Washington, Purna Warta – Seorang analis Amerika menulis bahwa pemerintah Biden seharusnya berhenti menjual senjata kepada pemerintah UEA jika ingin mengakhiri perang di Yaman secara serius.
Penulis dan analis Amerika William Hartong mengkritik pemerintahan Biden yang tetap melakukan penjualan senjata kepada pemerintah UEA, dan menyebutnya sebagai salah satu pelaku bencana kemanusiaan di Yaman.
Dia menulis di situs web Responsible Statecraft bahwa dalam pidato pertamanya pada tanggal 4 Februari, Joe Biden berjanji untuk menangguhkan semua dukungan untuk operasi ofensif di Yaman dan penjualan senjata ke Arab Saudi.
“Namun, kesepakatan senjata dengan UEA mengarah pada peningkatan kejahatan dan perang yang semakin mendalam di Yaman, Prioritas pemerintah Biden seharusnya mengakhiri perang di Timur Tengah, dan tidak tepat jikalau pemerintah Biden hanya mencukupkan pencabutan izin penjualan senjata saja untuk Saudi dalam mengakhiri perang,” tambah Hartong.
Dia juga menulis bahwa sekarang bukan waktunya untuk menjual senjata dalam jumlah besar kepada UEA, karena negara tersebut memiliki peran destruktif dalam perang Yaman-Libya dan memiliki sejarah memberikan senjata Amerika kepada kelompok teroris atau menggunakannya untuk represi internal. Perlahan UEA, bersama dengan milisi sekutunya, yang telah dipersenjatai dan dilatihnya, melakukan pembunuhan rakyat Yaman, dan jikalau Biden serius ingin mengakhiri perang di Yaman, maka mereka harus berhenti mengekspor senjata ke semua anggota koalisi Saudi.
Dia menyebut kesepakatan senjata senilai $ 23 miliar antara Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab sebagai kesepakatan senjata terbesar antara kedua negara, dan mengatakan bahwa selain itu, Amerika Serikat telah menjual senjata senilai $ 59 miliar kepada UEA. Helikopter serang dan kendaraan lapis baja serta puluhan ribu bom, semuanya digunakan dalam perang Yaman.
Joe Biden selalu mengklaim bahwa dirinya menginginkan diakhirinya perang Yaman selama kampanye pemilihan dan setelah kemenangan, tetapi pejabat pemerintah Sanaa mengatakan mereka menunggu tindakan praktis dan karena terlalu banyak kebohongan dan ingkar janji dari pemerintahan Amerika, maka pihak Sanaa tidak sama sekali mempercayai ocehan pejabat AS.
Baca juga: 4 Tips Ciptakan Ruang Kerja Nyaman di Rumah