Ayat Ghadir dalam Perspektif Tafsir Sunni dan Syiah

Ayat Ghadir dalam Perspektif Tafsir Sunni dan Syiah

Purna Warta Kebanyakan para mufassir Al-Qur’an, baik dari kalangan Ahlusunnah maupun Syiah, meyakini permasalahan ini, bahwa petikan ayat: “Pada hari ini Orang-orang kafir telah putus asa utuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.” merupakan kalimat sisipan (mu’taridha) yang terdapat di tengah-tengah ayat ketiga dari surah Al-Maidah.

Baca Juga : Pawai Akbar 10 km untuk Perayaan Idul Ghadir di Teheran; Apa dan Mengapa?

Dan juga kebanyakan dari mereka sepakat akan hal ini, bahwa kalimat sisipan ini sejak awal ada dan atas seizin Nabi Saw; karena pada dasarnya Allah Swt-lah yang memerintahkan kepada Nabi Saw untuk menata dan mengatur susunan ayat yang terdapat pada al-Qur’an. Namun permasalahan ini – pemberian  hak penataan dan penyusunan setiap ayat kepada ummat – berseberangan dengan kesatuan Al-Quran itu sendiri sebagai mukjizat Ilahi dan esensi perbuatan dan satu-satunya firman Allah SWT; karena salah satu rukun dari kemukjizatan Al-Qur’an, adalah metode dan cara penulisannya.

Kita semua tahu bahwa dengan terpisahnya satu bagian seperti bentuk dan susunan dari sebuah perkumpulan yang telah terancang lalu pondasi perkumpulan tersebut hancur, maka seluruh bangunan tersebut pun akan runtuh.

Adapun  penyelewengan ayat-ayat yang dilakukan oleh kalangan Ahlusunnah dan orang-orang yang mengingkari kekhalifahan Imam Ali As adalah tertolak secara tegas karena Rasul yang mulia sangat sensitif dalam menjaga keotentikan Al-Qur’an. Penulisan Al-Qur’an yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi Saw, seperti Ali As, Ibnu Abbas dan yang lainnya, dapat mencegah terjadinya perselisihan, penyelewengan dan perubahan pada setiap ayat dan susunan ayat-ayat tersebut.

Begitu pula pemalsuan dan penyelewengan ayat-ayat pada masa pemerintahan ketiga khalifah itu tertolak. Karena Quran-quran yang ada pada masa itu, atas perintah Ustman, keseluruhannya telah dikumpulkan dan setelah ditulis ulang, kemudian dikirim ke setiap kota. Hal ini didukung oleh Amirul Mukminin Ali As dan tidak ada reaksi dari beliau yang menunjukkan bahwa tidak terdapat kesalahan dalam penyusunan ayat-ayat dan drafnya yang dilakukan oleh khalifah. Begitu pula halnya pada masa para Imam Maksum As, dikarenakan adanya riwayat-riwayat yang menunjukkan tentang pahala membaca Al-Qur’an dan menghapalnya dan lain sebagainya tidak tersentuhnya ayat-ayat Al-Qur’an oleh tangan-tangan jahil secara sempurna adalah sebuah permasalahan yang diterima. Adapun dugaan adanya (perubahan dan penyelewengan) setelah periode para imam adalah hal yang batil yang tidak dapat diterima. Karena tidak ada satu pun dari para pemikir dan ulama besar tafsir yang meragukan keotentikan Al-Quran dan tidak meyakini adanya pemindahan di dalamnya.

Dalam pada itu, terdapat pula Al-Quran-al-Qur’an yang ditulis dengan tulisan yang bernuansa Nasakh dan Kuffi (bentuk tulisan Al-Qur’an) dari periode para imam As dimana para ahli mendukung antikuasi Al-Qur’an tersebut dan meyakininya. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa sebagian dari mushaf-mushaf tersebut, ada juga yang disandarkan kepada para imam As.

Hasilnya adalah dengan asumsi menerima bahwa ini adalah kalimat sisipan dari ayat ketiga dari surah Al-Maidah, adalah sama sekali tidak dapat dipastikan bahwa dalam perkara ini ada campur tangan orang-orang yang ingkar. Bukan hanya itu, bahkan hal tersebut keluar dari tanggung jawab Rasulullah saw. Karena urusan ini adalah perkara yang khusus berkaitan dengan Tuhan Yang Maha Haq.

Mungkin dapat dikatakan bahwa ada tambahan istimewa di antara kalimat sisipan tersebut dengan petikan-petikan lain dari surah Al-Maidah. Karena bagi setiap pemikir sudah jelas bahwa dasar pondasi yang mendukung surah ini adalah kekokohan pada ikatan-ikatan janji dan penepatan pada janji-janji tersebut. Oleh karena itu, sangat beralasan bagi Allah Swt meletakkan janji-Nya yang sangat besar ini kepada hamba-hamba-Nya, yaitu tentang wilayah Imam Ali As di tempat-tempat yang juga janji-janji-Nya -seperti hukum-hukum ja’li dan tasyri’i- terdapat di situ. Sehingga dengan berlalunya masa, hal tersebut tidak akan dilupakan. Dari sini kita melihat bahwa ayat kesempurnaan agama dan kekokohan nikmat, terdapat di antara ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum-hukum syariat.

Baca Juga : Iran Lanjutkan Diplomasi Dinamis Untuk Mewujudkan Kepentingan Nasional

Ada dua asumsi yang mendasar dalam menyikapi petikan ayat berikut: “Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku- ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”[1]

A.    Bagian yang sedang diamati berkenaan dengan wilayah Amirul Mukminin Ali As, adalah jumlah mu’taridhah (kalimat sisipan) yang berbeda bagian awal dan akhirnya dari sisi pemahaman.

B.    Walaupun bagian tersebut -dari segi lahirnya – bertentangan dengan petikan ayat sebelum dan setelahnya, namun dengan sedikit cermat dapat ditemukan hubungan antara ayat tersebut dengan ayat-ayat setelahnya.

Penjelasan asumsi pertama:

Untuk sampai pada jawaban yang benar, terpaksa kami mengkaji dan menganalisa tambahan yang telah disampaikan dari sebab-sebab permasalahannya.

1.     Bahwa petikan di atas adalah sebuah kalimat sisipan yang dengan keinginan Ilahi, dari awal penurunan ayat-ayat surah Al-Maidah, ada di antaranya dan ada bersamaan dengannya.

2.     Bagian yang sedang disoroti -dengan permintaan Nabi Saw dan izin yang jelas dari beliau dan dengan perantara para penulis wahyu- dipindahkan dari tempat lain ke surah Al-Maidah.

3.     Bahwa orang-orang yang ingkar terhadap kekhilafahan Amirul Mukminin As dan kedudukan beliau sebagai washi, telah melakukan perubahan dan penyelewangan draft ayat-ayat tersebut dengan maksud menyembunyikan perkara kekhalifahan beliau.

Dari asumsi di atas, karena memiliki hubungan erat dengan soal yang telah disampaikan, maka kami memulai pembahasan ini dari asumsi yang ketiga:

Campur tangan dalam perkara yang berkaitan dengan wahyu -jika asumsi tersebut kita terima- bahwa hal itu dilakukan oleh kalangan Ahlusunnah dan secara global oleh orang-orang yang ingkar terhadap kekhalifahan (Ali As), maka persoalan ini tidak keluar dari dua hal, yaitu dilakukan pada masa periode Rasulullah dan para Imam Maksum As atau hal itu terjadi setelah tahun 329 H, yaitu setelah kepergian wakil khusus Imam Mahdi Ajf yang terakhir, yaitu Ali bin Muhammad Samuri. Kesensitifan Rasulullah Saw yang istimewa (terhadap Al-Qur’an) dan kerinduan para penulis wahyu yang mendalam terhadap penulisan Al-Qur’an Al Karim, selain itu semua, usaha yang meluas para penghapal-Qur’an dalam menghafalnya secara mendalam dari hati ke hati, secara pasti dapat menghalangi seseorang yang hendak memindahkan dan merubah Al-Qur’an dalam periode ini yang akan merusak aturan penulisan dan penghafalan mushaf yang mulia ini.

Jika kita katakan bahwa terpencarnya ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia ini terjadi pada masa priode perampasan maqam kekhalifahan dan penyembunyian kebenaran yang dilakukan oleh keluarga Umayah dan Bani Abbas, maka hal ini bertentangan dengan kenyataan. Dengan beberapa alasan;

Pertama: Kitab yang mulia (Al-Qur’an) telah dikumpulkan dan telah menjadi mushaf sejak zaman Rasulullah Saw[2] dan pada beberapa puluh tahun pertama telah dikirim ke beberapa daerah[3] sehingga hal tersebut menjadi sebab tersedianya pengetahuan secara umum bagi kaum muslimin pada ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam demikian, tidak diragukan lagi bahwa  para sahabat Rasulullah saw pun mengetahui draf dan susunan ayat-ayat. Dengan menghubungkan hal-hal di atas, maka tidak ada lagi tempat bagi kelompok tertentu untuk menuangkan pandangannya pada susunan ayat-ayat yang ada pada mushaf yang mulia.

Kedua: Imam Ali As pun yang dalam periode pemerintahannya pada tahun 35 sampai 40 H yang juga memiliki kemampuan politik dan fasilitas-fasilitas yang memadahi untuk menutup perubahan (tahrif), beliau sama sekali tidak memberikan komentar apapun dan tidak melarang masyarakat untuk mengamalkannya. Bahkan lebih dari itu, terdapat dalam sebuah riwayat bahwa beliau mendukung atas Al-Quran yang dikumpulkan oleh Usman dan bersabda: Sekiranya aku yang memiliki wewenang urusan ini, maka aku pun akan melakukan apa yang usman lakukan.[4] Selain riwayat ini, Imam Ali As dalam menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh Thalhah; apakah Al-Qur’an yang telah dikumpulkan itu adalah Al-Qur’an yang telah diturunkan sebagai wahyu ataukah tidak? Beliau menjawab: Siapa saja dari kalian yang mengamalkan sesuai dengannya, maka ia akan terhindar dari api Jahannam dan akan mendapatkan keselamatan dan masuk ke dalam surga. Karena hujjah, hak-hak kami dan kewajiban untuk mentaati kami telah dijelaskan di dalamnya.[5]

Seusai periode kekhalifahan Ali as dan pada periode-periode para imam maksum as pun tidak ditemukan pelarangan dan penolakan untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an, bahkan sebaliknya terdapat riwayat-riwayat yang menunjukkan keutamaan Al-Qur’an, seperti pahala bagi orang yang membaca, menghafalnya dan bahkan menolak hadis yang bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.  Dan terlihat dukungan yang banyak akan kemurnian Al-Qur’an baik dari sisi susunan ataupun dari sisi kandungannya.

Baca Juga : PBB Lakukan Pemungutan suara untuk Kiriman Bantuan Türkiye ke Beberapa Wilayah Suriah

Adapun jika kita katakan bahwa perubahan ayat wilayah, yang dilakukan oleh orang-orang yang ingkar setelah masa ghaib kecil, hal ini pun tidak dapat diterima. Karena pertama: tidak sedikit lembaran-lembaran yang berupa tulisan tangan, disandarkan pada zaman pasca ghaib besar yang sampai ke tangan kita. Bahkan sebagian dari lembaran-lembaran tersebut, telah ditulis oleh salah seorang Imam As. Yang kedua: tidak ada satu pun dari ulama ilmu Al-Qur’an, sekalipun ulama yang menyakini adanya perubahan dalam Al-Qur’an dari sisi kurang ayatnya [6], menerima adanya perubahan  Al-Qur’an dari sisi draft dan susunan ayat-ayatnya. Dan mereka sepakat bahwa Al-Qur’an yang ada sekarang merupakan hujjah yang lengkap dan sempurna.

Sekarang sampai pada dugaan yang kedua; yakni perpindahan (peletakkan) ayat-ayat yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Walaupun asumsi tersebut keluar dari pertanyaan yang telah disampaikan, namun menjawab hal tersebut memiliki beberapa alasan.

Sebagian ulama besar tafsir[7] dari kalangan Syiah benar-benar meyakini dugaan tersebut bahwa susunan ayat-ayat Al-Qur’an telah diserahkan kepada Nabi besar Islam saw dan mereka berkata: penyerahan susunan ayat-ayat kepada umat, walaupun hal tersebut banyak yang mengatakan, namun banyak bukti dan dalil yang menunjukkan atas penolakkannya. Pertama bahwa Al-Qur’an adalah sebuah mukjizat Ilahi. Dan mukjizat merupakan sebuah himpunan seperti satu ikatan bunga, yang jika hilang sebagiannya, maka akan sirna seluruhnya,  dan himpunan yang telah disusun rapih itu akan menjadi hancur.

Dalam buku-buku tebal yang membahas pembahasan Al-Qur’an secara rinci, telah dibuktikan bahwa salah satu dari kemukjizatan[8] Al-Qur’an Al Karim adalah bentuk dan cara penulisannya. Dengan demikian, penyerahan susunan ayat-ayat Al-Qur’an kepada umat atau bahkan kepada pribadi Rasulullah dapat mengakibatkan bahwa Al-Qur’an bukan lagi sebagai kesatuan firman Tuhan SWT. Jadi hal itu adalah batil. Dengan demikian, pandangan yang mengatakan bahwa susunan ayat-ayat Al-Qur’an lebih utama diserahkan kepada Rasulullah, jauh dari perkiraan akal dan hal tersebut batil. Ada juga dalil-dalil lain yang membuktikan pengakuan tersebut, namun kami persilahkan kepaeda pembaca agar merujuk pada kitab-kitab[9] yang membahasnya secara terperinci.

a). Tinggal dugaan yang pertama, yaitu asumsi awal. Yaitu bahwa tambahan yang ada dalam ayat Ghadir dan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya sesuai dengan keinginan Ilahi dan sudah ada sejak awal pertama kali diturunkan dan tiada seorang pun walau pribadi Nabi sendiri yang ikut campur tangan dalam masalah ini.

Nah sekarang apa falsafah upaya ini? hakikat ini merupakan perkara yang tidak dapat kita jangkau. Dalam hal ini ada beberapa dalil istihsan yang akan kita singgung sebagai sebuah contoh, misalnya:

Allah SWT telah menyebutkan laqab Imam Ali as di dalam Al-Qur’an dengan jelas. Dengan dalil itulah dan dengan tujuan menghindari perpecahan umat dan agar mereka tidak maenjauhkan Al-Qur’an, Allah Swt menempatkan penggalan ayat tersebut di tengah-tengah ayat-ayat ahkam. Sehingga tidak menarik keinginan para pengingkar (untuk merubahnya) dan mencegah mereka untuk tidak menentang Al-Qur’an Al Karim. Sebagaimana seseorang yang meletakkan dan menyembunyikan barang-barang yang mahal dan berharga miliknya di antara barang-barang lainnya sehingga tidak menarik perhatian orang-orang jahat.

Semua penjelasan tersebut apabila kita telah menerima terjadinya  kontradiksi antara  ayat wilayah dengan penggalan ayat-ayat pertama di dalam  surah Al Maidah.

b). Namun ada dugaan lain yang berdasar pada kesatuan pemahaman antara bagian yang sedang disoroti dan ayat-ayat lain surah yang mulia ini. Dengan cara mengamati ayat-ayat surah Al Maidah dengan jelas dapat kita simpulkan bahwa Allah Swt sangat menekankan agar hamba-Nya mengamalkan perjanjian dan berpegang teguh pada perjanjian-Nya yang terdapat di dalam surah tersebut. Baik itu perjanjain Tuhan kepada hamba-hamba-Nya ataupun perjanjian antara sesama hamba-Nya.

Salah satu “perjanjian Tuhan” kepada hamba-Nya yang jika perjanjian-Nya itu ditaati merupakan kesempurnaan agama dan nimat-Nya adalah menerima wilayah Amirul Mukminin Ali as sebagai pengganti Nabi saw dan khalifah Allah di muka bumi. Perjanjian ini juga memiliki dimensi lain. Karena wilayah itu meliputi seluruh urusan kehidupan manusia baik individu maupun sosial. Karenanya hal itu merupakan mishdaq (obyek luaran) perjanjian yang paling menonjol dan baiat Ilahi yang paling penting terhadap hamba-Nya yang sangat ditekankan. Perjanjian tersebut di sebutkan pula pada tempat-tempat lainnya, sehingga dengan berlalunya masa tidak mudah dilupakan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa: “Dengan dasar ini maka petikan ayat tersebut terletak di tengah-tengah ayat yang menjelaskan hukum syariat.”

Untuk studi lebih dalam mengenai peristiwa Ghadir Khum, ayat-ayatnya, ucapan selamat para sahabat, dan lain-lain, Anda dapat merujuk sumber-sumber dibawah ini:

1.     Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 1, hal. 84 samapi 370; jilid 6, hal. 401.

2.     Sunan Ibnu Majah, jilid 1, hal. 55 sampai 69

3.     Al Mustadrak ‘ala shahihain, Hakim Neisyaburi, jilid 3, hal. 118 dan 613

4.     Al Gahdir, Alamah Amini, jilid 1.

Daftar Pustaka:

1.     Jurji Zaidan, Târikh Tamaddun Islâm, terjemahan Ali Jauhar Kalam.

2.     Jawad Ali, al-Mufashal fi Târikh al-]Arab qabla al-Islâm.

3.     Syaikh Abu Abdillah Zanjani, Târikh Al-Qur’ân.

4.     Ahmad bin Abi Yakub, Târikh Ya’qubi.

5.     Ali bin Al Atsir, Kâmil Ibnu Atsir fi al-Târikh

6.     Sulaim bin Qais Hilali, Kitâb Sulaim bin Qais.

7.     Jalaluddin Abdurahman Al Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulumi al-Qur’ân.

8.     Terjemah Muhammad Baqir Musawi Hamedani, al-Mizân fi tafsir Al-Qur’ân.

9.     Sayyid Abu Al Fadl Mir Muhammadi, Târikh wa ‘Ulum Al-Qur’ân.

catatan kaki:

[1] “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah… Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu…” (Qs. Al-Maidah [5]:3)

[2]  Salah satu bentuk garis-garis tulisan arab sebelum islam, yang dikenal sebagai garis(khat) Nabthi yang berasal dari kabilah Anbaath di selatan kota Hizaj yang mana setelah berlalunya masa, garis (khat) Nasakh megambil darinya dan garis khat tersebut menjadi tulisan Al Quran Al Karim. Jawad Ali, al-Mufashshal fi Târikh al-‘Arab Qabla al-Islâm, hal. 153; Syaikh Abu Abdillah Zanjani, Târikh al-Qur’ân, hal. 48.

Baca Juga : Amir Abdollahian Bertemu dengan Menteri Luar Negeri Suriah di Azerbaijan

[3] Usman, setelah menulis ulang Al-Quran pada periodenya, lalu ia mengirim Al-Quran tersebut ke beberapa kota seperti kota Kufah, Bashra, Madinah, Makkah, Syam (Syiria), Bahrain, Mesir, Yaman, dan Al Jazair. Ahmad bin Abi Yakub, Târikh Ya’qubi, jilih 2, hal. 158.

[4] Ali bin Al-Atsir, Kamil ibnu Atsir fi Târikh, jil. 3, hal 112.

[5] Sulaim bin Qais Hilali, Kitâb Sulaim bin Qais, hal. 312.

[6] Jalaluddin Abdurrahman Al Suyuthi, al-Itqân fi Ulum al-Qur’ân, jil. 1, hal. 72.

[7]. Muhammad Baqir Musawi Hamedani, Terjemahan Persia Tafsir Al-Mizan fii Tafsir al-Qur’an.

[8]. Sayyid Abu Al fadl Mir Muhammadi, Târikh wa Ulum al-Qur’ân, hal. 197.

[9]. Manâhil Al-‘Irfân, jil. 2, hal. 309.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *