Purna Warta – Ketika Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, kembali mengoceh di Riyadh tentang “tekanan terhadap Iran”, dunia kembali dihadapkan pada drama usang seorang politisi dekaden yang terjebak dalam nostalgia ilusi kejayaan imperium. Di hadapan para syekh petro-dollar yang ia puja bak dewa kekayaan, Trump, seolah kehilangan ingatan mengancam Iran, lalu dalam napas yang sama, merayu untuk berdamai. Sebuah kontradiksi vulgar yang tak menunjukkan kekuasaan, melainkan kegagalan mental dan kebangkrutan politik.
Dalam sebuah laporan analitis Kayhan yang terbit pada Rabu, 14 Mei, Trump bukan hanya simbol runtuhnya martabat Amerika, tetapi juga personifikasi dari kebijakan luar negeri AS yang tak tahu malu, menebar sanksi dan senjata sambil mengaku penjaga perdamaian dunia. Empat tahun duduk di Gedung Putih, yang ia hasilkan hanyalah reruntuhan JCPOA, sanksi ekonomi tanpa hasil, dan pelanggaran terang-terangan terhadap norma-norma internasional. Kini, pria yang pernah menari pedang dengan para algojo Yaman itu kembali mengemis perhatian lewat propaganda murahan di forum investasi Saudi-Amerika. Ancaman terhadap Iran ia ulang seperti kaset rusak, padahal sejarah telah mencatat: setiap tekanan yang ia kirim, dibalas Iran dengan keteguhan yang melumpuhkan.
Trump adalah gambaran nyata dari politisi yang tak lagi memegang kendali atas dirinya sendiri. Dalam satu kalimat ia menyebut “kewajiban menekan Iran”, dalam kalimat berikutnya ia berkata “siap berdamai dengan Iran”. Apakah ini diplomasi? Tidak. Ini adalah delirium kekuasaan yang retak. Ini adalah refleksi dari seorang narsisis tua yang kini dirundung kegagalan, dan mencoba menutupinya dengan teatrikal omong kosong.
Dalam pertemuan Riyadh, ia menyatakan, “Selama pemerintahan saya, Iran hampir bangkrut.” Sebuah kebohongan telanjang. Realitas berkata sebaliknya: Iran, dalam bayang-bayang sanksi paling brutal sekalipun, justru memperluas kekuatan regionalnya, membangun industri dalam negerinya, meningkatkan kemampuan misilnya, dan memperkokoh jaringan resistensi di kawasan dari Yaman hingga Lebanon. Satu demi satu proyek tekanan maksimum Amerika berubah menjadi bumerang, dan Trump kini terpaksa berdiri di podium Saudi sembari mengulang naskah kekalahan yang sama.
Trump di Riyadh melanjutkan dengan mengatakan, “Saya tidak akan membiarkan anak benua Saudi menjadi milik Iran.” Kalimat ini bukan hanya arogan, tetapi juga cermin mentalitas kolonial: seolah-olah negeri-negeri Muslim adalah properti pribadi Washington. Ancaman terhadap pengaruh Iran bukan soal keamanan regional—tetapi soal ketakutan imperium terhadap bangkitnya kedaulatan kawasan yang selama ini dijadikan ladang eksploitasi dan pangkalan militer.
Lebih jauh lagi, ia menyatakan “Iran tidak akan pernah memperoleh senjata nuklir,” sambil menutupi fakta bahwa satu-satunya rezim yang memiliki, menyimpan, dan mengancam dunia dengan senjata nuklir di kawasan adalah Israel, sekutu abadi Amerika Serikat. Iran, justru, berkali-kali menegaskan bahwa program nuklirnya bersifat damai, di bawah pengawasan IAEA. Tapi apakah fakta pernah menjadi dasar kebijakan Amerika? Tidak. Yang mereka butuhkan hanyalah narasi untuk menjustifikasi agresi.
Dan yang lebih menjijikkan lagi: di saat Trump mengoceh tentang “kesediaan untuk berdamai”, Kementerian Luar Negeri AS pada detik yang sama mengumumkan sanksi baru terhadap jaringan penjualan minyak Iran ke Tiongkok. Inilah wajah sejati Amerika dengan lidah bercabang, menjanjikan perdamaian sambil menghunus belati. Ini bukan diplomasi, ini pemerasan. Bukan negosiasi, tapi kolonialisasi dengan baju baru.
Pertanyaannya kini: apakah dunia masih sudi percaya pada retorika “perdamaian” dari negeri yang membunuh Jenderal Qassem Soleimani dalam operasi pengecut, yang menghancurkan Irak dan Libya, yang membiarkan Gaza dibantai, dan kini pura-pura menjadi mediator?
Selama kebijakan luar negeri AS dibangun di atas pondasi kebohongan, sanksi, dan penindasan, maka setiap upaya “negosiasi” hanyalah siasat licik untuk menjinakkan perlawanan. Republik Islam Iran telah membaca permainan ini sejak lama dan karenanya, setiap ancaman justru dijawab dengan resistensi, bukan kompromi.
Trump bisa kembali ke Riyadh, bisa menari dengan pedang, bisa merayu syekh-syekh kehausan perlindungan. Tapi ia tak akan pernah mampu menghentikan gelombang perlawanan yang sedang menulis ulang peta kekuasaan Asia Barat. Waktu bagi imperium telah habis, dan yang tersisa kini hanyalah suara-suara gemetar dari para penguasa yang mencoba mengulang masa lalu yang tak akan pernah kembali. []
Oleh: Muhlisin Turkan