga seseorang tidak bisa berubah maka akhlak pun tidak bisa berubah.
Dalil yang lain adalah perubahan akhlak itu disebabkan oleh sebab-sebab eksternal seperti pendidikan moral, nasihat, dan peringatan. Nah ketika sebab-sebab eksternal ini menghilang maka ia akan kembali pada keadaan semula. Lebih lanjut, seperti air menjadi panas dikarenakan panas dari zat yang lain, ketika terpisah dengan zat tersebut maka air akan kembali pada keadaan semula.
Lalu menurut kalian apakah pandangan ini benar adanya?! Mari kita lanjut pada pandangan kelompok kedua.
Kelompok kedua percaya pada kemungkinan berubahnya akhlak mengatakan bahwa seandainya akhlak kita tidak bisa kita rubah maka adanya ilmu akhlak menjadi sia-sia. Dan yang lebih buruk dari itu ketika akhlak tidak bisa kita rubah maka seluruh aktivitas mendidik para Nabi Allah swt dan kitab-kitab suci langit pun menjadi percuma dan kandas. Maka dari itu Ayyatullah Makarim Syirazi mengatakan bahwa “Aku heran terhadap para filsuf dan ulama akhlak yang membahas apakah akhlak itu bisa dirubah atau tidak?”.
Lalu bagaimana pendapat al-Quran tentang yang kita bahas ini.
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آياتِهِ وَ يُزَكِّيهِمْ وَ يُعَلِّمُهُمُ الْكِتابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ إِنْ كانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (2)
“Dialah yang mengutus seorang rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah, meskipun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata.” (Surah Jumuah, ayat 2)
Ayat di atas secara jelas mengatakan bahwa tujuan dari pengutusan para Nabi adalah untuk mendidik, mengajar, dan menyucikan mereka yang berada dalam kesesatan. Nah ketika akhlak tidak bisa dirubah maka pengutusan para Nabi akan sia-sia dan melakukan sesuatu yang sia-sia merupakan sesuatu yang mustahil bagi Allah swt.
Dan akhirnya penulis lebih cenderung memilih pandangan kedua yaitu bahwa akhlak bisa kita rubah sehingga kita tak boleh putus asa terhadap diri kita. Mari kita menyempurna dengan selalu mendidik dan membiasakan diri kita untuk selalu berakhlak baik dan menjauhi sifat-sifat tercela dalam Islam.