Purna Warta – Sementara dunia sibuk membedah gestur tiga serangkai Riyadh; Trump, MBS, dan al-Jolani, media Ibrani justru meratap dengan nada getir. Dalam catatan yang lebih mirip curhatan anak tiri ketimbang analisis geopolitik, surat kabar Yisrael Hayom pada Kamis (15/5), mengungkapkan ketakutan paling purba rezim Zionis: ditinggalkan, disisihkan, dan tidak diundang ke pesta pembagian rampasan terbaru di Timur Tengah.
Menurut Yehuda Blanga, seorang pakar yang kini lebih terdengar seperti detektif gagal di tengah reruntuhan Tel Aviv, pertemuan Trump dengan al-Jolani di Riyadh adalah momen pengkhianatan besar terhadap “kepentingan Israel.” Trump, yang dulunya dipuja bak Mesias oranye oleh Netanyahu, kini dianggap menari di atas kuburan kebijakan Zionis, atas irama yang dimainkan oleh MBS dan Erdogan.
Yang lebih menyakitkan bagi Tel Aviv, bukan hanya karena al-Jolani; yang kepalanya sempat dihargai 10 juta dolar oleh AS, kini duduk berdampingan dengan Trump dan MBS, tapi karena Israel tak lagi menjadi penyunting naskah utama dalam skenario kekerasan regional. Mereka kini hanya penonton yang tertinggal di luar bioskop, menyusun teori sambil meratap: “Kenapa kita tidak diundang?”
Media Ibrani itu bahkan dengan getir menyamakan Israel seperti “anak yang dikeluarkan dari grup WhatsApp kelas.” Analogi ini bukan hanya lucu, tapi benar-benar tragis. Setelah puluhan tahun mengklaim dirinya “satu-satunya demokrasi” di Timur Tengah, kini Israel harus menerima kenyataan bahwa pesta pertunangan antara teroris CIA dan pangeran gas Arab berlangsung tanpa undangan emas dari Tel Aviv.
Kepanikan ini bukan tanpa sebab. Ketika Saudi dan Turki menjadi sutradara baru atas skenario “Suriah pasca-perang”, Israel tak lebih dari statis televisi rusak. Erdogan, yang disebut-sebut sedang membangun “tatanan baru di atas reruntuhan Suriah”, dilabeli “berbahaya.” Tapi bukan karena kejahatannya, melainkan karena keberhasilannya menyisihkan Israel dari panggung.
Sementara Washington kini lebih tertarik pada stabilitas palsu demi investasi dan akses energi, Zionis malah sibuk mengeluh bahwa dunia tak lagi mau mendengarkan narasi lama mereka tentang “terorisme.” Bahkan boneka seperti al-Jolani kini bisa mendapatkan label “mitra strategis” jika ia cukup jinak dan cukup berguna bagi alur gas dan pangkalan militer. Terorisme pun, seperti semua hal dalam kapitalisme imperialis, bisa dinegosiasikan.
Kenyataan pahit bagi Tel Aviv adalah ini: mereka tidak lagi memiliki monopoli atas darah dan kehancuran. Di dunia yang sedang berubah, bahkan pelaku pembantaian seperti al-Jolani bisa naik kasta asalkan menjual diri pada pasar yang tepat.
Dan untuk Israel, mungkin sudah saatnya berhenti menganggap diri sebagai pusat semesta, karena sejarah sedang menulis bab baru… dan mereka bukan lagi naratornya. [MT]