Tehran, Purna Warta – Reuters mengutip IAEA yang mengatakan bahwa Iran bermaksud memproduksi uranium logam yang diperkaya hingga 20%.
Reuters mengutip Badan Energi Atom Internasional yang mengatakan pada hari Selasa (6/7) bahwa Iran akan memperkaya hingga 20% uranium logam.
“Iran telah memberi tahu Badan Energi Atom Internasional (IAEA) bahwa mereka bermaksud untuk memproduksi uranium logam hingga 20% untuk bahan bakar reaktor,” lapor Reuters.
Baca Juga : Oximeter Buatan Iran Dapat Mengukur Akurat Oksigen Pasien Corona
“Hal ini adalah proses multi-langkah yang akan memakan waktu,” kata Badan Energi Atom Internasional dalam sebuah pernyataan.
Seorang reporter untuk Wall Street Journal menulis dalam pesan Twitter bahwa dia telah mendengar dari beberapa sumber bahwa Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang akan menyerahkan laporan kepada Dewan Gubernur IAEA hari ini, Selasa (6/7), tentang produksi 20% uranium murni Iran.
Poin penting dalam pesan twitter reporter ini adalah bahwa pihaknya mengetahui proses produksi uranium logam oleh Iran. “Iran awalnya bermaksud akan memproduksi uranium silicide dalam tiga tahap, tetapi sekarang telah mengubahnya menjadi proses empat tahap di mana ia akan menggunakan uranyl fluoride, logam untuk produksi uranium, dengan menggunakan teknik yang sangat berbeda,” tulisnya dalam pesan Twitter.
Amerika Serikat dan beberapa negara Barat mengklaim bahwa uranium logam juga dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir, tetapi Republik Islam Iran bersikeras bahwa mereka berusaha untuk memproduksi uranium logam semata-mata untuk tujuan damai.
Baca Juga : Dukungan Semua Anggota Untuk Implementasi Resolusi 2231 dan Pencabutan Sanksi Terhadap Iran
Majid Takht-e Ravanchi, Duta Besar dan Wakil Tetap Republik Islam Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, juga menyatakan Rabu lalu pada pertemuan Dewan Keamanan tentang implementasi resolusi 2231: “Berbeda halnya dengan apa yang telah dikatakan, bahwa uranium yang diperkaya di Iran hingga 60% dan Uranium logam memiliki keabsahan dalam penggunaan sipil, dan tidak ada satu pun larangan dari hal tersebut karena telah sesuai dengan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir.”
Ketiga negara Eropa juga menyatakan keprihatinan yang mendalam dalam sebuah pernyataan pada tanggal 16 Januari tahun lalu tentang kesiapan Iran untuk memproduksi uranium logam sebagai bahan bakar untuk reaktor penelitian Tehran, dan meminta Tehran untuk kembali ke komitmen JCPOA.
Setelah itu, Perancis, Jerman, dan Inggris mengeluarkan pernyataan bersama pada 12 Februari yang menyebut produksi uranium logam di Iran sebagai suatu keprihatinan dan menuduh Iran melanggar kewajibannya dari kesepakatan JCPOA.
Pada hari yang sama, Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran, Mohammad Javad Zarif, mengkritik sikap negara-negara Eropa dan menulis dalam halaman twitter-nya:
“Rencana Aksi Gabungan Komprehensif (JCPOA) dicapai pada Juli 2015 antara Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (AS, Prancis, Inggris, Rusia, dan China) plus Jerman (dikenal sebagai P5+1).”
Baca Juga : Kit Iran Berhasil Tingkatkan Akurasi Identifikasi Varian Virus Corona
Sejak hari pertama implementasi perjanjian, pemerintah AS mulai menyabotase implementasinya secara sepihak dan melakukan tekanan ekonomi terhadap Iran. Sabotase semakin intensif dengan pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, dan dia berulang kali mengancam akan menarik negaranya keluar dari kesepakatan nuklir.
Terakhir, pada Selasa, 8 Mei 2018, Trump secara sepihak menarik Amerika Serikat dari JCPOA dan memerintahkan dimulainya kembali sanksi maksimum yang ditangguhkan terhadap Iran.
Setelah dimulainya pemerintahan Joe Biden, pemerintah AS mengklaim bahwa mereka berusaha untuk menghidupkan kembali JCPOA, tetapi meskipun mereka telah mengadakan enam putaran pembicaraan di Wina, Austria, untuk menghidupkan kembali kesepakatan JCPOA, Washington menolak untuk mencabut sanksi yang dijatuhkan pada Iran oleh pemerintahan Trump.
Di sisi lain, pemerintahan Biden telah menyatakan bahwa mereka tidak dapat menjamin bahwa pemerintahan AS berikutnya tidak akan menarik diri dari JCPOA.